Jun 12, 2009

Mohamad Zen : Zen, Genealogi dan Budaya Kepri

Zen, Genealogi dan Budaya Kepri
Oleh : Ferry Santoso

Saat mengambil barang yang jatuh di lantai, Mohamad Zen (65), guru besar dan antropolog pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, terpaksa membungkukkan badannya perlahan-lahan lantaran perutnya yang buncit. Meski demikian, kondisi fisik itu sama sekali tidak menghalangi mobilitasnya sehari-hari.

Ia pun masih sering bepergian jauh, misalnya dari Bandung, Jawa Barat, ke Tanjung Pinang di Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Kebetulan, Zen yang lahir di Pulau Tarempa, Kabupaten Natuna, Kepri, juga menjadi Ketua Umum Badan Pembentukan dan Penyelaras Kabupaten Kepulauan Anambas (P2KKA).

Sebagai seorang profesor antropologi di bidang pendidikan dan berasal dari Tarempa, gugusan Kepulauan Anambas, Kabupaten Natuna, Kepri, Zen cukup memahami asal-usul (genealogi) masyarakat kepulauan, khususnya Kepri. Ia juga mengarang buku berjudul "Orang Laut", Studi Etnopedagogi (2001).

Buku itu merupakan studi etnopedagogi yang cukup lama dilakukan terhadap masalah pendidikan sekelompok orang laut sebagai pengembara, semimenetap, dan menetap di gugusan pulau- pulau terpencil di kawasan Kepri.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Sarwono Kusumaatmadja yang memberi referensi menilai, buku tersebut secara mendasar mengungkapkan keunggulan sekelompok anggota masyarakat yang menjadikan laut sebagai sumber kehidupannya. Buku sejenis itu masih langka ditulis.

Selain itu, Zen juga mengarang buku Sejarah Riau Lingga. Saat ini ia sedang menyusun buku mengenai sejarah negeri Siantan atau Pulau Siantan yang berada di Kepri.

Dalam buku itu, Zen mengungkapkan bahwa Sultan Palembang Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikrama yang hidup pada awal abad ke-18 mempunyai anak, yaitu Sultan Mahmud Badaruddin II.

"Pada lembar uang Rp 10.000-an yang berwarna kemerah-merahan, di situ ada gambar Sultan Mahmud Badaruddin II," ungkapnya. Sultan Mahmud Badaruddin II itu mempersunting cucu dari Wan Abdul Hayat dari Johor, Malaysia, yang menjadi pemimpin di Siantan pada abad ke-17.

Dari berbagai penelitian literatur dari bahasa Arab-Melayu, Belanda, dan Indonesia, serta situs yang ia pelajari dan temui, Zen mau menunjukkan bahwa ada ikatan dan hubungan kekerabatan antara raja-raja Melayu dan raja-raja atau sultan di Indonesia.

Mohammad Zen memaparkan, salah satu petunjuk dan temuan tersebut adalah adanya makam keramat yang menjadi cikal bakal raja-raja Melayu keturunan Bugis. Ia menjelaskan, pada awal abad ke-18 sudah ada makam Opu Daeng Rileke di Pulau Siantan.

Opu Daeng Rileke—hidup pada akhir abad ke-17—merupakan putra bangsawan dari Kerajaan Lowuk di Sulawesi Selatan, yaitu La Madu Silla yang dijuluki Karaing Ritanete Lowuk, yaitu suatu gelar seperti bupati.

Opu Daeng Rileke mempunyai lima anak. Salah satunya adalah Opu Daeng Celak. Opu Daeng Celak mempunyai dua anak, yaitu Raja Haji Fizabilillah dan Raja Lumu. Raja Lumu inilah yang menjadi Sultan Selangor di Malaysia.

"Itu menunjukkan Raja Selangor di Malaysia keturunan Bugis," tutur Zen. Hal itu juga menunjukkan, dari sisi genealogi dan budaya, masyarakat di Kepri memiliki ikatan budaya dan kekerabatan yang sangat kental dengan Malaysia, yaitu rumpun melayu.

Zen yang mendapat piagam medali Kejuangan 50 Tahun Kemerdekaan dari Dewan Nasional Angkatan 45 mengingatkan, ikatan masyarakat di Kepulauan Riau hendaknya diperkuat agar tidak condong ke Malaysia.

Jika perhatian pemerintah daerah maupun pusat terhadap masyarakat di Kepulauan mengendur, menurut Zen, tidak mustahil hal itu menimbulkan kerawanan dari segi pertahanan dan keamanan, khususnya di wilayah Kepri.

"Lihat saja, konflik wilayah atau pulau antara RI dan Malaysia. Misalnya, Pulau Sipadan dan Ligitan yang sudah hilang diklaim pihak Malaysia. Terakhir, konflik Pulau Ambalat yang nyaris terjadi baku tembak di lautan," ujar Zen.

Kerawanan

Kerawanan di wilayah pesisir itu tinggi mengingat wilayah Kepri merupakan wilayah perairan yang sangat luas. Hampir 90 persen wilayah Kepri merupakan wilayah laut. Perlindungan terhadap pulau-pulau yang kosong atau pulau terluar tidak cukup mengandalkan patroli atau pasukan keamanan.

"Pendekatan genealogi dan budaya sangat penting untuk menjaga pulau-pulau kosong dan pulau terluar," ujar Zen yang dikaruniai empat anak dari istrinya, Yulmini (55).

Zen melanjutkan, ikatan dan hubungan masyarakat, termasuk di wilayah kepulauan dengan pemerintah, baik daerah maupun pusat, perlu diperkuat.

Salah satu upaya untuk memperkuat ikatan itu, menurut Zen, adalah pembentukan Kabupaten Anambas. Dengan pembentukan kabupaten, masyarakat di Kepulauan Anambas lebih merasa diperhatikan. Komunikasi pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, dapat lebih mudah dilakukan.

Selama ini, dengan menjadi gugusan kepulauan tersendiri di tengah lautan yang luas, yaitu Laut China Selatan, transportasi di wilayah kepulauan menjadi masalah besar. Jarak antara Kepulauan Anambas dan Ranai, ibu kota Kabupaten Natuna, cukup jauh. Perjalanan dengan kapal perlu waktu 11-12 jam.

Tidak hanya dari segi transportasi, komunikasi juga menjadi masalah tersendiri. Siaran televisi maupun radio lebih banyak tersiar di daerah kepulauan adalah siaran televisi dan radio Malaysia atau Singapura. "Dengan kondisi itu, bagaimana pemerintah daerah dapat membina masyarakat setempat," ujar Zen.

Jika dibentuk Kabupaten Anambas, demikian Zen, masalah transportasi dan komunikasi itu dapat sedikit lebih teratasi. Masyarakat di Kepulauan Anambas tidak perlu mengurus masalah administrasi ke ibu kota Kabupaten Natuna di Ranai. Infrastruktur komunikasi pun lambat laun dapat teratasi.

Masyarakat di Kepulauan Anambas bersama pemerintah daerah tentu dapat mengembangkan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat.

Dengan demikian, ikatan masyarakat di daerah kepulauan menjadi lebih kuat dan kondisi sosial dan ekonomi lebih dapat terperhatikan.

Dikatakan, kalau tidak melibatkan masyarakat, siapa yang melindungi pulau kosong dan pulau terluar? Di Kabupaten Natuna sendiri terdapat 270-an pulau. Keberanian masyarakat nelayan dan orang laut di kepulauan cukup dapat diandalkan dalam mengarungi laut, apalagi jika mereka dibekali dengan kapal-kapal berukuran besar.

Sebagai gambaran, Zen mencontohkan orang laut dari Desa Sena di Pulau Siantan. Sejak kecil, anak-anak sudah dididik dengan pendidikan tradisi di laut.

Sumber : Kompas, Senin, 4 September 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks