Jun 12, 2009

Andre Agassi : Sang Flamboyan Agassi Pamit

Sang Flamboyan Agassi Pamit
Oleh : Ida Setyorini

Sekitar 21 tahun lalu, sosok Andre Agassi muncul. Rambut panjang berkibar dengan forehand keras. Berbeda dengan petenis lainnya, dia tampil sesuai seleranya sendiri. Tidak peduli dengan keharusan kostum bertanding di suatu turnamen. Dia berani mengabaikan Wimbledon yang mewajibkan seluruh pesertanya berkostum serba putih.

Pencinta tenis menyaksikan debut profesionalnya di California, Amerika Serikat (AS), Februari 1986. Sejak itu, pria kelahiran Las Vegas, 29 April 1970 tersebut menarik minat pencinta mode. Selera berpakaiannya yang penuh gaya mewarnai perjalanan kariernya yang melaju cepat bak rollercoaster. Namanya diberitakan jauh lebih sering dibanding petenis lainnya.

"Saya selalu menonton Agassi. Saya ingat celana pendek jinsnya dan segala pemberontakannya. Dialah inspirasi saya, di lapangan dan di luar lapangan," ungkap petenis putri Serena Williams, tentang Agassi yang mengakhiri karier tenisnya setelah kalah dari Benjamin Becker (Jerman) yang masuk dari babak kualifikasi di babak ketiga turnamen grand slam AS Terbuka 2006, Minggu (3/9/2006). Agassi menyerah 5-7, 7-6 (7/4), 4-6, 5-7.

Seusai pertandingan yang menegangkan tersebut, 24.000 penonton yang memadati Stadion Arthur Ashe di Flusing Meadows, New York, AS, selama empat menit penuh memberikan tepuk tangan meriah untuk Agassi. Petenis flamboyan itu memutuskan pensiun setelah mengantongi 60 gelar juara, termasuk delapan gelar grand slam.

"Sudah saatnya saya mundur dari tenis. Saya harap tenis gembira pernah memiliki saya karena saya luar biasa bahagia telah memiliki tenis. Bagi saya, sebisa mungkin saya memberikan lebih banyak lagi untuk tenis dibanding semua yang telah saya terima," tutur suami mantan petenis putri nomor satu dunia, Steffi Graff.

Suasana emosional mewarnai acara perpisahan Agassi. Dengan suara terbata-bata dan air mata menitik, dia mengucapkan salam terakhirnya di lapangan. "Menerima aplus dari mereka itu sungguh suatu penghormatan luar biasa. Selama bertahun-tahun, penonton setia menyaksikan dan mendukung saya. Berbagi pengalaman dan kegembiraan," kata Agassi, penuh haru.

Semasa remaja, Agassi tampil kontroversial. Seperti penampilannya di Roland Garros 1990. Mengenakan busana berbahan lycra yang disebutnya Hot Lava Look. Celana pendeknya lebih tepat dipakai pembalap sepeda. Sontak Presiden Federasi Internasional Tenis (ITF) merangkap Presiden Federasi Tenis Perancis, Philippe Chatrier, melarang busana seperti itu dipakai di turnamen Perancis Terbuka.

Bukan Agassi namanya jika diam saja mendapat kritik sepedas itu. Petenis bertampang penyanyi rock itu malah menantang akan mengenakan kostum yang lebih heboh. "Busana itu belum apa-apa. Dia harus melihat busana saya selanjutnya. Petenis pun punya kebebasan untuk mengekspresikan dirinya. Busana berwarna itu yang diperlukan tenis. Tanpa warna, saya memang Agassi, tetapi terasa membosankan," ujarnya, yakin.

Ketika dia mencapai semifinal Perancis Terbuka 1988, pada usia 18 tahun, semua sepakat dialah calon bintang masa depan. Hanya saja, Agassi harus menunggu empat tahun lagi untuk memeluk trofi grand slam-nya yang pertama, di Wimbledon.

Pada tahun-tahun penantian itu, prestasinya kalah gemerlap dibanding warna busananya. Sementara sesama petenis muda AS lainnya seperti Pete Sampras, Jim Courier, dan Michael Chang bergantian naik podium, Agassi belum meraih gelar utama.

Tertinggal dari mereka, Agassi yang kala itu berusia 22 tahun segera berbenah. Namanya terukir di Wimbledon tahun 1992. Sejak itu dia tancap gas dengan merebut berbagai gelar grand slam lainnya, antara lain, AS Terbuka tahun 1994, Australia Terbuka 1995, dan medali emas di Olimpiade Atlanta 1996.

Tahun berganti dan sikap Agassi pun melunak. Seiring pertambahan usia, kepribadiannya pun semakin matang. Kariernya sempat surut semasa pernikahannya dengan artis jelita, Brooke Shields. Peringkatnya anjlok ke urutan ke-141 pada 10 November 1997 dan dia terpaksa bertanding lagi di turnamen kelas challenger. Dia berhasil naik lagi sebagai petenis top, tetapi gagal mempertahankan pernikahannya yang kandas di pengujung tahun 1997.

Beruntung pernikahan keduanya dengan Graff membuatnya stabil. Graff pula yang meyakinkan suaminya bahwa dia tetap dapat bertahan di deretan petenis top meski usianya mulai menginjak 30 tahun.

"Dialah alasan utama saya terus berkarier enam tahun terakhir ini. Apalagi dia telah memberikan segalanya, termasuk kedua anak kami. Ketika kami bertemu, rekor menang-kalah saya di grand slam paling hanya 27-1," ungkapnya, mengenang. Kini rekornya adalah 224-53.

Dukungan dari Graff membuatnya meraih kembali kepercayaan diri dan determinasi. Dia turun ke lapangan dengan raut wajah lebih serius. Agassi yang telah matang dan lebih filosofis melengkapi gelar grand slam-nya di Perancis Terbuka tahun 1999.

Menjadi petenis kelima yang merebut seluruh grand slam. Bahkan, dia masih menambahi dengan gelar di Australia Terbuka tahun 2000 dan 2001. Suksesnya di Melbourne 2003 menggenapkan gelar grand slam-nya menjadi delapan.

Di Wimbledon Juni lalu, Agassi menyatakan turnamen AS Terbuka di New York adalah turnamen terakhirnya. Dia akan pensiun.

"Di tempat itu saya berencana mundur. Tempat itu yang paling berkesan bagi saya," kata petenis yang sepanjang kariernya mendapat hadiah uang 31,152 juta dollar AS atau sekitar Rp 298,3 miliar dan total 101 minggu menempati peringkat pertama dunia.

Masa pensiun berarti dia punya waktu lebih banyak untuk kegiatan sosialnya, seperti menolong anak- anak dan tetap berhubungan dengan tenis.

"Wah, saya belum tahu tuh. Memangnya masih ada yang peduli dengan apa yang saya kerjakan? New York atau Las Vegas bukan perkara besar," ungkap Agassi, sembari tertawa.

Sumber : Kompas, Selasa, 5 September 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks