Jun 12, 2009

Alue Dohong : Alue Menyelamatkan Gambut

Alue Menyelamatkan Gambut
Oleh : C Anto Saptowalyono

Kebakaran lahan, kabut asap, dan banjir adalah serentetan bencana yang silih berganti, sesuai musim, di Kalimantan Tengah. Termasuk bencana kekeringan dan kebakaran yang menimpa lahan gambut di Kalimantan Tengah, yang luas totalnya mencapai tujuh juta hektar.

Gambut sesungguhnya adalah jenis lahan yang relatif selalu basah sepanjang tahun. Namun, manusia mengubahnya untuk beragam tujuan, seperti yang terjadi pada Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar yang dicanangkan di masa Orde Baru.

PLG yang bertujuan membuka hutan gambut untuk lahan pertanian, didesain dengan kanal-kanal yang mengotak-kotakkan lahan. Kanal berkedalaman tiga meter hingga tujuh meter dengan lebar mencapai 30 meter tersebut punya panjang total sekitar 4.000 kilometer, setara empat kali panjang Pulau Jawa.

Di lahan eks PLG saat ini, kanal-kanal PLG itu terbukti telah menguras air kawasan yang sebelumnya membasahi dan menggenangi lahan gambut. Tanah gambut pun akhirnya mengering sehingga mudah terbakar di musim kemarau. Kebakaran di lahan gambut sulit dipadamkan karena bak api di dalam sekam.

Tak heran apabila Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng), Agustin Teras Narang, pernah berseloroh bahwa lahan eks-PLG merupakan pabrik terbesar yang menobatkan Kalteng sebagai pengekspor asap.

Adalah Alue Dohong yang memiliki taktik jitu meredam kebakaran di lahan gambut. Caranya, ia membuat tabat atau tanggul pembendung air yang melintang di kanal, gunanya untuk mengatur tata air.

Lelaki kelahiran Sampit, Kalteng, 6 Oktober 1966 ini ingin mengabdikan ilmu manajemen lingkungan yang diperolehnya dari program S-2 Nottingham University, Inggris, terutama untuk melestarikan kawasan lahan basah atau gambut.

Keinginan itu akhirnya terlaksana ketika tahun 2002 Alue bergabung dengan Wetlands International yang juga peduli untuk menjaga dan melestarikan kawasan lahan basah. Wetlands International adalah salah satu lembaga swadaya masyarakat yang berusaha melakukan rehabilitasi atas lahan eks-PLG sejuta hektar yang terbengkalai.

Bersama koleganya di Wetland International Site Kalimantan, Alue Dohong berinisiatif membangun tabat di kanal-kanal lahan eks PLG, terutama yang berlokasi antara Sungai Kapuas dan Sungai Mentangai, Kabupaten Kapuas, Kalteng.

Konstruksi tabat merupakan jajaran kayu yang dipasang melintang selebar kanal, serupa bendungan mini untuk menghalangi laju air di parit. Alue membangun tabat dari jajaran kayu galam (Meulaluca cajuputi) dan belangeran (Shorea belangeran).

Tujuan pembuatan tabat ini adalah untuk mempertinggi permukaan air tanah gambut yang sebelumnya rendah akibat adanya kanal. Tabat pertama dibangun Februari 2004, dan hingga sekarang telah terbangun tujuh tabat yang berlokasi di blok A Utara, Kecamatan Mentangai.

Alue yang kuliah S-1 di Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Palangkaraya ini menuturkan, pembuatan satu tabat rata-rata membutuhkan dana Rp 100 juta hingga Rp 125 juta. Lama pembuatan konstruksi satu tabat dengan 10 orang tenaga kerja sekitar setengah bulan.

"Idealnya, di blok ini ada 39 tabat untuk menjaga tata air gambut di sekitar wilayah tersebut," papar Alue. Meski terbilang masih sedikit dibanding jumlah ideal, tujuh tabat yang dibangun Wetland telah mulai menampakkan hasil.

Keberadaan tabat mampu menahan air kawasan sehingga tidak terkuras ke parit dan menghilang ke sungai. Sebelum dibangun tabat, air tanah di kawasan sekitar kanal berada 150 sentimeter hingga 200 sentimeter di bawah permukaan tanah.

Setelah kanal ditabat, air tanah berangsur-angsur naik dan kini mencapai 50 sentimeter di bawah permukaan tanah. Kawasan seputar parit yang ditabat pun tetap basah karena air yang terbendung merembes dan melembabkan kawasan sekitarnya.

Alhasil, lahan gambut sekitar kanal yang dulunya sering terbakar di musim kemarau, kini malahan telah ditumbuhi pohon jelutung. Persoalan muncul ketika disadari bahwa umur kayu untuk konstruksi tabat diperkirakan hanya tahan maksimal selama tujuh tahun.

Alue dan dan kawan-kawannya kemudian berpikir untuk menimbun ruang atau kolom di sela dua jajaran kayu tabat dengan tanah, dan kemudian menanaminya dengan pohon perupuk dan rasau yang cocok tumbuh di tanah gambut.

Saat kayu-kayu tadi aus digerus air, tumbuhan perupuk dan rasau di atasnya sudah tumbuh dan mengikat tanah sekitarnya sehingga telah menjadi "benteng hidup" yang awet untuk membendung kanal. Gambut pun akan terselamatkan karena tata air kawasan terjaga dengan terbendungnya kanal tadi secara permanen.

Ide pembalak ilegal

Ditanya mengenai pencetus munculnya gagasan untuk membangun tabat, Alue memberi jawaban yang sepintas mencengangkan. "Cara kami menyelamatkan gambut dengan membangun tabat ini sebenarnya hanya mengadopsi cara para penebang liar merusak gambut," ungkap Alue.

Para penebang liar terbiasa membuat parit untuk menghanyutkan kayu tebangan dari hutan menuju sungai karena mudah dan ringan. Untuk mempertinggi permukaan air agar dapat menghanyutkan kayu gelondongan, kanal dibendung dengan tabat. Tabat biasanya dibangun di ujung parit di sisi sungai.

Setelah kayu hanyut, tabat atau tanggul tadi dijebol. Alhasil, batang kayu tergelontor masuk ke sungai, selanjutnya dimilirkan ke tempat penampungan.

Memang praktis cara yang dipraktikkan para penebang liar ini, meski dampaknya buruk terhadap kawasan gambut. Parit yang digali sering kali lebih dalam dibanding ketinggian permukaan air di tanah gambut.

Akibatnya, air di kawasan gambut tersebut teratus (mengering) masuk ke parit dan selanjutnya mengalir ke sungai. "Kawasan gambut pun menjadi kering. Padahal, gambut yang sudah tidak menyimpan air tidak lagi bisa disebut gambut," papar Alue.

Keringnya gambut inilah yang terbukti memudahkan terbakarnya lahan setempat di musim kemarau. Karakteristik kebakaran gambut sering kali api tidak kelihatan berkobar di permukaan, tetapi di dalam tanah gambut membara dan menimbulkan asap membubung udara.

Untunglah Alue dan rekan-rekannya dapat membalik fungsi tabat yang dipakai oleh penebang liar untuk merusak kawasan gambut, menjadi metode efektif menjaga tata air gambut. Kalau para penebang liar merusak gambut dengan membuat tabat, Alue menyelamatkan gambut dengan membuat tabat.

Sumber : Kompas, Sabtu, 2 September 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks