Jun 26, 2009

Mohamad Tan Deseng : Tan Deseng dan Kesetiaan pada Dunia Seni

Tan Deseng dan Kesetiaan pada Dunia Seni
Oleh : D06

Tubuh rampingnya tampak ringkih. Pun raut wajahnya yang putih dan bermata sipit telah jelas menunjukkan gurat-gurat ketuaan. Namun, ketika dikunjungi beberapa pekan lalu, Mohamad Tan Deseng (63) masih piawai meniup suling degung mengalunkan tembang cianjuran. Nada meliuk-liuk dari tiupan degungnya membawa hati ke suasana damai alam pedesaan Jawa Barat yang permai.

Koh Deseng, demikian banyak orang memanggil lelaki keturunan Tionghoa ini, juga mahir memainkan kecapi. Dua kecapi berlainan ukuran tampak pada rak di ruang tengah. Beberapa gitar dan suling degung juga terdapat di situ.

Di ruang tamu terdapat berbagai perangkat kesenian tradisional Sunda lainnya. Rumah kontrakan di Jalan Malabar Bandung itu juga sering dijadikan arena berlatih oleh Kelompok Seni Pasundan Asih yang dipimpinnya.

Selain piawai memainkan alat musik, Deseng juga fasih mengalunkan kawih—salah satu jenis nyanyian Sunda. Lebih dari itu, Deseng juga telah menciptakan banyak kawih yang banyak disimpannya dalam bentuk rekaman kaset.

Mendapat pengakuan

Kepiawaian Deseng dalam olah seni Sunda sudah banyak mendapat pengakuan. Berbagai panggung telah ia jelajahi. Bukan hanya dalam negeri. Tahun 1990-an khalayak China dan Jepang pernah menyaksikan Deseng dan beberapa anggota keluarganya memainkan seni tradisional Sunda. ”Tanggapan mereka sangat bagus,” kata Deseng mengenang.

Penguasaannya pada seni tradisional Sunda membuat ia disejajarkan dengan tokoh-tokoh kesenian Sunda lainnya. Ia sempat bermain dengan pesinden lagu-lagu Sunda, Titin Fatimah, Upit Sarimanah, dan Tati Saleh. Sembari bermain bersama, Deseng belajar mendalami kesenian yang dikuasai oleh tokoh-tokoh itu. Dari Abah Soenarya misalnya, selain belajar tembang Sunda, Deseng juga menyerap ilmu mengenai wayang golek.

Bisa dibilang, Deseng, istri, dan anaknya adalah keluarga seniman. Semasa hidup, istri Deseng yang kedua, almarhumah Nia Kurniasih, menaruh minat pada seni Sunda. Sekarang dua putri dari tiga anaknya juga terjun dalam dunia yang sama. Putri pertamanya, Fitri Yulianti (25), adalah penari dan pemain kecapi.

Sementara putri kedua, Tantri Saleh (21), selain mahir menari juga seorang juru mamaos. Mereka kerap tampil bersama dan sempat mendapat julukan Trio Tan.

Secara formal, pengabdian Deseng pada pelestarian seni Sunda juga telah mendapat pengakuan. Tahun 2004 lelaki bercucu satu ini mendapat penghargaan dari Pemerintah Daerah Jawa Barat atas pengabdiannya sebagai seniman musik tradisional Sunda.

Penghargaan itu pantas diterima Deseng, sebab selain aktif bermain dalam seni Sunda, Deseng juga menyimpan dokumentasi berbagai kesenian tradisional Sunda. Di antaranya adalah seni-seni yang kini sudah sangat langka, seperti angklung buhun dari Tasikmalaya.

Diharapkan berdagang

Deseng lahir di Bandung, 22 Agustus 1942, dari pasangan Tan Njing Hong dan Yo Wah Kie sebagai anak keenam dari delapan bersaudara. Masa kecilnya di Gang Tamim dan Gang Ijan banyak memengaruhi kecintaannya pada seni tradisional Sunda. Saat itu ada seorang sesepuh kampung bernama Yayat Kusumahdinata yang merupakan tokoh kesenian Sunda.

Di rumah Abah Yayat, Deseng sering menonton pergelaran seni Sunda seperti wayang golek yang tentu saja disertai musik pengiringnya. Belum genap sepuluh tahun, Deseng sudah mampu memainkan suling degung. ”Setidaknya saya sudah paham titi raras nada lagunya,” ujar Deseng.

Kemampuan itu menunjukkan bila ia cukup berbakat di bidang seni. Meski sudah jelas terlihat bakat seninya, kedua orangtuanya tidak mengharapkan ia menggantungkan hidup dari bidang itu. Deseng pun mencoba menuruti perkataan mereka. Berkali-kali ia mencoba peruntungan dengan berdagang. ”Sempat juga mencoba jual beli besi di Palembang bersama seorang kawan,” ujar Deseng mengenang.

Namun, panggilan jiwanya memang bukan di sana. Deseng pun pulang ke Bandung mendekat kembali pada dunia seni. Ia sempat bermain dalam beberapa grup band seperti Paramor, Maria Musica, Blue Diamond, dan Hamming Youth. Ia juga pernah bergabung dengan Young Brothers dan pentas di berbagai kota seperti Jakarta, Yogya, dan Surabaya. Dalam band, ia banyak memegang gitar. Saking mahirnya memainkan alat musik itu, Deseng dijuluki Si Setan Melodi.

Kini Si Setan Melodi yang sempat tampil di Jak Jazz 1995 itu sedang bersiap kembali pindah kontrakan rumah. Dunia seni memang sering tidak menjanjikan kekayaan. Tapi bagi Deseng, kesetiaan pada seni adalah pilihan untuk kedamaian hati. (D06)

Sumber : Kompas, Sabtu, 23 Juli 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks