Jun 26, 2009

Michael D Ruslim : Resep Komunikasi di PT Astra

Resep Komunikasi di PT Astra
Oleh: Buyung Wijaya Kusuma

Astra Internasional akan merayakan ulang tahun setengah abad. Sepanjang usianya hampir tak pernah terdengar kemelut tenaga kerja dalam perusahaan yang menjadi ikon dunia usaha di Indonesia. Pemegang saham yang mayoritas asing pun tetap meningkatkan investasi mereka di Indonesia melalui Astra.

Presiden Direktur PT Astra International Michael D Ruslim yang terpilih memimpin Astra dalam rapat umum pemegang saham Juni lalu, punya resep menjaga hubungan dengan karyawan maupun pemegang saham: kembali ke dasar kehidupan manusia, yakni berkomunikasi untuk menuai respek dan kepercayaan.

Michael mencontohkan bagaimana membangun nilai kekeluargaan di lingkungan Astra dengan melakukan kajian berkala mengenai kinerja cabang. ”Kami tahu hal itu memakan waktu, tetapi perlu interaksi dan saling mengenal lebih dalam,” ujarnya.

Komunikasi, menurut Michael, penting untuk mengerti orang lain. Yang absolut hanya dari Allah, hidup hanya titipan. ”Kita perlu rendah hati untuk berkomunikasi dengan orang lain agar saling menghargai dan memercayai,” katanya.

Mengenai kiat berkomunikasi dengan prinsipal Jepang, dia menegaskan, Astra memberi bukti bukan janji. Contohnya, selama bermitra sekian puluh tahun dengan Toyota, Daihatsu, atau Honda, Astra tak pernah ada persoalan dengan para buruh.

Dia berhasil menghapus stigma di kalangan prinsipal bahwa buruh Indonesia tidak produktif dan tudingan negatif lainnya. Baginya, tidak produktifnya buruh dikarenakan mereka tidak diberi cukup pelatihan sebelum bekerja.

”Tiap kali Astra hendak ekspansi, enam bulan sebelumnya sudah menerima karyawan untuk dilatih di tempat lama. Rumor buruh Indonesia tidak produktif dan mahal sebenarnya bisa dihilangkan kalau kita mengatur dengan baik,” ujar Michael.

Buruh bagi Michael bukan barang, karena itu mereka juga dihargai dan selalu berkomunikasi, termasuk dalam perhitungan tantiem yang selalu dikaitkan dengan produksi.

Karena itu, Astra merasa sangat berat ketika harus mengurangi 25 persen karyawannya pada 1998. ”Mereka diberhentikan bukan karena kesalahan, mereka telah bekerja baik selama bertahun-tahun. Namun, dengan komunikasi yang baik, karyawan bisa menerima kenyataan tersebut,” ujarnya.

Pria kelahiran 29 November 1953 dan besar di Bandung ini menolak mengatakan apakah dia sudah disiapkan sejak awal untuk suatu waktu memimpin Astra. ”Kalau saya sudah tahu, pasti saya menolak,” kata suami dari Trisni Puspitaningtiyas dan ayah dari Gisela dan Gilang.

Michael yang mendapat pendidikan MBA di University of Wisconsin Madison, Amerika Serikat, meninggalkan Citibank dan bergabung dalam divisi keuangan Astra tahun 1983, mengatakan, sistem suksesi di Astra sudah baik. Karena itu, siapa saja yang menjadi bos, Astra akan tetap maju karena ada kerja tim. ”Kami punya pool executive untuk program suksesi,” ujarnya.

Meski demikian, Michael berpendapat, sebaiknya penunjukan direksi berlangsung transparan untuk menghindari spekulasi, rumor, dan kemungkinan perpecahan. ”Kalau tidak transparan, akhirnya karyawan tidak kerja karena sibuk ikut blok-blok,” ujarnya.

Sebenarnya, Michael kecil sudah senang berkomunikasi. Menurut dia, manusia tidak hidup dalam masyarakat kosong. ”Waktu pemerintah menjalankan program asimilasi, sebagai keturunan China saya anggap suatu yang normal saja. Saya bahkan bergaul dengan kalangan militer dan istri pun anak tentara,” ujarnya.

Berbicara mengenai krisis bahan bakar minyak (BBM) saat ini di Indonesia, Michael memastikan industri otomotif tidak terlepas dari kebijakan pemerintah. Pihaknya akan bekerja sama dengan prinsipal untuk mencoba apa yang sukses dilakukan di negara berkembang lain.

”Semua tergantung pemerintah. Misalnya, kalau Toyota memasok kendaraan berbahan bakar biodiesel, jangan-jangan pompa bahan bakar biodiesel yang tersedia cuma dua,” Michael menjelaskan.

Di luar perbincangan otomotif, Michael juga menjawab pertanyaan masuknya Astra ke bisnis jalan tol. Sebenarnya Astra sejak tahun 1990-an mulai masuk sektor infrastruktur. ”Ini bagian dari tiga pilar: pemerintah, masyarakat, dan pengusaha, yang saling bergantung. Astra juga hendak terlibat di sana,” ujarnya. Belajar dari pengalaman di luar negeri, infrastruktur sangat dibutuhkan, dan yang paling dekat dengan usaha Astra adalah jalan tol.

”Kami baru belajar, jadi Astra mencoba dengan membeli jalan tol yang sudah ada, yakni jalur Tangerang-Merak. Langkah Astra ini juga untuk memberi sinyal kepada pihak asing bahwa kondisi di dalam negeri sudah lebih kondusif dan tak perlu takut aturan,” ujar Michael.

”Kalau orang tak bisa berenang dicemplungkan ke air, akhirnya bisa juga berenang. Kalau kita mau berbisnis selalu ditakut-takuti, akhirnya tidak berani,” katanya. (Ardian Novianto, Peter P Gero, Suryopratomo)

Sumber : Kompas, Kamis, 21 Juli 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks