Nanu Muda, Rekonstruksi Seni Doger
Oleh : Yenti Aprianti
Doger adalah kesenian asal Kabupaten Subang, Jawa Barat, yang cukup unik. Sayangnya, sejak pertengahan tahun 1980-an, kesenian rakyat ini sudah punah. Selama lima tahun merekonstruksi doger, akhirnya Mas Nanu Munajah Dahlan (45) berhasil menampilkan kembali kesenian tersebut di ajang nasional hingga internasional.
Sebelum kedatangan Inggris sekitar tahun 1812 untuk mendirikan perkebunan di Jawa Barat, kesenian doger sudah dikenal masyarakat Subang. Biasanya kelompok tari ini berjalan dari kampung ke kampung, membawa penari lelaki dan perempuan dalam jumlah ganjil: tiga, lima, tujuh, atau sembilan penari. Satu di antara mereka adalah penari bangbarep atau penari primadona.
Saat pertunjukan digelar, penonton diperbolehkan ikut menari. Mereka yang menari menyerahkan uang kepada lurah kongsi atau pemimpin rombongan. Tarian yang dibawakan gabungan antara tari tayub dan ketuk tilu.
Pada awalnya, pemain musik dan penari menggunakan busana sunda seperti kemeja kampret dan kebaya. Tetapi, sejak masuknya Inggris ke Kabupaten Subang, mereka mengubah penampilan. Busana perempuan penarinya berupa longdress alias rok terusan yang mengembang seperti perempuan Eropa dan kacamata hitam.
Pada perkembangannya, tarian pergaulan ini dinilai oleh sekelompok masyarakat sebagai tarian yang tidak pantas karena ditarikan oleh lelaki dan perempuan. "Padahal, sebetulnya tarian pergaulan ini tarian yang tidak melanggar etika masyarakat," ujar Nanu.
Bayar Rp 1,5 juta
Pada tahun 1940-an, kelompok-kelompok doger tidak hanya tampil di lapangan, tetapi juga mendatangi perkebunan-perkebunan teh untuk menghibur pekerja. Biasanya mereka mengamen saat karyawan perkebunan usai mendapatkan upah pada akhir bulan.
Doger dimainkan sejak malam hingga pagi hari. Siang atau sore sebelum pentas, anggota kelompok doger akan berkeliling kampung untuk mengabarkan rencana pertunjukan mereka.
Nanu yang sering menyingkat namanya dengan Nanu Muda sejak lama sudah menyukai kesenian rakyat. Setiap kali ada kabar akan ada kelompok kesenian pentas di Subang, ia pasti akan datang ke tempat pementasan.
"Saya menonton doger terakhir kali pada tahun 1973, waktu saya masih SMP," ujarnya mengenang.
Ketika dewasa dan menjadi dosen di Jurusan Seni Tari Sekolah Tinggi Seni Indonesia di Bandung, kerinduannya pada doger timbul kembali. Beruntung saat meneliti kesenian rakyat di Subang, ia bertemu Jaim (kini berusia 84 tahun), tokoh doger satu-satunya yang masih tersisa di kabupaten tersebut.
Hampir setiap hari, selama dua tahun dari tahun 1987, Nanu menemui Jaim untuk mendengarkan sejarah doger dan mempelajari berbagai unsur tarian dan musik kesenian tersebut. Karena cerita-cerita Jaim, Nanu dan mahasiswanya sempat melepaskan kangen dengan meminta Jaim menampilkan kembali kesenian doger tersebut. Untuk biaya nonton kesenian langka itu, Nanu dan mahasiswanya mengeluarkan uang Rp 1,5 juta pada akhir tahun 1980 itu.
Tahun 1990 tekadnya makin kuat untuk merekonstruksikan kembali kesenian doger. Hasil rekonstruksi sempurna pada tahun 1990 dan dinamai Doger Kontrak. Kata kontrak diambil karena pada tahun 1940-an masyarakat yang membayar kelompok doger sebagian besar adalah buruh kontrak di perkebunan.
"Saya tidak bisa mengembalikannya pada masyarakat asalnya karena sudah tidak ada regenerasi. Tetapi, dengan direkonstruksi kembali, saya masih bisa mempertontonkannya kepada masyarakat di acara-acara kesenian," ujar Nanu yang juga menciptakan tarian Cikeruhan dan Gaplek yang merupakan gabungan dari tarian rakyat berbagai daerah di Jabar.
Pada tahun 1990, Doger Kontrak menjadi juara di Festival Parade Tari di Jakarta. Sejak saat itu, Nanu juga telah berhasil menampilkan Doger Kontrak pada berbagai misi kebudayaan dan festival tari di Malaysia, Jepang, Thailand, India, Italia, Perancis, dan Amerika.
Berutang
Nanu, yang anak tentara dan Kepala Desa Bumihayu, Kabupaten Subang, tahun 1970-an ini, mula-mula mendalami kesenian di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia di Bandung, jurusan karawitan. Namun, sekeras apa pun ia berlatih, suaranya tidak pernah terdengar merdu.
Berdasarkan rekomendasi seorang psikolog, Nanu yang dinilai memiliki kecerdasan kinetik kemudian meneruskan kuliah di jurusan tari di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung yang kini menjadi STSI Bandung, dan lulus sarjana muda tahun 1986.
Nanu meneruskan pendidikan ke strata satu di STSI Solo dan strata dua di Ilmu Humaniora, program studi Pengkajian Seni Pertunjukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, lulus tahun 2004. Ia mengangkat disertasi mengenai tarian rakyat pantai utara Jabar.
Kecintaannya pada tarian rakyat membuatnya tidak pernah berhitung soal uang. Nanu pernah meminjam uang di bank sebanyak Rp 30 juta untuk meneliti tarian rakyat di sekitar daerah Karawang, Subang, dan Indramayu selama lima tahun sejak tahun 1997.
"Sekarang utang bekas penelitian sudah hampir lunas. Mungkin akan selesai tahun 2007," ungkap suami Rinna Sri Isnawa (33), yang mengaku senang jalan-jalan keliling kampung di Jabar untuk mencari inspirasi bagi tari-tarian yang disusunnya. Nanu juga sering mengajak mahasiswa dan para remaja untuk menari di kampus, gedung kesenian, hingga pesantren.
Sumber : Kompas, Selasa, 11 Juli 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment