Jun 16, 2009

B Trisman : Trisman dan Dokumentasi Bahasa Sumsel

Trisman dan Dokumentasi Bahasa Sumsel
Oleh : Ilham Khoiri

Siapa pun yang hendak mempelajari ragam bahasa lokal dan sastra tutur tradisional di Sumatera Selatan bakal mencari B Trisman (44). Maklum, lelaki itu telah memelopori penyusunan kamus bahasa lokal Sumsel yang sebagian sudah terancam punah.

Bersama sejumlah sastrawan Palembang, dia merintis dokumentasi pertunjukan sastra tutur tradisional yang sudah jarang dipentaskan.

Suatu siang pada akhir Juni lalu, Trisman tampak sibuk membolak-balik draf kamus bahasa Palembang dan bahasa Enim, di Balai Bahasa Sumatera Selatan (Sumsel), di kawasan Jakabaring, Palembang.

Dua kamus itu masing-masing memuat sekitar 4.000 entri istilah yang tercetak dalam 300-an halaman. Setiap entri diberi penjelasan dalam bahasa Indonesia yang mencakup kata dasar, kata bentukan, pengertian istilah, contoh, dan kelas kata.

Kedua kamus bahasa lokal asli Sumsel itu disiapkan tim peneliti balai bahasa yang dipimpin Trisman sejak tahun 2002, dan dijadwalkan terbit tahun 2006 ini. Pekerjaan itu tidak mudah, lantaran tim mesti mencatat ribuan kosa kata dengan menelusuri banyak literatur, sekaligus merekam penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menentukan ungkapan yang akurat, mereka kerap masuk kampung keluar kampung di pelosok demi mencari tokoh adat yang masih menguasai istilah-istilah yang asli.

"Tidak mudah mendapat sumber bahasa yang otentik karena banyak tokoh adat yang sudah terpengaruh bahasa populer. Tapi, itulah tantangannya," kata Trisman dengan bersemangat.

Meski dihadang berbagai kesulitan, Balai Bahasa Sumsel justru getol menyusun dua kamus lagi, yaitu bahasa Lintang dan bahasa Ogan. Keempat bahasa yang didokumentasikan itu termasuk 10 bahasa lokal pokok, yang menurunkan 45 bahasa lebih lokal lagi.

Penyusunan kamus-kamus itu dimaksudkan untuk menginventarisir dan melestarikan ungkapan bahasa lokal yang hampir punah. Kamus juga akan mempermudah siapa pun yang ingin mempelajari bahasa-bahasa tersebut. "Impian kami, semua bahasa pokok Sumsel punya kamus sendiri-sendiri. Jika tidak begitu, khazanah bahasa yang mencerminkan kekayaan budaya lokal itu bisa hilang dan terlupakan," ungkapnya.

Menurut Trisman, semua bahasa lokal Sumsel berakar dari budaya Melayu di pedalaman sungai yang menyerap unsur bahasa Jawa dan logat Batak. Sebagian kata diakhiri dengan vokal "o", sebagian lagi dengan "e". Kadang, beberapa vokal dideretkan pada akhiran satu kata, seperti liueh untuk menyebut ludah.

Kata-kata itu diucapkan dengan intonasi cepat, sedangkan ungkapan yang terlalu panjang sering diperpendek. Karakter itu berbeda dengan Melayu pesisir yang lebih lembut dan mendayu.

"Perbedaan logat sering dipengaruhi lokasi pemukiman yang diukur dari posisi sungai. Misalnya, antara masyarakat yang tinggal di hulu atau hilir sungai. Nama-nama bahasa itu identik dengan nama sungai, seperti Musi, Lematang, Ogan, atau Enim. Sebagian kosa kata Sumsel telah diadopsi bahasa Indonesia, seperti kata 'pantau' dan 'mantan'," paparnya.

Sastra tutur

Selain menyusun kamus, Trisman juga merintis dokumentasi sastra tutur tradisional Sumsel. Seni ini berupa dongengan yang disampaikan secara oral tanpa teks yang mengisahkan berbagai cerita rakyat. Dari sekitar 15 jenis yang ada, setidaknya empat jenis sastra tutur yang telah direkam Balai Bahasa Sumsel, yaitu jelihiman, bujang jamaran, cerita panjang, dan nenggung.

"Kami undang penutur untuk tampil dan kami merekamnya sampai selesai. Mencari penutur yang masih alami itu sulit karena sudah banyak yang berusia lanjut atau meninggal, sedangkan generasi muda enggan meneruskan tradisi tersebut," katanya.

Dokumentasi itu diharapkan dapat melestarikan seni tradisional yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang dibentuk selama ratusan tahun itu.

Keluarga guru

B Trisman lahir di Tanah Datar, Sumatera Barat, 1962, dari keluarga guru. Kecintaannya pada sastra dimulai sejak kecil. Dia bersentuhan dengan karya sastra tradisional, seperti pantun, hikayat, atau cerita keagamaan, saat belajar mengaji di surau. Sastra modern dikenalnya lewat bangku sekolah.

Seusai menamatkan SMP dan STM di Bukit Tinggi, dia kuliah di Jurusan Sastra Inggris Universitas Bung Hatta, Padang. Sempat mengikuti kursus singkat di Soas University of London selama setahun, kemudian mengambil program magister Ilmu Kesusastraan di Universitas Indonesia (UI), Jakarta.

Sejak tahun 1990-2001, Trisman aktif sebagai peneliti pada Pusat Bahasa Jakarta, kemudian pada Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastra). Pada masa itu, dia semakin tertarik dengan khazanah sastra tradisional di berbagai daerah di Nusantara yang pernah ditelitinya. Tahun 2001, lelaki itu diangkat menjadi Kepala Balai Bahasa Palembang, yang kemudian dikembangkan menjadi Balai Bahasa Sumsel.

Selain dikenal sebagai pengamat sastra yang tekun, Trisman juga rajin menulis puisi atau cerpen dalam bahasa Indonesia dan Minang. Saat menulis, dia sering menyamarkan namanya menjadi Bet To Tiko atau BT Malma.

"Kehidupan ini butuh sastra. Bahasa dan sastra merupakan media penting untuk mengekspresikan gagasan intelektual dan estetika yang mencerminkan budaya masyarakat. Sastra yang baik dapat mengasah kehalusan budi bagi penulis dan penikmatnya," papar Trisman pula.

Sumber : Kompas, Rabu, 12 Juli 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks