Jun 19, 2009

Marsudi dan Pertanian Lahan Gambut

Marsudi dan Pertanian Lahan Gambut
Oleh : C Anto Saptowalyono

Jadi orang lapangan jangan banyak mengeluh, banyaklah bekerja. Prinsip ini dipegang Marsudi dan para transmigran perintis pertanian lahan gambut di Kalampangan, Kecamatan Sebangau, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Di tempat kelahiran saya Gunung Kidul, Yogyakarta tanah berbatu pun dapat kami kelola menjadi lahan bertani. Gambut pun dapat dikelola, asal benar caranya dan tekun pengerjaannya,” kata Marsudi di ladang sayur dan palawija kawasan Kalampangan, Selasa (14/2/2006).

Akan halnya Kalampangan, daerah ini tersohor sebagai kawasan percontohan pertanian lahan gambut yang terbilang sukses di Kalimantan Tengah. Daerah tersebut mulai dibuka menjadi kawasan bertani para transmigran sejak tahun 1980-an.

Marsudi (56) merupakan satu di antara 40 rekannya asal Yogyakarta yang menjadi pelopor pertama transmigran di Palangkaraya tersebut. Naluri petani, kata suami Tumiyem ini, selalu mau belajar dari alam.

”Saat masuk ke sini, saya sama sekali tidak tahu tanah gambut itu seperti apa. Akal saja yang kami gunakan. Jadi kami ke sini dulu itu ibaratnya seperti ikut ujian di alam,” katanya.

Pekerjaan mereka di bulan-bulan pertama diawali dengan membersihkan sisa-sisa kayu di lahan. Mereka kemudian membolak-balik tanah gambut dengan cangkul. Mereka taburkan abu bakaran seresah di lahan gambut yang masam tersebut. Ini untuk memancing pertumbuhan bibit agar bagus.

Parit-parit mereka gali. Ketika hujan, air akan mencuci lahan dan mengalir ke parit-parit tersebut sehingga lama-kelamaan kemasaman tanah dapat berkurang. Untuk menurunkan kadar asam di tanah gambut agar makin cocok untuk tempat tumbuh tanaman budidaya, kapur pun mereka sebarkan ke lahan.

Para petani tadi terus mengolah tanah garapannya. Kotoran sapi dan ayam menjadi penambah kesuburan lahan. Sebagian kotoran tersebut berasal dari hewan ternak sendiri, sebagian mereka beli dari tetangga.

Kini harga pupuk kandang di Kalampangan Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per zak berisi sekitar 50 kilogram. Selain dimanfaatkan kotorannya untuk pupuk, ayam kampung menjadi aset petani yang luwes karena dapat segera dijual ketika ada kebutuhan mendadak.

Sebagai kaum yang berguru kepada alam, para petani Kalampangan memiliki cara ampuh dan ramah lingkungan dalam menggunakan pupuk. ”Kami tidak kaku menentukan sekian hektar harus menggunakan pupuk berapa ton. Yang kami lihat adalah kondisi tanaman di lahan,” kata Marsudi.

Butuh pupuk

Pemupukan hanya dilakukan saat tanaman kelihatan membutuhkan pupuk, yang antara lain dicirikan dengan terlihat menguningnya daun, lambatnya pertumbuhan, dan gejala lain.

Seperempat abad telah berlalu sejak pertama kali Marsudi dan kawan-kawannya sesama transmigran datang ke Kalampangan. Kini, lahan tersebut sudah menjadi kawasan pertanian gambut yang cocok untuk tanaman seperti bayam, kangkung, tomat, terung, kacang-kacangan, dan jagung.

Lahan tersebut sering didatangi petani luar daerah untuk magang dan ahli pertanian dari kalangan universitas. Berhasilnya pengembangan pertanian tersebut tak lepas dari sikap tidak suka mengeluh para petani Kalampangan.

Sebab, kalau mau mengeluh, banyak yang bisa dikeluhkan saat lahan transmigrasi di Kalampangan itu baru dibuka. Untuk pergi ke pasar di Palangkaraya, misalnya, para petani Kalampangan tersebut harus berjalan kaki sejauh 20 kilometer lewat jalan setapak.

”Tapi semua itu ya kami lakoni (Jawa: jalani). Karena dengan berjalan jauh itu kami dapat menghidupi keluarga, dengan menjual hasil bumi yang kami bawa dengan pikulan ke pasar di Palangkaraya,” kata ayah tiga anak ini.

Lelaku prihatin yang mereka jalani tadi sekarang mulai menunjukkan hasil. Usaha tani mereka di lahan gambut Kalampangan dapat menopang kehidupan harian keluarga. Bahkan, setiap bulan tiap keluarga dapat membayar arisan yang nilai kumulatifnya mencapai Rp 500.000.

Sebagai gambaran, arisan di Kalampangan terdiri dari beragam jenis, mulai arisan yasinan, paguyuban, ibu-ibu, hingga arisan pemuda. Kebiasaan arisan ini mereka bawa dari Jawa.

”Ketika methok arisan (mendapat giliran memperoleh uang arisan setelah diundi), uang yang didapat digunakan untuk beli sapi atau ditabung,” kata Marsudi yang menjadi ketua kelompok tani di wilayahnya.

Tabungan tersebut digunakan saat ada keperluan mendesak, semisal untuk membeli bahan bakar mesin sedot air dari sumur yang digali di ladang untuk menyirami tanaman ketika ada kemarau panjang.

Saat ini petani Kalampangan terkadang juga diajak ke pedalaman untuk membagi pengalaman dan pengetahuan bertani di lahan gambut. Mereka tak enggan berbagi pengetahuan sembari bersilaturahmi dengan warga setempat.

”Orang yang bertamu akan sulit menemui saya di rumah, tapi pasti mudah bila mencari saya di ladang,” kata Marsudi. Jawaban khas kaum petani yang mengejawantahkan harapan dan cita-citanya melalui kerja keras di lapangan.

Sumber : Kompas, Senin, 20 Februari 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks