Jun 9, 2009

Mami Setiani KEcanduan Ketoprak

Mami Setiani Kecanduan Ketoprak
Oleh : AB9

Kamis sore, 14 Desember lalu, Mami Setiani (77) sibuk membereskan bilik kamarnya dari genangan lumpur akibat air hujan. Baru saja dia selesai berbenah, hujan deras mulai turun lagi. Sudah tiga bulan Mami tinggal bersama rombongan Ketoprak Tobong Kelana Bakti Budaya asal Kediri, Jawa Timur, di sudut tanah lapang Banyuraden, Kecamatan Gamping, Yogyakarta.

Tinggal di tanah lapang tentu bukanlah tempat yang nyaman. Apalagi Mami bersama 42 anggota ketoprak tersebut harus tinggal di kamar sementara berdinding anyaman bambu dan beratap seng. Belasan kamar masing-masing berukuran 3 meter x 3 meter itu berderet di belakang panggung, beralaskan lantai tanah lapang.

Sinar terik matahari selalu membakar mereka di siang hari. Mereka juga harus kedinginan kala angin menerbangkan tempias air hujan ke dalam kamar melalui celah dinding dan atap. Belum lagi guyuran air hujan sering kali menggenang hingga setinggi lutut orang dewasa.

Susahnya hidup tak membuat Mami mengeluh. Tiap hari selama berpuluh-puluh tahun ia menjalani hidup dalam bilik bak barak pengungsian, nyatanya tak memadamkan sinar kegembiraan dan keramahan dari tubuhnya yang mulai renta. Dengan gaji hanya Rp 3.500 per hari, Mami mengaku selalu bisa mencukupi kebutuhan hidupnya.

Berlaku lurus

Hujan deras yang mengguyur selama tiga hari terakhir membuat Mami dan rekan-rekannya terpaksa tidak manggung. Otomatis Mami tak mendapat gaji. Tak ada penonton yang mau datang saat hujan turun dan air menggenangi kursi-kursi penonton. Jika rasa lapar menyapa perutnya, Mami memilih tidur. Dia yakin esok hari pasti rezeki akan datang asalkan dia tetap berlaku lurus, tidak berbohong atau mengemis.

Kala tak ada uang, Mami mengaku tak pernah mengharapkan belas kasihan dari orang. Dalam sehari, dia terbiasa makan nasi hanya sekali. Beras seperempat kilogram bisa dimasaknya untuk dua hari. Dia mengaku cukup terbantu dengan pasokan beras, mi instan, atau minyak goreng yang sesekali datang dari pemilik ketoprak, Pendeta Dwi Tartiasa.

Hartanya yang paling berharga, menurut Mami, adalah delapan potong kostum ketoprak yang sudah tua. Mami sendiri sudah lupa kapan terakhir kali membeli kostum. Kostum-kostum itu disimpannya rapi dalam kotak kayu.

Banyaknya penonton yang datang selalu membuat Mami bersemangat. Dalam tiap pertunjukan, Mami selalu memerankan tokoh pria, baik sebagai raja, patih, atau abdi dalem. Saat di panggung, dia merasa sebagai pria dan bertarung dengan gagah berani.

Suatu kali, saking semangatnya ingin membunuh raksasa, Mami melompat dan terjatuh di atas panggung sehingga empat giginya tanggal. "Saya pasti masih cantik jika gigi saya lengkap," ujarnya diiringi tawa riang.

Suasana panggung yang ceria selalu membawanya pada kenangan-kenangan masa silam ketika dia pertama kali bergabung sebagai anggota rombongan ketoprak. Sebelum masuk ketoprak, Mami sempat menikah dengan seorang lurah. Sebagai mas kawin, lurah itu membelikannya satu rombongan ketoprak tobong. Sejak suaminya meninggal, Mami mulai terjun menjadi pemain ketoprak dan tidak menikah lagi.

Bangkrut

Beberapa tahun kemudian, ketoprak miliknya bangkrut dan terpaksa dijual. Mami tetap meneruskan kehidupannya sebagai pemain ketoprak. Tiap kali pemilik ketoprak tempatnya bekerja bangkrut, Mami langsung ganti juragan ketoprak. Saking banyaknya, dia mengaku sudah tak bisa menghitung lagi berapa juragan yang pernah diikutinya.

Meski tak punya anak kandung, menurut Mami, hidupnya tak pernah kesepian. Semua orang dalam rombongan ketoprak ini selalu dianggapnya sebagai anggota keluarga. Kala dia merasa sedih, penderitaannya akan hilang saat bercengkerama dan mengobrol dengan rekan-rekannya. "Senang karena banyak teman untuk ngomongin riwayat masa lalu," tuturnya.

Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, semua saudara kandungnya berulang kali memintanya untuk berhenti manggung dan pulang ke kampung halamannya di Kecamatan Pakisaji, Malang.

Mami hanya pulang untuk mengunjungi makam orangtuanya jika lagi punya duit. Tiap kali pulang, dia tak pernah menceritakan kesusahannya dan selalu bilang dalam keadaan baik. "Saya selalu ngirit naik kereta api, kalau tiket bus ndak kuat belinya," tambahnya.

Bagi Mami, satu-satunya kesenangan yang masih bisa diraihnya adalah ketika berperan sebagai pemain ketoprak di atas panggung. "Rasanya memang kepingin pulang, tapi nyatanya keinginan manggung lebih kuat. Saya juga heran kenapa ndak bisa berhenti. Saya kecanduan panggung," ujarnya sambil tertawa.

Mami mengaku tak mau menyusahkan orang lain. Dia masih memiliki satu patok sawah di desanya yang dia beli dari hasil penjualan ketopraknya. Sawah itu sudah disiapkannya untuk dijual sebagai biaya pemakamannya nanti. Hingga kini, Mami mengaku belum pernah sakit keras. Dia pernah demam selama dua hari, tapi langsung sembuh setelah berenang di sungai selama dua jam.

Berpuluh tahun bekerja sebagai pemain ketoprak membuatnya hafal melakoni peran apa pun. Karena itu, kini Mami tak pernah berlatih untuk bermain ketoprak. Sesaat sebelum naik panggung, biasanya sutradara memberinya pengarahan singkat, lalu ia pun bermain secara spontan. Mami akan terus bermain sepanjang sisa usianya....(AB9)

Sumber : Kompas, Senin, 18 Desember 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks