Jun 9, 2009

Biranul Anas dan Seni Serat

Biranul Anas dan Seni Serat
Oleh : Ilham Khoiri

Di tengah dominasi seni lukis, tak banyak perupa Indonesia yang memilih berkarya dengan material serat. Dari jumlah yang terbatas itu, hanya sedikit yang terus tekun menghasilkan karya-karya seni serat yang berkualitas.

Biranul Anas (59) adalah salah satu seniman yang konsisten menggarap serat sebagai media ekspresi seni kontemporer sejak akhir tahun 1970-an sampai sekarang.

Konsistensi Anas dapat disimak dalam pameran tunggalnya yang bertajuk "Ikatan Silang Budaya" di Bentara Budaya, Jakarta, 10-17 Desember 2006. Sebanyak 47 karya, dalam berbagai ukuran dari tahun 1979-2006, pada pameran itu membeberkan perjalanan panjang dalam mengeksplorasi teknik, obyek, dan gagasan seni serat.

Karya seni seratnya menyodorkan teknik beragam. Akhir tahun 1970-an, dia mengandalkan teknik simpul atau macramé. Memasuki tahun 1980 sampai 1990-an, dia mencoba teknik-teknik lain, terutama tenun (tapestry), sulam, dan tempelan (collage). Tahun 1990-an hingga sekarang, dia mencampuradukkan berbagai teknik itu demi menguatkan gagasan yang diusung.

Obyek yang diangkat dalam karya juga berkembang. Bermula dari tema abstrak yang menonjolkan teknik sulaman berwarna monokrom, dia menjamah corak impresif dari alam semesta. Belakangan, ia kepincut pada obyek bunga, dalam berbagai bentuknya.

Dia tak sungkan membalut bentuk bunga dalam paduan warna yang cerah ceria, bahkan acap terasa "manis". Obyek dihadirkan secara realis dengan latar belakang ornamen lokal Nusantara, seperti batik atau ulos. Hal itu terasa pada seri karya tahun 2006 yang ditujukan untuk kaum perempuan, antara lain Mbakyu, Upik, Nyonya, Meimei, Euis, dan Nona.

"Serat itu media yang fleksibel untuk berekspresi seni, termasuk untuk membuat karya-karya kontemporer," ungkap Biranul Anas di sela-sela persiapan pameran tunggal di Jakarta, awal Desember ini.

Semangat itu terasa saat ia mengolah serat untuk membuat instalasi berjudul "Siratan Serat Suratan Jerat". Karya itu berupa belasan jaring serat besar berwarna putih yang dianyam dengan teknik macramé, yang dipasang di pintu masuk menuju ruang pamer Bentara Budaya Jakarta.

Karya itu bisa ditafsirkan sebagai gambaran jerat-jerat masalah yang tengah merundung bangsa. Pesannya, demi mencapai kehidupan yang lebih baik, bangsa ini perlu bersabar mengurai setiap jerat masalah itu. Anas pernah membuat instalasi lain berjudul "Jala-jala Kafetaria" dalam pameran tunggal pertama di Edwin’s Gallery, Jakarta, tahun 2001.

Karya-karya Anas menyiratkan semangat multikulturalisme. Dengan keterampilan tinggi, dia meracik berbagai elemen rupa dari kebudayaan asing dan lokal. Ornamen tradisional yang dekoratif dan dibuat dengan keterampilan teknis diangkat dan dipadukan dengan seni tenunan tapestry yang berlatar belakang sejarah Barat.

Anas lincah meramu berbagai material—seperti bambu, rotan, kayu, dan manik-manik—menjadi jalinan serat yang menyuarakan gagasan tentang perenungan batin, impresi semesta, atau penghargaan terhadap perempuan.

Karya-karya serat Anas dikenal luas, terutama sejak pameran bersama khusus serat tahun 1984 di Bandung, disusul sejumlah pameran lain. Dia aktif berpameran di mancanegara, antara lain International Trienalle of Tapestry di Polandia yang rutin diikuti sejak tahun 1995. Karya dan proses kreatif seniman ini termaktub dalam buku tulisan Jim Supangkat-Rizky Ahmad Zaelani, Ikatan Silang Budaya: Seni Serat Biranul Anas, yang diluncurkan saat pembukaan pameran pekan lalu.

Anas rajin menularkan teknik dan wawasan seni serat kepada generasi muda. Dia diangkat jadi dosen Jurusan Desain Tekstil Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB) tahun 1978, kemudian menjadi Ketua Studio Desain Tekstil tahun 1982-1988. Seni serat menjadi salah satu mata kuliah yang dipegangnya.

Dari desain tekstil

Biranul Anas lahir di Malang, Jawa Timur, 22 Juli 1947. Sempat kuliah arsitektur di Institut Teknologi Surabaya (ITS), lalu pindah ke Jurusan Desain Tekstil FSRD ITB, lulus tahun 1978. Dia menyelesaikan studi doktoral di FSRD ITB tahun 2006.

Anas mengenal seni serat sejak belajar desain tekstil di ITB. Salah satu dosennya, Yusuf Affendi—yang baru datang dari studi desain tekstil di Rochester Institute of Technology, Amerika Serikat—dikenal sebagai perintis seni serat kontemporer sejak pertengahan tahun 1970-an. Tetapi, Anas mengaku benar-benar menyadari potensi serat sebagai ekspresi seni saat mengikuti kursus desain tekstil di Osaka, Jepang, tahun 1974-1975.

Dia terperangah menyaksikan karya-karya seni serat kontemporer yang dipajang di Kyoto Art University. "Ternyata, serat bisa jadi media berekspresi seni yang luar biasa. Kenapa tidak dikembangkan di Tanah Air, yang memiliki tradisi membuat kain dan bahan melimpah?" katanya bersemangat.

Sepulang dari Jepang, Anas getol membuat karya seni serat di sela-sela kesibukan mengerjakan pesanan desain tekstil. Bahan serat diperoleh di pasar, toko kain, atau berburu di alam terbuka. Membuat karya serat dengan teknik yang njlimet butuh waktu lama. Satu karya ukuran 1 meter x 1,5 meter, misalnya, digarap selama dua bulan lebih.

Saat ini Biranul Anas tinggal bersama istri dan dua anaknya di kawasan Gegerkalong, Bandung. Dia berniat terus mengembangkan seni serat di Indonesia. "Saya gelisah karena tak banyak seniman muda yang mau menekuni seni serat," katanya.

Sumber : Kompas, Sabtu, 16 Desember 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks