Jun 16, 2009

Maman A Djauhari : Prof Maman dan Statistik Indonesia

Prof Maman dan Statistik Indonesia
Oleh : Dwi Bayu Radius

Dalam pertemuan pakar statistik di Taejon, Korea Selatan, tahun 1999, Prof Dr Maman A Djauhari merasa gelisah. President Moslem Statisticians and Mathematicians Society in South East Asia itu menyadari bahwa statistik di Indonesia belum sepenuhnya dimanfaatkan secara benar.

Berbagai lembaga moneter internasional yang turut hadir, seperti IMF, Bank Dunia, dan IDB, saat itu memberikan catatan bahwa masih banyak negara yang mempraktikkan statistik karet (rubber statistic). Aplikasi statistik di berbagai negara terbukti belum menerapkan data yang konsisten. Data hanya disajikan tergantung keperluan.

"Saya pun terkejut. Apa itu maksudnya? Jadi, kalau yang datang itu lembaga-lembaga donor, maka disajikan data yang menarik bagi calon pemberi donor," kata Maman.

Begitu pula jika ada pihak yang meminta donasi atau investor, data yang diberikan akan berlainan. Hal yang membuat prihatin: ketidakkonsekuenan tersebut sudah menjadi catatan institusi besar dunia.

"Saya bisa mengatakan, kita di Indonesia masih mempraktikkan statistik karet," ungkap Prof Maman.

Data statistik itu, lanjut Maman, mencerminkan perilaku dan budaya bangsa Indonesia. "Ini diamati dunia. Jadi, tolong semuanya jangan main-main. Kita perlu membangun bangsa ini tidak hanya di bidang ekonomi, tapi juga kultur dan peradaban," ujarnya.

Dalam suatu kesempatan silaturahmi dengan kalangan MPR, Maman mendapat kabar bahwa korban gempa di Yogyakarta menghancurkan rumahnya sendiri agar mendapatkan bantuan Rp 30 juta. Contoh lain, warga langsung mengaku miskin begitu melihat tetangganya mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT). Pengisian data sengaja tidak diisi secara benar semata-mata hanya untuk mendapatkan uang.

"Saya khawatir itu mencerminkan perilaku kita. Jangan sampai kita dikatakan under civilized, salah satunya karena ketidakdisiplinan itu," ujarnya.

Satu-satunya

Kerisauan yang sama dirasakan Maman terhadap kondisi daya saing pakar Indonesia dalam menghasilkan teknologi. Jika Indonesia mau bertarung dalam hard technologies seperti mobil, pesawat terbang, komputer, dan sebagainya, banyak negara lain yang lebih unggul.

Kesempatan bangsa Indonesia sebenarnya dalam soft technologies seperti teknologi kualitas dan teknologi pendidikan. Termasuk soft technologies, yaitu statistik. Teknologi macam itu bisa dijual dengan harga sangat mahal. Rumus-rumus kloning domba dari Inggris, misalnya, dijual ke sebuah perusahaan Amerika Serikat dengan harga 2 miliar dollar AS.

"Saya sangat yakin, bangsa kita sebenarnya mampu. Syaratnya, harus bekerja keras," ungkapnya.

Sebagai wujud atas keyakinan dan tekadnya, Maman pun menulis berbagai rumus yang diterbitkan dalam berbagai jurnal internasional. Tahun 2005, misalnya, tulisannya berjudul Improved Monitoring of Multivariate Process Variability dimuat dalam Journal of Quality Technology.

Dalam Journal of International Association of Traffic Safety Sciences (IATSS Research) tahun 2002, terdapat tulisan lainnya berjudul Stochastic Pattern of Traffic Accidents in Bandung City.

Kekonsistenan Maman dalam bidang statistik serta berbagai tulisan dalam jurnal-jurnal internasional itu membuahkan penghargaan medali emas dari Islamic Country Society of Statistical Scientist di Lahore, Pakistan. Penghargaan tersebut diserahkan Menteri Urusan Khusus Pakistan akhir tahun 2005. Mereka yang menerima penghargaan dinilai telah memberikan kontribusi luar biasa untuk statistik.

Sebelumnya, Maman juga pernah menerima penghargaan dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (Unesco) bersama Kelompok Pakar Kajian Industri Australia (AEGIS), September 2005. Penghargaan diterima atas karyanya dalam ilmu pengetahuan ilmiah untuk wilayah Asia Pasifik.

Selain itu, dia juga menerima penghargaan dari Experten-Netzwerk Moderne Qualitatsmethoden (M-QM), Jerman, untuk artikelnya dalam Jurnal of Quality Technology, Oktober 2005.

Maman memutuskan untuk konsisten di bidang statistik karena berpikir, ilmu tersebut merupakan pengembangan yang dilakukan para ahli di luar negeri. "Kita hanya akan menjadi konsumen ilmu bangsa lain, dan tak menjadi bangsa pencipta ilmu. Kita harus menjadi produsen statistik," katanya.

Seusai menamatkan sekolah lanjutan tingkat atas di Kabupaten Garut tahun 1968, Maman melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung. "Waktu memilih jurusan, pilihan pertama, kedua, dan ketiga saya tulis semuanya matematika. Itu sekadar untuk menunjukkan keseriusan saya," ujar pria kelahiran Garut, Jawa Barat, 8 Desember 1948, ini.

Sejak tahun 1997, dia semakin intens menggeluti bidang statistic industrial dan bergabung dengan American Society for Quality. Kelompok ini adalah perkumpulan terbesar dalam bidang kajian kualitas.

Dalam sejumlah kunjungannya ke luar negeri, para pakar statistik asing yang ditemui Maman mengaku heran sebab pakar statistik dari Indonesia yang sering mereka lihat hanya Maman. Kenyataannya, menjadi the one and the only alias satu-satunya itu tidak membuatnya bangga.

"Saya justru merasa prihatin karena itu menunjukkan, sumber daya manusia Indonesia di bidang statistik memang belum dikenal di mata dunia," tutur Maman.

Sumber : Kompas, Kamis, 6 Juli 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks