Lebih Jauh Dengan : Makarim Wibisono
Pewawancara : Nugroho F Yudho
ADA yang menarik dalam Sidang Ke-51 Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (Komisi HAM PBB) yang digelar di Geneva, Swiss, mulai 15 Maret dan akan berakhir 22 April 2005 mendatang. Untuk tahun 2005, sidang Komnas HAM dipimpin oleh diplomat Indonesia, Makarim Wibisono. Menarik, karena Indonesia yang sering dicitrakan sebagai negara pelanggar HAM, kini justru tampil untuk pertama kali memimpin forum tertinggi di PBB untuk promosi dan perlindungan HAM.
Makarim, yang juga menjabat Wakil Tetap Indonesia di PBB Geneva, memang bukan orang baru di dunia diplomasi multilateral. Mantan wartawan lulusan Fisipol Universitas Gadjah Mada yang bergabung ke Departemen Luar Negeri sejak tahun 1972 itu, memang sudah malang melintang di dunia diplomasi. Awalnya, hingga tahun 1982, dia memang masih berkutat di dalam negeri dengan menjalani hampir semua direktorat di Departemen Luar Negeri. Setelah mengambil gelar master di The Paul Nitze School di John Hopkins University Washington DC (1984) dilanjutkan dengan master sekaligus gelar doktor di Political Economy di Ohio State University, Columbus, Ohio (1987), Makarim kembali ke Indonesia untuk setahun. Tapi sejak tahun 1988, ketika dia kembali ke AS menjadi Minister Counsellor di Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC, Makarim mulai bergaul dengan perundingan multilateral sejak tahun 1991, ketika diangkat menjadi Minister Counsellor di Perwakilan Tetap RI di PBB, New York. Sejak itulah lelaki kelahiran Mataram, 8 Mei 1947 ini terus mengukir prestasinya sebagai diplomat multilateral mulai dari Grup 77, UNCTAD UNDP, ESCAP ASEAN, APEC, sampai IOR-ARC. Dia pernah menjadi Deputi Wakil Tetap Permanent Mission of Indonesia di PBB New York (1994-1997) dan Ketua Grup 77 (1998). Dia juga menjadi orang Indonesia pertama yang menjabat President Economic and Social Council di PBB New York. Dia juga menjadi Ketua World Peace Assembly on Interreligious and Dialogue Among Civilizations di PBB (2000), serta Ketua Tim Antiterorisme untuk APEC (2003).
Terpilihnya Makarim bukan urusan mudah. Menurut Eddi Hariyadhi, Wakil Duta Besar RI di PTRI Geneva, setelah disetujui pemerintah di Jakarta, nama Makarim diusung lewat lobi di kelompok negara Asia di PBB. Makarim diajukan di tengah persaingan India, Pakistan, dan Jepang yang juga menginginkan posisi ketua Komisi HAM PBB untuk tahun 2005. Namun setelah melewati lobi intensif, justru ketiga negara itu ditambah China dan Korea Selatan yang memuluskan jalan Makarim memperebutkan posisi prestisius itu. Beberapa negara Asia serta kawasan dunia lain, akhirnya harus menerima kuatnya dukungan terhadap Makarim.
Empat bulan setelah ditugaskan memimpin Perwakilan Tetap RI di PBB Geneva September 2004, Makarim menduduki jabatan Ketua Sidang Komisi HAM PBB. Makarim kini tinggal di rumah dinas yang padat lalu lintas di Geneva bersama istrinya, Eny Sekarwati, yang dinikahinya sejak baru saja lulus kuliah tahun 1972. Tiga anaknya, yaitu Aria Teguh Mahendra (31), Adhy Surya Sidharta (30), dan Aryanti Wulan Savitri (29) tak satu pun yang ikut dengannya karena sudah tinggal di AS dan Indonesia. Di tengah tugas beratnya sekarang, Makarim harus menerima cobaan lain. Istrinya Eny sejak beberapa waktu lalu menderita penyakit kanker yang cukup berat. Tapi Eny terus mendampingi Makarim di Geneva. "Dari begitu banyak dukungan yang saya terima, yang paling memotivasi adalah dorongan istri saya. Dialah yang mendorong saya agar bisa membuktikan kemampuan dan kepemimpinan di Komisi HAM PBB ini. Tak ada yang lebih berarti dari dorongan istri saya," ujar Makarim yang di tengah ketatnya jadwal sidang menyediakan waktu untuk wawancara. Berikut petikannya.
SELAMA bertahun-tahun Indonesia sering menjadi sorotan, sasaran tembak sebagai pelanggar hak asasi manusia, kok berani tampil memimpin Sidang Komisi HAM PBB?
Isu hak asasi manusia adalah diplomatic matters, masalah diplomatik. Ada beberapa cara menghadapinya. Pertama, kita bersikap reaktif saja, yaitu defensif. Sehingga kita hanya bereaksi dan membela diri jika ada negara atau organisasi yang mempersoalkan pelaksanaan HAM di Indonesia. Tapi pendekatan defensif rasanya hanya cocok untuk masa lalu. Kini kita ccnderung memakai cara proaktif. Artinya, kita secara aktif menentukan agenda setting, kita yang mengarahkan pembahasan atau bahkan konsensus. Sekarang dan di masa-masa akan datang, kita harus tunjukkan kita sudah menjadi Indonesia baru.
Kita sudah memilih demokrasi sebagai cara kita hidup, cara berpolitik yang ingin kita tegakkan, termasuk hak asasi manusianya. Kita tunjukkan bahwa kita bangsa bermartabat. Sejarah menunjukkan bahwa kita mampu berkontribusi pada civilization, budaya luhur. Bahwa kita punya kisah hitam selama 32 tahun tidak demokratis, tidak berarti kita akan tetap begitu selamanya. Sejarah hitam itu sudah lewat. Sudah tutup buku. Dengan cara proaktif, kita bisa menunjukkan kita sudah berbeda. Kita tidak bisa menutup realitas bahwa masih ada kekurangan di sana-sini, tapi kita harus melihatnya secara menyeluruh. Kita harus berupaya agar masalah-masalah HAM tidak lagi dilihat secara selektif.
Selama ini kalau pelanggaran HAM terjadi di negara berkembang, sorotan begitu tajam diarahkan. Tapi jika terjadi di negara-negara maju, tidak dipersoalkan. Kita jangan cuma melihat HAM secara sepotong-sepotong. Jangan cuma persoalkan kebebasan berbicara (freedom of speech) atau kebebasan pers (freedom of the press) dan informasi (freedom of information), tapi juga right to food (hak untuk makan) atau right to shelter (hak atas perumahan yang layak) dan hak untuk membangun (right to develop). Jangan lagi kita memolitisasi isu HAM di forum-forum internasional.
Tapi bukankah pembahasan isu HAM memang sangat politis?
Justru karena itulah kita berinisiatif mengambil posisi pimpinan sidang. Kita ingin agar usaha promosi dan perlindungan HAM tidak selalu dipolitisasi. Sering kita terjebak pada perdebatan yang tidak menyentuh substansi pelanggaran HAM, tapi malah menuntut perubahan sistem politik sebuah negara, menjatuhkan atau mengganti pemerintahannya. Dengan memimpin Sidang Komisi HAM PBB, kita tunjukkan bahwa upaya yang harus dilakukan adalah memperbaiki keadaan agar perlindungan HAM bisa dilakukan maksimal, apa pun sistem pemerintahannya siapa pun penguasanya. Setelah perang dingin usai, masalah ideologi tidak lagi menggigit, tidak lagi banyak dipersoalkan. Yang kini berkembang adalah tema-tema yang perdebatannya bisa sekuat ideologi, seperti HAM, lingkungan hidup, atau prinsip-prinsip good governance.
Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan maupun High Level Panels Report yang dibentuknya, mengusulkan adanya reformasi di tubuh PBB. Apa masalahnya?
Begini. Tahun 2005 ini, PBB genap berusia 60 tahun. Di usianya yang sudah cukup lama ini, gereget PBB justru berkurang. Kepercayaan terhadap multilateralisme kini sedang di ambang bahaya. Gaungnya makin mengecil. Kini banyak langkah-langkah unilateral yang dilakukan tanpa mengindahkan lagi Piagam PBB. Negara bisa menyerang negara lain, tanpa otorisasi dari PBB, seperti yang dilakukan AS di Irak.
Berkurangnya kepercayaan terhadap multilateralisme ini juga terjadi dalam bidang HAM, seperti juga terasa di Komisi HAM PBB. Komisi ini kini juga punya masalah kredibilitas. Semakin banyak resolusi yang dilahirkan komisi tidak bisa secara efektif dilaksanakan di lapangan.
Apa Anda sendiri masih percaya pada efektivitas multilateralisme? Bukankah forum regional atau terbatas lebih efektif?
Saya sudah menekuni masalah-masalah di PBB sejak 1991. Selama itu pula saya melihat adanya dua kubu yang berkembang dalam manajemen di forum internasional. Ada yang percaya pada forum multilateral. Tapi tidak banyak juga yang meragukan efektivitas multilateral karena dianggap bertele-tele dan hanya bisa merumuskan hal-hal berjangka panjang. Mereka memilih untuk penyelesaian lebih mudah, cepat, dan responsif terhadap perkembangan masalah, lewat pengelompokan yang lebih kecil. Barangkali di satu sisi hal itu ada betulnya. Tapi yang harus disadari adalah inti dari multilateralisme adalah kerja sama internasional yang inklusif dengan hasil yang lebih kokoh, karena melibatkan semua pihak.
Semua pihak, semua negara, duduk bersama-sama, mencari konsensus dengan prinsip kesetaraan. Tidak ada eksklusivisme. Tidak ada satu negara yang lebih penting dari negara lain sehingga bisa diberi hak veto atau keistimewaan apa pun. Cara-cara eksklusif seperti yang terjadi di Dewan Keamanan PBB adalah cara yang menjauhkan masyarakat internasional dari prinsip demokrasi. Mengapa harus ada negara-negara yang punya hak veto. Anehnya negara-negara yang mengaku pendekar demokrasi-dan setiap saat mendesak negara berkembang agar menjunjung tinggi demokrasi-justru mengingkari prinsip demokrasi dalam forum internasional. Mana mau Dewan Keamanan PBB bicara dengan Indonesia secara setara? Itu tidak fair, itu tidak demokratis.
Prinsip demokrasi harusnya tidak hanya diterapkan di tingkat nasional, tapi juga kerja sama internasional. Saya yakin multilateralisme adalah cara paling baik dan benar, apalagi di Komisi HAM PBB ini. Kita harus democratize Komisi HAM PBB. Tidak boleh ada bangsa yang dibiarkan merasa lebih tinggi dari bangsa lain. Saya percaya pada multilateralisme dan itulah yang harus kita perjuangkan.
Apa ada hasil konkretnya?
Ada. Saya baru saja berhasil mengajak semua negara-negara anggota Komisi HAM PBB untuk mau menggelar informal meeting atau pertemuan informal pada 12 April minggu depan untuk membahas upaya reformasi Komisi HAM PBB, seperti yang diusulkan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan serta High Level Panels bentukan Sekjen PBB. Ini bukan forum special sitting, yang memang dimungkinkan oleh mekanisme sidang Komisi HAM PBB. Special sitting bisa digelar secara paralel dengan sidang untuk membahas isu tertentu. Tapi biasanya pesertanya terbatas pada negara-negara yang berkaitan dengan isu tertentu. Kali ini, informal meeting melibatkan semua anggota.
Sejak dibentuk 59 tahun lalu, baru dalam sidang kali inilah, kita punya forum baru yang namanya informal meeting, yang digelar bersamaan dengan berlangsungnya sidang Komisi HAM PBB. Awalnya tidak ada negara yang setuju dengan gagasan itu. Beberapa negara malah bereaksi keras menolak. Tapi lewat lobi dan pendekatan, saya mempertanyakan sikap mereka yang menolak. Mengapa kita harus menolak munculnya gagasan atau konsep baru tentang perlindungan HAM. Kalau Komisi HAM PBB tidak mau membahas, forum apa lagi yang akan membahas.
Akhirnya semua mendukung gagasan informal meeting itu. Maklumlah, karena sudah terbiasa dengan politisasi isu-isu HAM, hal-hal yang bersifat konsep malah sering diabaikan, hanya karena dampak politiknya kurang kuat. Informal meeting itu memang belum tentu menghasilkan konsensus yang konkret. Tapi apa pun hasilnya, acara ini akan memberi gaung baru pada bekerjanya mekanisme multilateral di Komisi HAM PBB.
Saya sendiri tidak yakin reformasi Komisi HAM PBB akan terlaksana dalam waktu dekat. Sebab, dengan reformasi itu, Kofi Anan mengusulkan agar Komisi HAM PBB diubah menjadi Human Rights Council, tidak lagi berada di bawah Ecosoc, tapi menjadi sejajar dengan Dewan Keamanan PBB dan Sidang Umum (General Assembly) PBB. Ini ideal sekali. Tapi harus diakui bukan hal mudah, karena negara-negara maju cenderung menolak, apalagi di dalamnya tidak ada eksklusivitas. Tidak ada negara yang punya hak veto seperti di DK PBB.
Bagaimana dengan gagasan agar Komisi HAM PBB membuat global report atas pelaksanaan HAM di seluruh dunia?
Gagasan itu bagus sekali dan sudah muncul sejak tiga-empat tahun terakhir. Masalahnya, Komisi HAM PBB tak punya kapasitas untuk melakukan global report atas seluruh 191 negara. Kita tidak cukup equipped untuk melakukan itu. Sekretariat Komisi HAM PBB hanya punya 200 staf dan anggarannya hanya dua persen dari total budget PBB. Tanpa adanya global report saja, Komisi HAM PBB menerima sekitar 17.000 laporan pelanggaran HAM setiap tahun. Gagasan agar semua negara menyerahkan 0,7 persen dari GNP-nya sampai sekarang tidak juga jalan.
Buat Indonesia sendiri, apa arti kepemimpinan Anda di Komisi HAM PBB?
Saya berharap bisa membuka mata hati semua elemen bangsa di Indonesia bahwa masalah HAM sudah menjadi arus utama global. Jangan lagi memandang HAM sebagai masalah yang harmful, yang merugikan kepentingan nasional. Penghargaan dan perlindungan HAM justru akan meningkatkan kualitas hidup bangsa. HAM adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan kita sebagai bangsa. Indonesia adalah bangsa bermartabat, yang tahu apa arti humanisme. Artinya, dalam kompetisi globalisasi, kita bukan bangsa nomor dua. Kita jangan lagi punya inferiority complex. Kita harus punya dignity. Pelanggaran HAM adalah masalah dunia yang terjadi di mana saja, termasuk di negara-negara maju yang dikenal sebagai pendekar demokrasi.
Bagaimana rasanya memimpin Komisi HAM PBB, berbanding lembaga lain di PBB?
Sejak hampir 15 tahun bermain di dunia diplomasi multilateral, Komisi HAM PBB adalah tempat paling berat. Ini menyangkut dignity, sehingga semua negara, apalagi NGO (nongovernmen organization) menjadi sangat sensitif soal HAM. Di sini dimensi sensitivitasnya tinggi. Di sini semua delegasi bicara dengan nada tinggi, cepat meledak. Di Ecosoc, misalnya, kita bisa bicara soal ketimpangan negara maju dan negara berkembang dari tahun ke tahun dengan nada bicara yang sama. Tapi di sini, pelanggaran HAM begitu bervariasi. Inggris yang dikenal pembela HAM, misalnya, tiba-tiba menjadi begitu defensif ketika delegasi dari Irlandia Utara mempersoalkan terbunuhnya hakim di sana. Semuanya emosi. Sebagai ketua saya harus belajar untuk mendengar dan secara sabar menampung semua ledakan emosi itu. Level kemarahan orang di sini, tiga sampai empat kali lebih peka dibanding semua lembaga PBB yang pernah saya masuki.
NGO menambah ramai sidang, apa tidak menyulitkan?
Dibanding semua lembaga PBB lain, tidak ada lembaga lain yang seperti Komisi HAM PBB, yang memberikan keterlibatan begitu besar pada NGO. Ini menjadi bagian penting dari perlindungan HAM, karena dari tangan merekalah pelanggaran berbagai aspek HAM diangkat untuk dicari jalan keluarnya. Ada yang memang berangkat dari humanisme, tapi tidak sedikit juga yang membawa agenda tertentu atau menjadi kelompok penekan untuk kepentingan negara tertentu. Tapi itu sah-sah saja dalam demokrasi kan. Ide melibatkan NGO itu merupakan terobosan penting yang bagus. Kalaupun ada yang mengganjal adalah jumlahnya terlalu banyak dan masalah yang mereka sampaikan sering kali sama atau tumpang tindih.
Anda lihat sendiri kan, untuk satu topik saja, jumlah NGO yang bicara bisa 110 delegasi. Padahal kita punya belasan topik di sidang. Mengapa begitu banyak, maka yang mesti menjawab adalah komite NGO di Ecosoc. Sebab, merekalah yang memberi dan mengevaluasi akreditasi sekitar 1.200 NGO setiap tahun. Syukur-syukur kalau di antara mereka sendiri ada kerja sama sehingga untuk masalah-masalah yang sama, mereka bisa bergabung. Saya sendiri banyak meluangkan waktu untuk berdialog dengan mereka, sebelum atau bahkan secara paralel dengan sidang-sidang. Memang dibanding lembaga PBB lain, Komisi HAM PBB terasa agar hiruk-pikuk, ramai oleh pernyataan, aksi, atau diskusi paralel yang digelar bersamaan dengan sidang. Pengambilan keputusan memang dilakukan hanya oleh negara. Tapi sebelum keputusan, biasanya di luar sidang lobi gencar dilakukan, bukan saja antarnegara, tapi juga melibatkan NGO. Tapi bukankah itu bagian dari indahnya demokrasi.
Sumber : Kompas, Minggu, 10 April 2005
Jun 29, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment