Raisa Aurora, Menulis dengan Penuh Perasaan
Oleh : Elok Dyah Messwati
USIANYA masih 13 tahun, tetapi kemampuan berpikir dan menulisnya melebihi teman-teman seusianya. Tak heran jika Raisa Aurora, siswa Kelas II SMP Negeri 12 Bekasi, Jawa Barat, mendapatkan penghargaan untuk penulis muda Indonesia bersama dengan Pratitou Arafat (siswa SMA Negeri 3 Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam).
PADA Lomba Penulisan Esai Remaja yang diselenggarakan oleh Unicef dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Raisa mengirim esai berjudul "Dari Temanku Asih, Aku Belajar Banyak".
Esainya bertutur tentang pengalamannya bergaul dengan Asih, teman sekelasnya saat kelas I SMP yang menderita down syndrom. Asih dipaksa bersekolah di sekolah umum, padahal kemampuannya mencerna pelajaran jauh di bawah rata-rata.
"Betapa ingin aku mengatakan padanya bahwa engkau punya hak untuk dimengerti, engkau punya hak untuk mendapat perawatan, pengasuhan, kasih sayang, dan pendidikan yang dibutuhkan seorang anak ’istimewa’ sepertimu," demikian cuplikan esainya.
Perasaan Raisa memang tertumpah dalam tulisannya. Bahkan ketika menerima penghargaan pekan lalu, ia sempat berhenti sejenak saat bertutur tentang Asih. Matanya berkaca-kaca. Beberapa juri menitikkan air mata ketika membaca karyanya.
Raisa mengaku, ia berusaha menulis dengan penuh perasaan, pengaruh dari tulisan Pramoedya Ananta Toer dan Lemony Snicket yang menulis A Series of Unfortunate Events.
Ketika hendak mengikuti lomba esai, sebenarnya Raisa ingin menulis mengenai hak anak-anak jalanan. Namun, saat ia memikirkan ide itu, ia bertemu dengan Asih. Asih bercerita tentang keluarganya, teman-temannya, dan apa yang ia rasakan. Muncullah keinginan Raisa untuk menulis kehidupan Asih.
Anak tunggal pasangan Abubakar Soeis (54) dan Jenny Rianita (40) ini kemudian membuat poin-poin tulisan per paragraf, lalu ia kembangkan saat mengetik di komputer-yang sudah ia kuasai sejak kelas III SD.
RAISA gemar menulis sejak kelas I SD. Saat itu ia minta dibelikan buku harian di mana ia bisa menuliskan semua perasaannya. Sejak kecil ia juga membuat puisi. Prestasi pertamanya diraih saat kelas III SD sebagai juara ketiga lomba mengarang "Andai Aku Punya Sayap" yang diselenggarakan sebuah restoran waralaba.
Kelas IV SD Raisa mengikuti lomba Konferensi Anak tentang Lingkungan Hidup yang diselenggarakan majalah Bobo dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 2001. Ia menjadi salah satu dari 25 anggota delegasi terpilih. Itu pengalaman yang sangat menyenangkan baginya. Seluruh delegasi dikarantina selama tiga hari di Hotel Santika Jakarta. Mereka belajar tentang lingkungan dengan suasana yang fun.
"Saya bertemu dengan Pak Emil Salim, Pak Sonny Keraf (Menteri Negara LH saat itu-Red), saya dapat kenang-kenangan pohon matoa. Kami diajar banyak hal tentang lingkungan hidup," kata Raisa, yang mengisi kesehariannya dengan kursus bahasa Inggris, berenang, dan gitar.
Berbagai prestasi ia raih. Ia, antara lain, menjadi pemenang harapan kedua Lomba "Menulis Surat untuk Presiden" tahun 2000, pemenang kedua Lomba Mengarang Esai tingkat SMP yang diselenggarakan oleh IKAP DKI Jaya tahun 2003.
Tahun 2004, tulisannya terpilih pada lomba yang sama yang diselenggarakan YKAI-Unicef. Ia pun menjadi pemenang pertama Lomba Membalas Surat Pramoedya Ananta Toer dalam buku "Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer". Total 20 penghargaan ia dapatkan.
Menurut ibunya, Raisa bisa menulis puisi dengan unik. "Yang aneh, saat dia menulis puisi, puisinya tidak seperti puisi anak-anak. Kata-katanya tidak seperti anak-anak. Saya tidak mengerti dari mana ia mendapatkan kata-kata untuk puisinya," kata Jenny.
Raisa mengaku mendapatkan kata-kata untuk puisinya dari buku-buku yang ia baca. Saat kecil, selain berlangganan majalah Bobo, ia juga membaca buku dongeng yang halamannya tebal-tebal. Raisa memang suka sekali menulis karena melalui tulisan ia bisa mengungkapkan jalan pikirannya.
"Menulis itu sangat menyenangkan dan saya jadi lebih dewasa. Teman-teman sekelas saya bilang saya sok tua," tutur Raisa.
Kalau bicara dengan teman sebayanya, Raisa dianggap berbeda. Cara bicaranya seperti orang dewasa. "Padahal saya bicara biasa saja, tapi dianggap berbeda. Mungkin karena saya banyak membaca," kata Raisa, yang koleksi bukunya sampai empat lemari.
MENULIS tentu berkaitan dengan mengarang. Namun anehnya, Raisa tak terlalu menyukai cara pengajaran mengarang (pelajaran Bahasa Indonesia) di sekolah. Jika diminta mengarang, biasanya tema sudah ditentukan oleh guru, termasuk paragraf-paragrafnya.
"Kalau seperti itu caranya, isi paragraf sudah ditentukan, saya merasa terkekang. Mau nulis apa saya? Dari awalnya sudah tidak enak menulis kalau semua sudah ditentukan, tidak sesuai dengan jalan pikiran saya," kata Raisa.
Menurut Raisa, seharusnya pelajaran mengarang itu memberikan keleluasaan kepada murid. Murid cukup diberi tema yang menarik. Dengan demikian, minat untuk mengarang bisa bertumbuh.
Ia mengkritik pelajaran mengarang yang hanya menekankan pada teori dan jarang mengajarkan materi mengarang. "Padahal kalau menulis sendiri, kita bisa berkembang sendiri tanpa harus menggunakan teori," ucap Raisa.
Raisa juga mengungkapkan keprihatinannya atas isi majalah dinding (mading) di sekolahnya yang jarang diisi artikel yang bermanfaat untuk remaja, tetapi justru diisi dengan artikel seputar percintaan remaja. "Saya pikir itu karena pengaruh sinetron, sesuatu yang tidak nyata dan kita membuatnya menjadi kenyataan. Saya buat puisi dan artikel di mading, tidak ada yang baca. Saya tersiksa sekali menghadapi hal seperti itu," keluhnya.
Pengetahuannya yang demikian luas membuatnya kadang tak "nyambung" jika berbicara dengan temannya. "Saya bilang, ’Kemarin aku menang lomba membalas surat kepada Pramoedya lho.’ Teman saya balik tanya, ’Pramoedya itu siapa?’" tutur Raisa.
Raisa bercita-cita menjadi dokter hewan sekaligus penulis seperti James Herriot. Ia memiliki 15 kucing di rumahnya. "Saya sayang pada binatang, jadi saya tergerak jadi dokter hewan. Tapi saya juga ingin jadi wartawan BBC, bisa merambah ke mana-mana, subyeknya mendunia," kata Raisa Aurora yang bertekad terus menulis.
Sumber : Kompas, Sabtu, 9 April 2005
Jun 29, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment