Entang Wiharso, Energi Seni Kulit Telur
Oleh : Efix Mulyadi
Para bakul telur puyuh mendapat rekanan baru yang unik: seorang perupa. Sang perupa tidak membeli isi untuk dimakan, melainkan hanya kulit semata untuk bahan pembuatan karya-karya seni.
"Semula saya beli telur puyuh untuk mendapat kulitnya. Lama-lama terpikir, wah, jadi mahal banget nih. Akhirnya saya temui bakul untuk membeli khusus kulitnya saja," tutur Entang Wiharso selagi asyik mengawasi pemasangan sejumlah patung atau obyek dari seni instalasinya untuk pameran tunggal di Bentara Budaya Jakarta tanggal 8-17 April 2005. Pameran tunggalnya yang ke-14 ini bertajuk "Inter-Eruption".
Bagian permukaan patung dari bahan resin ia lapisi kulit telur dengan lem kayu. Jadilah permukaan patung, yang umum menggambarkan manusia atau makhluk mirip manusia, menjadi kasar. Warnanya didominasi oleh bercak coklat tua atau putih padam, yaitu warna asli kulit telur itu.
"Saya minta para bakul itu mengupas telur dengan hati-hati sehingga bisa diperoleh kulit-kulit dengan bentangan luas. Mereka mau. Rupanya mereka senang karena menjual kulit itu artinya sekaligus membuang sampah basah yang bau bukan main. Giliran saya yang terkena bau, he-he-he...," katanya tentang kulit telur yang mesti dijemur sampai setengah kering agar masih tetap lentur, sementara bau ikut pergi.
Justru berkat sifat gampang retak atau pecah itulah kulit telur menjadi berharga bagi dunia seni.
"Tiga teman yang mengerjakannya menjadi lebih berhati-hati agar tetap utuh ketika ditempel. Fragility itu yang saya cari. Saya menempelnya ke patung manusia seperti memberi sifat rapuh manusia kepada karya-karya tersebut," tutur Entang yang menampilkan karya kulit telur puyuh pertama kali untuk pamerannya di CP Artspace Jakarta pada tahun 2004.
Butuh berbulan-bulan lamanya untuk menemukan metafor yang tepat seperti itu. Pada awalnya ia tertarik pada cara tradisional ketika mencari telur ayam yang baik, yaitu dengan cara menerawangnya. Hal itu muncul untuk karyanya In the Name of President seiring dengan kesibukan orang Indonesia memilih pemimpin yang baru.
Ia lukis tubuh-tubuh yang koyak di kanvas ekstra besar untuk mengungkap kecemasan, ketegangan, atau teror yang membuat masyarakat sakit jiwa. Ia memasang ratusan biji mata seukuran kepalan tangan, gergaji, atau boneka untuk seni instalasinya di dalam kisah senada.
Memang berbagai pengalaman personal, yang tak jarang ternyata juga menyuarakan pengalaman bersama, menjadi semangat keseniannya. Tinggal di berbagai wilayah budaya, yaitu Tegal, Yogyakarta, dan sempat di Jakarta, menyuburkan pengalaman tersebut. Pengalaman Indonesia yang bangkrut, munculnya ancaman diskriminasi atas nama nilai tertentu, ikut memicu pencarian metafor yang tepat guna seperti kulit telur puyuh.
Belakangan, sesudah menikah dengan warga Amerika Serikat keturunan Italia, ia memasuki kancah perbenturan budaya juga dengan intensitas yang berbeda. Bersama keluarga ia bermukim di Kalasan, Yogyakarta, dan di Providence, Rhode Island, Amerika Serikat. Ketegangan budaya itu diimbuh dengan peristiwa 11 September, yang membuat banyak warga Amerika paranoid.
"Waktu itu keluar rumah sendirian terasa ngeri. Suhu patriotisme naik. Kalau paspor kita Indonesia, diperiksanya lebih lama dan rumit," tutur Entang tentang pengalaman tidak enak pada bulan-bulan selepas kejadian mencekam tersebut. "Saya naik pesawat Northwest, pesawat pertama yang masuk ke AS selepas 11 September. Saya diinterogasi selama tiga jam di Amsterdam."
Pengalaman seperti itu memicu kelahiran sejumlah karya, antara lain Portrait in the Gold Rain-disertakan di dalam pameran di Bentara Budaya Jakarta kali ini. Lukisan tersebut membuat batal pameran tunggalnya di Rhode Island, AS, bulan Januari 2003. Ia menolak permintaan pihak galeri agar lukisan itu tidak disertakan karena menganggapnya illegal, jorok, dan menjurus seksual. Isi lukisan menonjolkan satu sosok lelaki telanjang tengah berjongkok.
"Saya tidak suka hal jorok, dan persoalan di lukisan itu juga bukan seksual. Saya ingin menggambarkan manusia yang ditindas oleh sistem, didiskriminasi, dilabelisasi, disisihkan, sampai terkentut-kentut," kata Entang.
Pencekalan itu memicu solidaritas para seniman setempat maupun para kurator, yang memindahkan pameran Entang ke tempat lain. Peristiwa yang terjadi di negara kampiun demokrasi itu menyulut dukungan di berbagai media massa terhadap seniman warga Indonesia tersebut. Sempat dibuat pula diskusi untuk membela haknya sebagai seniman.
Tinggal di AS juga membuatnya akrab dengan ikon dunia kartun seperti Bart Simpson, yang kemudian ia comot untuk karyanya. "Kartun Bart Simpson itu mengungkap masalah kita, manusia biasa di dalam kehidupan sehari-hari, bukan manusia super," tuturnya.
Belakangan sejumlah lukisan maupun karya instalasinya menampilkan sosok berkuping lebar mirip Teddy Bear. Boneka kesayangan anak itu ia sulap menjadi simbol Amerika, yang banyak dipuja tetapi lebih banyak lagi yang membenci.
"Saya tertarik ketika Dominic lahir, banyak kado berupa Teddy Bear. Saya tanya ke istri, apa maknanya? Ternyata itu berangkat dari kisah seorang Teddy Roosevelt, pemimpin Amerika saat itu, menyelamatkan bayi beruang," tutur Entang. Dominic Ensar Wiharso dan Marco Emil Wiharso adalah buah pernikahannya dengan Christine Cocca tahun 1997. Christine seorang ahli sejarah seni dan kini mengurus aktivitas seni suaminya.
Lelaki kelahiran Tegal, 19 Agustus 1967, ini menjalani masa mahasiswanya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dengan kerja keras. Ia sempat cuti kuliah untuk membantu keluarga mengelola bisnis makanan kaki lima di Jakarta, yang dikenal sebagai "warung tegal".
Kini secara ekonomi kehidupannya sangat baik, tetapi sebagai seniman ia tak hendak mapan di dalam arti berhenti "mencari". Pamerannya di Bentara Budaya Jakarta yang dibuka Jumat (8/4) malam lalu membuktikan hal itu. Ia terpilih bersama tiga seniman lain untuk tampil di dalam Biennale Venesia pada bulan Juni tahun ini. (EFIX MULYADI)
Sumber : Kompas, Senin, 11 April 2005
Jun 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment