Jun 19, 2009

Mahyiddin : Dodent, Penyelamat Terumbu Karang Selat Rubiah

Dodent, Penyelamat Terumbu Karang Selat Rubiah
Oleh : Khaerudin

Rambutnya mulai dipenuhi uban, sementara kulitnya yang legam seperti menggariskan kehidupannya yang tak pernah jauh dari laut. Senyum Dodent masih mengembang meski kini dihadapkan pada rusaknya terumbu karang di Taman Laut Pulau Rubiah, ladang kehidupannya selama puluhan tahun.

Mahyiddin adalah nama aslinya. Panggilan Dodent dia dapat dari suami-istri pensiunan Angkatan Laut Inggris yang tinggal di Pulau Rubia di gugusan Pulau Weh, Aceh. Dodent bekerja pada mereka selama tahun 1970-1975.

Mereka bekerja sebagai periset tambang di sekitar Aceh. Pabrik semen Andalas di Lhok Nga merupakan salah satu temuan mereka, ujar Dodent (54), kelahiran Sigli. Pulau Rubiah sendiri kini tak lagi berpenghuni setelah tsunami menerjang ujung barat Pulau Sumatera.

Tahun 1985 Dodent bergabung menjadi awak kapal milik orang Amerika Serikat. Saya ikut berlayar sampai ke Phuket (Thailand), Maldives, Sri Lanka, hingga ke Diego Garcia yang jadi pangkalan militer Amerika, tuturnya

Masa enam bulan berlayar itulah yang mengubah jalan hidupnya. Di tempat-tempat kapal layar singgah, saya ikut menyelam. Keindahan terumbu karang menarik banyak turis asing di tempat-tempat seperti Phuket dan Maldives, katanya.

Perintis

Pengalamannya tinggal di Pulau Rubiah membuat Dodent tahu dia bisa menjual terumbu karang di sekitar Selat Rubiah dan pantai-pantai sepanjang Pulau Weh. Berbekal kamera bawah laut yang dibeli dari hasil kerja enam bulan itu, dia memotret keindahan Selat Rubiah dan mempromosikannya kepada pekerja kilang LNG Arun asal Amerika Serikat dan Inggris yang sejak tahun 1970-an lebih memilih menyelam di Phuket.

Para pekerja Arun itu bawa perlengkapan sendiri, termasuk kompresornya. Di Sabang ketika itu sama sekali belum ada perlengkapan selam, ujarnya. Ketika para pekerja itu kembali ke negerinya, Dodent sempat berganti-ganti tempat kerja.

Setelah berkelana ke berbagai tempat, Dodent memutuskan menjadi penyedia jasa penyelaman di perairan Pulau Weh. Bisa dikatakan, dia orang pertama yang merintis pariwisata di sana.

Masa-masa emas dalam perjalanan usahanya terjadi tahun 1996-1999. Pulau Weh ramai dikunjungi wisatawan yang ingin menyelam atau hanya sekadar snorkeling. Selat Rubiah dan perairan di sekitarnya pun mulai terkenal sebagai taman laut.

Lalu datanglah masa-masa suram saat Aceh dilanda konflik. Kondisinya makin parah saat darurat militer ditetapkan untuk wilayah Aceh pada tahun 2003. Orang asing tak diperbolehkan masuk ke Pulau Weh. Pariwisata di pulau ini benar-benar mati.

Belum selesai terpuruk akibat konflik berkepanjangan, tsunami menerjang. Pulau Weh pun terkena imbasnya. Terumbu karang yang jadi panorama bawah laut di Selat Rubiah hancur. Kerusakan ditaksir mencapai lebih dari 60 persen.

Dari awal lagi

Akan tetapi Dodent tahu, laut selalu bisa memberi kehidupan. Dia tak mau menyerah begitu saja. Dia merintis lagi semuanya dari awal.

Dia bersihkan sampah dan patahan terumbu karang yang berserakan di pantai. Dengan bantuan tentara Perancis, lembaga swadaya masyarakat, penduduk desa, dan para penyelam yang biasa datang ke Pulau Weh, Dodent mengoordinasi pemulihan Taman Laut Pulau Rubiah.

Enam bulan terakhir Dodent juga mengupayakan konservasi dan transplantasi terumbu karang. Tak ada bantuan, bahkan dari lembaga yang bertanggung jawab terhadap proses rehabilitasi di Aceh seperti Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR).

Karena kesulitan biaya, dia terpaksa memasang spanduk bertuliskan We Need Donation sejak enam bulan lalu. Spanduknya mulai kusut, namun sumbangan yang datang baru enam sak semen dari seorang turis asing. Semen tersebut digunakannya untuk membuat beton substrat karang.

Di luar itu, dia juga menyisihkan bahan bangunan seperti semen untuk membuat beton substrat karang bersamaan dengan pembangunan kembali toko menyelamnya. Beton ini akan jadi pemancing karang tumbuh dan berkembang.

Beton itulah yang jadi tempat tumbuh induk karang, ujar Dodent. Butuh waktu sepuluh tahun agar tumbuh terumbu karang yang bagus di beton itu.

Melihat luas kerusakannya, apa yang dilakukan Dodent memang tak seberapa. Dia baru bisa membuat beton substrat seluas 12 meter persegi, sangat jauh dibandingkan dengan kerusakan yang terjadi. Bayangkan saja, jika luas Taman Laut Pulau Rubiah mencapai 2.600 hektar dan kerusakan terumbu karang lebih dari 60 persen, apalah arti 12 meter persegi yang coba diperbaiki Dodent.

Saya tak mau menyerah. Terumbu karang inilah tempat kami menggantungkan hidup. Bukan kami yang bergerak di bidang jasa pariwisata saja, tetapi juga nelayan karena terumbu karang adalah tempat ikan berkembang biak, kata ayah dari Ismayudi, Iskandar, dan Isfanudin.

Perkiraan saya ada 10.000 orang yang tiap tahun datang ke perairan taman laut ini. Termasuk nelayan. Jika satu orang mematahkan empat sentimeter terumbu karang, bisa dihitung berapa kerusakan dalam setahunnya. Padahal, pertumbuhan alami terumbu karang dalam setahun cuma 2-4 sentimeter. Jadi, harus ada yang mau menyelamatkannya, ujar suami dari Sayuti Ana ini.

Sumber : Kompas, Kamis, 16 Februari 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks