Jun 19, 2009

Sule, Pensiunan Pemelihara Jalan Kereta

Sule, Pensiunan Pemelihara Jalan Kereta
Oleh : Yenti Aprianti

Sabaraha deui hutang urang (berapa lagi utangku)? tanya Sule (58) dalam bahasa Sunda kepada tukang kredit yang menemuinya siang itu di pos penjagaan perlintasan kereta api yang ia buat sendiri di Kampung Ciherang, Desa Jelegong, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung.

Tilu ribu rupiah (tiga ribu rupiah), jawab tukang kredit. Alhamdulillah, seru Sule yang segera mengurungkan diri membayar cicilan Rp 1.000 setiap harinya selama berbulan-bulan. Kakek 14 cucu ini sibuk merogoh saku celananya untuk mengumpulkan uang recehan dan menghitung hingga genap Rp 3.000. Ia berhasil melunasi cicilan termos air panas seharga Rp 150.000 yang ia berikan untuk istrinya. Di tangannya yang keriput hanya tersisa beberapa keping uang koin Rp 100.

Sule kembali duduk di kursi kayu buatannya yang ditaruh di depan pos penjagaan dari kayu beratap seng dan berpintu karung. Pos itu pun ia buat sendiri dengan modal Rp 400.000 untuk berteduh dari terik matahari atau hujan petir saat menjaga pintu perlintasan kereta api.

Beberapa menit sebelum kereta ekonomi jurusan Rancaekek–Cicalengka melintas, Sule sudah siap-siap. Kendaraan yang lalu lalang masih dipersilakan melewati palang pintu. Beberapa pengendara memberi uang receh kepadanya.

Pemelihara jalan

Sule adalah pensiunan petugas pemelihara jalan kereta api. Kini ia bekerja dengan inisiatif sendiri untuk menjaga pintu perlintasan kereta di samping rumahnya.

Sule menjaga pintu lintasan No 184 Km 174+56 sejak tahun 2003. Di lintasan ini ramai kendaraan. Banyak pengendara hampir tertabrak kereta. Beberapa pengendara sepeda motor ada juga yang meninggal.

Sebagai pensiunan pegawai PT Kereta Api, saya malu kalau ada rakyat yang tertabrak kereta. Saya merasa ikut bertanggung jawab, tutur Sule. Karena itu pula, setelah lima tahun pensiun, ia menjalani rutinitas menjaga pintu kereta di samping rumahnya.

Jika ada keperluan lain, meski hanya beberapa jam, ia akan menitipkan tugas kepada kakaknya yang juga pensiunan pemelihara jalan kereta hingga ia pulang ke rumah.

Beberapa pengendara yang tergugah memberi Sule uang receh. Dalam sehari, biasanya Sule mendapatkan uang Rp 12.000, pemberian para pengendara yang melintas.

Sule tidak pernah melupakan jasa maupun janji para pengendara yang lewat. Ia hafal betul, selama hampir tiga tahun menjaga pintu kereta, Sule menyebutkan pernah diberi uang Rp 5.000 sebanyak lima kali, Rp 10.000 dua kali, Rp 20.000 dan Rp 200.000 sekali.

Yang ngasih Rp 200.000 nomor kendaraannya D 1554, kijang warna hijau, bulan Januari 2005, pukul 16.00, kenang Sule yang hari itu hanya mendapat Rp 3.000 setelah bekerja sejak subuh hingga sore.

Saya kira pengendara mobil itu salah ambil uang. Jadi, saya tunggu sampai beberapa hari, siapa tahu dia mau ambil lagi uang itu. Ternyata sampai berbulan-bulan kendaraan itu tidak muncul lagi, kata Sule tak percaya dengan kejadian tersebut.

Melihat sinyal

Meskipun jarak rumah dengan pos penjagaan hanya 10 meter, Sule berangkat dengan pakaian rapi. Kemeja, celana panjang, dan sepatu serta kaus kaki. Tidak lupa jam tangan berwarna emas untuk mengecek jadwal kereta.

Matanya yang sudah tidak mampu membaca tulisan koran ternyata masih mampu melihat sinyal kereta yang sudah siap di Stasiun Rancaekek maupun Stasiun Haurpugur. Dua stasiun ini berjarak lebih dari satu kilometer dan mengapit pos penjagaannya.

Jika kereta mulai bergerak dari stasiun, yang tampak hanya selembar warna putih berukuran sekitar 2 cm x 3 cm. Semakin mendekati pos penjagaan, citra putih itu memperlihatkan bentuk yang sempurna sebagai kereta api. Ada 57 kereta yang melintas dengan jurusan dari dan ke Cicalengka, Kabupaten Bandung; Cibatu, Kabupaten Garut; Surabaya, Kediri, Kutoarjo, dan Solo. Kereta mulai melintas pukul 4.30 hingga 23.00. Sule hanya mampu menjagai lintasan dari pukul 04.30 hingga 20.00. Pada saat arus mudik dan balik Lebaran, ia menjaga pintu lintasan sampai pukul 22.00 sebab penumpang kereta lebih padat dan ia khawatir terjadi sesuatu, baik pada kereta api maupun pada pengendara yang melintas di jalan di desanya. Jalan di desanya merupakan jalan alternatif menuju Cicalengka dan Jalan Raya Bandung-Garut.

Sule bekerja di PT KA sejak tahun 1963 di bagian perawatan jalan kereta. Jabatan terakhirnya sebagai mandor dengan golongan IIA. Ia pensiun saat usia 50 tahun karena sudah lelah bekerja. Uang pensiunnya sebesar Rp 560.000.

Ia mengenang semasa ia masih belum pensiun. Jika tanggal gajian tiba, Sule amat bersuka ria. Pada tahun 1970-an hingga 1980-an, dengan gaji sekitar Rp 6.000, Sule bisa membeli makanan favorit keluarga berupa roti berbentuk buaya, kuda, atau ikan seharga 25 sen sepotong untuk disantap bersama istri dan anaknya.

Dulu saya beli roti itu di Pasar Kiaracondong, Bandung. Saya rasa sekarang roti itu sudah tidak dibuat lagi, ujar Sule yang kini harus cukup puas meski hanya mampu mencicilkan istrinya termos air panas hingga berbulan-bulan.

Sumber : Kompas, Rabu, 15 Februari 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks