Jun 19, 2009

Made Sidia : Memadukan Wayang dengan Teknologi

Memadukan Wayang dengan Teknologi
Oleh : Agnes Suharsiningsih

Wayang dan teknologi, perpaduan dua hal yang berbau klasik dan modern. Itulah yang saat ini sedang dikembangkan Made Sidia (38). Keinginan pedalang muda asal Gianyar, Bali, ini adalah wayang klasik yang sarat pesan moral itu dapat lebih mudah diterima masyarakat kini.

Mahabarata dan Ramayana merupakan cerita suci Hindu yang sarat filosofi. Cerita ini bisa dikembangkan namun tidak menyimpang dari pakemnya. Dengan demikian, nilai-nilai yang akan disampaikan dapat lebih mudah diterima siapa pun,” tutur Made Sidia tentang langkahnya memadukan wayang dengan teknologi.

Peralatan yang biasa digunakan Made Sidia dalam pergelaran wayang dapat berupa lampu proyektor dengan slide untuk memperkaya gambar, wayang dari mika, dan bahkan ada yang dia sebut ”wayang skateboard”. Pada yang terakhir ini dalang duduk di atas skateboard dan bergerak menampilkan wayangnya dibantu alat ini pula.

Tak jarang Made Sidia menggunakan gunungan berukuran jumbo, atau miniatur pepohonan untuk membuat cerita wayangnya lebih hidup.

Tak hanya dalam peralatan, Made Sidia yang juga mengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu bekerja sama dengan pedalang dari luar negeri.

Semakin banyaknya orang asing yang belajar seni wayang membuat Made Sidia berpikir dalam. Dia tidak ingin mengeksklusifkan wayang hanya untuk Tanah Air, tetapi dia juga tidak rela apabila anak muda Indonesia justru kalah dari mereka yang notabene berasal dari ”negeri jauh”.

”Saya berharap, dengan kreasi-kreasi baru, anak muda Indonesia akan tertarik belajar dan mengembangkan wayang. Jangan sampai suatu saat kelak justru anak muda Indonesia yang belajar wayang ke luar negeri,” ujar suami Ni Wayan Swastini ini dengan wajah serius.

Made Sidia memperkenalkan pendekatannya terhadap wayang itu bukan hanya di dalam negeri, tetapi sampai ke Swedia, Jepang, Amerika, dan Australia. Pementasannya bersama dalang-dalang dari Australia yang saat itu digelar dalam Melbourne Festival membuatnya mendapat penghargaan The Best Critic dari sebuah akademi musik di New York. Karyanya berjudul The Theft of Sita yang sarat dengan kritik kepada pemerintah mendapat sambutan luar biasa dari penonton.

Sanggar seni

Perjuangan ayah dari Putu Ari Sidiastini (8) dan Kadek Sugi (2,5) ini dalam melestarikan seni pewayangan memang tidak tanggung-tanggung. Di rumahnya, di Banjar Bona Kelod, Gianyar, setiap sore berkumpul anak-anak yang belajar menari, musik, dan wayang. Saat ini terhitung ada sekitar 100 anak belajar padanya. Mereka belajar tanpa dipungut biaya.

Sanggar seni yang dibinanya itu merupakan bentuk lain dedikasi Made Sidia pada dunia seni yang sudah digeluti sejak kecil. Anak pasangan dalang kawakan Made Sija dengan almarhum penari Nyoman Saprug itu memang telah tertarik kepada dunia pewayangan sejak umur empat tahun. ”Saat itu saya diajak Ayah mengikuti festival wayang,” ujar Made Sidia mengenang.

Made Sidia kemudian memilih jalur akademis untuk mengasah darah seninya dengan belajar di Akademi Seni Tari Indonesia yang kini menjadi Institut Seni Indonesia (ISI). Dia juga melaksanakan upacara mawinten, upacara pembersihan diri untuk memasuki profesi baru yang berhubungan dengan masalah spiritual, pada 1987.

Kini nama Made Sidia memang sedang menanjak. Masyarakat Bali mengenalnya sebagai dalang berbakat dan kreatif. Dalam setiap pementasannya, dia bukan hanya memperlihatkan penguasaan seni pedalangan, tetapi juga memiliki cara khas menyampaikan pesan moral sehingga dapat diterima dan dimengerti siapa pun.

Agar pesan moral cerita wayang itu bisa diterima siapa pun, saat mendalang Made Sidia tidak jarang juga menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Komersialisasi versus seni

Sebagai putra asli Pulau Dewata yang sudah terkenal dengan dunia pariwisatanya, Made Sidia sadar seni di pulau ini bagian dari industri pariwisata. Komersialisasi seni pun marak. Made Sidia juga tidak lepas dari arus ini. Namun, menurut dia, seni tidak dapat dipatok dengan uang sehingga komersialisasi seni tidak melulu hanya berhubungan dengan uang.

Komersialisasi itu justru dia jadikan ajang memperkenalkan seluas mungkin nilai-nilai yang sarat terkandung dalam seni tradisional, seperti wayang, tari, bahkan lukisan. Semakin luas kalangan yang mengenal tradisi yang dijaga turun-temurun itu, semakin banyak pula orang yang mendapatkan pembelajaran langsung maupun tidak langsung.

Di luar itu Made Sidia tetap menganggap dirinya tetap orang Bali. Sebab itu, dia juga kerap mendalang di pura yang memberinya kesempatan merasakan syukur atas talenta yang dimilikinya.

Dan untuk konsisten dengan cita-citanya agar wayang diterima luas dan tidak punah, di tengah kesibukannya berpentas dia tetap mengajar di ISI serta membagi pengetahuannya kepada anak-anak di sanggar miliknya. Dari merekalah Made Sidia berharap seni tradisional bumi pertiwi tidak akan pernah hilang ditelan waktu.

Sumber : Kompas, Rabu, 11 Januari 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks