Jun 19, 2009

Made Djirna : Seni Rupa Murung Made Djirna

Seni Rupa Murung Made Djirna
Oleh : Putu Fajar Arcana

Kegemaran pelukis Made Djirna (48) mencorat-coret di sembarang tempat tak pernah berhenti. Dinding rumahnya di Kedewatan, Ubud, Bali, penuh dengan coretan, yang entah apa pun bentuknya ia tak pernah peduli. Cara ini bukan hanya untuk memberi wahana kepada daya kreatifnya yang penuh gelegak, tetapi juga memberi tempat pada keisengan.

Semasa SD keisengan itu pernah membuat Djirna harus berurusan dengan kakeknya. ”Saya corat-coret saja sanggah (tempat suci keluarga), karena waktu itu saya belajar lukisan-lukisan young artist...,” tutur Djirna di sela-sela begitu banyak benda seni di rumahnya. Akibat ulah Djirna, sampai berbulan-bulan kemarahan sang kakek tak pernah reda.

”Bagian dari sanggah yang saya gambari itu masih saya simpan sampai sekarang,” tutur lelaki yang tak pernah tahu tanggal lahirnya itu. (Menurut kabar dari orangtuanya, I Wayan Keplag (80) dan Ni Wayan Buri (70), Djirna lahir tepat tiga hari sebelum perayaan Galungan tahun 1957. ”Ketika saya lacak di kalender lama susunan Bangbang Gde Rawi, tiga hari sebelum Galungan tahun 1957 itu adalah tanggal 16 Juni. Tapi pawukonnya saya masih ingat: Redite, Paing, Dungulan,” kata Djirna serius).

Djirna lahir dari keluarga petani yang buta huruf. Ketika masa kanaknya ia sering diantar orangtuanya untuk menonton lampu ”neon” yang waktu itu baru terdapat di sebuah perusahaan tekstil di kota Denpasar. ”Dari Kedewatan kami jalan kaki, kira-kira setengah hari, hanya untuk nonton neon..., he-heh...,” ujar Djirna terkekeh.

Neon barangkali memiliki makna khusus bagi masyarakat Kedewatan yang hidup dalam kegelapan. ”Bayangkan ketika saya sekolah di SMSR (sekolah menengah seni rupa) di Denpasar, banyak yang mencibir. Karena waktu itu di Kedewatan anak-anak kecil saja sudah bisa melukis young artist dan pembelinya datang dari Penestanan, Ubud,” kata lulusan ISI Yogyakarta tahun 1985 ini.

Djirna termasuk salah seorang dari sedikit orang Bali yang mula-mula belajar seni rupa secara akademis. Oleh karena itu ia termasuk deretan mereka yang mengadakan perubahan dalam pola orientasi seni rupa Bali.

Tahun 1930-an, ketika Walter Spies dan Rudolf Bonnet datang ke Bali dan membentuk perkumpulan seniman Pita Maha, seni rupa Bali seperti keluar dari cengkeraman mitos-mitos religi dan wayang. Kanvas juga menampung aktivitas sehari-hari manusia.

Fase kedua dimulai tahun 1950-an, ketika para seniman Bali mulai belajar seni rupa secara akademis di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan ISI Yogyakarta. Dengan nekat, tahun 1978 Djirna melamar ke ISI Yogyakarta bersama 10 orang Bali lainnya. ”Yang diterima hanya dua orang, saya dan Nurata,” tutur suami dari Esti Susilowati ini. Ia termasuk generasi ketiga orang Bali yang belajar di ISI Yogyakarta setelah Nyoman Gunarsa dan Made Wianta.

Gelap

Masa ”kegelapan” karena ketiadaan penerangan seperti neon kelak sangat berpengaruh dalam karya-karya Djirna. Kendati sempat melakoni warna-warna ceria saat melukis dengan gaya young artist yang ditularkan pelukis berdarah Belanda, Arie Smit, sampai periode 2000-an, Djirna tetap melukis dengan energi Kedewatan masa kanaknya. Kedewatan yang gelap dan murung, yang sampai tahun 1970-an masih disinggahi oleh satu truk pengangkut bambu.

Kehadiran Djirna dalam konstelasi seni rupa Bali kontemporer barangkali menjadi anomali. Ia mampu keluar dari kungkungan mitos wayang, mendobrak bayangan materi yang dijanjikan eksotika young artist, kemudian memasuki sebuah wilayah seni rupa kontemporer yang ”asing” dalam ranah seni Bali.

”Saya sendiri tak optimis hidup dari lukisan ketika selesai kuliah di ISI, karena itu kemudian kerja membuat desain batik,” tutur ayah dari I Wayan Krisna Asmara Guna (22) dan Ni Made Galuh Meru Niti Suangi (16) ini.

Justru kegiatan membatiknya membuat Djirna tak terikat kepada satu bentuk perupaan. Selain gemar mencorat-coret asal saja, belakangan Djirna juga keranjingan meremas tanah liat. ”Saya tak tahu mau jadi apa ini. Pokoknya sambil diam, di mana saja, saya terbiasa meremas tanah dan membawa batu pulang ke rumah,” kata dia.

Di beberapa sudut rumahnya yang berlokasi pada ruas jalan Denpasar-Kedewatan berserak gerabah-gerabah dalam berbagai rupa hasil karya Djirna. Pada sudut lainnya terdapat onggokan batu-batu yang disusun menyerupai rupa-rupa aneh.

”Semua ini hanya iseng belaka. Tak perlu harus ada motivasi tertentu. Mungkin lama-lama jadi penanda bahwa saya pernah berada di suatu tempat dan batunya ada di rumah ini,” tutur Djirna.

Aktivitas ini yang mungkin memberi warna ”aneh” pada seni rupa Djirna. Lukisan-lukisannya penuh dengan wajah-wajah asing yang orisinal, tetapi juga menyiratkan sebuah pergulatan sosial yang tak berhenti pada bentuk. Djirna terus berlari meneropong spiritualitas dari sebuah lanskap kehidupan....

Sumber : Kompas, Sabtu, 7 Januari 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks