Jun 27, 2009

Lodewijk Rainier Korua : Lody Karua dan Jeram Kehidupan

Lody Korua dan Jeram Kehidupan
Oleh : Rien Kuntari dan Rudy Badil

SIANG itu tiba-tiba seluruh penumpang terdiam. Tak seorang pun berani berkutik ketika jip Land Rover keluaran 1998 itu mendadak merosot dari tebing ketika menelusuri jalan bebatuan terjal dan berkelok-kelok di leher Gunung Halimun, Sukabumi, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Usut punya usut, beban kendaraan terlalu berat.

BERUNTUNG, sang sopir cukup piawai. Dalam sekejap, masalah pun teratasi. Jip warna perak itu pun kembali melaju. Lodewijk Rainier Korua, begitu sebutan resmi pria berperawakan tinggi besar itu. Kelahiran Surabaya, 19 April 1957, ini memang dikenal sebagai off-roader. ”Pokoknya ke mana pun gua mau, asal boleh nyopir,” ujarnya kalem.

Kehidupan Lody, begitu ia dipanggil, memang tak pernah lepas dari alam. Ia menyalurkan gejolak darah muda sejak di SMA 7 Jakarta dalam berbagai olahraga alam, seperti panjat tebing, mendaki gunung, arung jeram, hingga motocross dan off-road. Tak mengherankan jika dalam sekejap ia menemukan satu hutan ilalang yang penuh pesona, kemudian sungai bebatuan yang begitu indah.

Seiring dengan kematangan yang dimiliki, ia mentransformasikan kecintaannya pada alam ke dalam ”bisnis”. Selain off-road, tahun 1995 ia resmi mendirikan PT Lintas Jeram Nusantara untuk mengelola Arus Liar, wisata alam arung jeram, di Sungai Citarik, Sukabumi. Dalam waktu dekat, pria berdarah Manado tetapi besar di Jakarta itu akan membuka wisata arung jeram di Sungai Cibareno.

PERLAHAN tetapi pasti, bisnis yang dikelolanya bertahan. Meski tanpa latar belakang pendidikan formal, ia kini mampu menghidupi sekitar 70 karyawan. Selain itu, bersama Arus Liar, ia hampir selalu mengantongi juara pertama lomba arung jeram nasional.

Ia tak terlalu khawatir dengan para pesaing lain. ”Saya yakin ada seleksi alam. Tetapi, bagi saya yang terutama dalam bisnis ini adalah keselamatan,” katanya tegas.

Baginya, safety first bukan sekadar slogan. Prinsip itu benar-benar ia jalankan. Ia memilih standar operasional keamanan internasional yang ia sesuaikan dengan kondisi setempat. ”Bawaan” alamiah sungai di Indonesia, katanya, berbeda dengan sungai di Eropa, Amerika, dan di Afrika.

Misalnya, meski dinilai boros, bahkan oleh para mitra asing, di sektor penyelamatan air, ia bersikukuh menerapkan sistem satu perahu penyelamat yang terdiri dari empat tenaga ahli dan satu tenaga medis untuk mengawal lima perahu tamu.

Bahkan, dalam kondisi tertentu, satu perahu penyelamat mengawal dua atau tiga perahu tamu. Ia juga melengkapi dengan penyelamatan darat, radio komunikasi, parameter air yang mampu memberikan peringatan awal tentang kondisi air, hingga evakuasi medis dengan helikopter.

Untuk bekal keterampilan internasional, ia menyekolahkan para pemandu ke Bali. ”Saya tahu, semua itu membutuhkan biaya besar, tetapi unsur keselamatan di sini tidak bisa ditawar. Kalau mobil, misalnya, mungkin masih bisa dihilangkan sistem air bag-nya, jadi harganya bisa lebih murah, tetapi ini… tidak bisa ditawar,” katanya.

Baginya, kecelakaan yang menimpa Raymond van Beckum di Sungai Cisadane, Bogor, akhir tahun 2003 lebih disebabkan oleh ”hilangnya” salah satu unsur keselamatan, demi harga lebih murah. ”Jadi bukan karena sungainya, tetapi ini lebih karena mempermainkan tarif,” ujarnya.

Unsur keselamatan itu termasuk ketidaksiapan pemandu. ”Pemandu yang baik harus berani menghentikan perjalanan jika memang jeramnya tidak mungkin dilalui. Biasanya, keberanian seperti ini jarang dimiliki karena harus menempuh risiko... tamu kecewa berat,” katanya menjelaskan.

KECINTAANNYA kepada alam semesta telah menempa pria berpenampilan rapi itu untuk lebih pasrah sekaligus optimistis akan adanya penolong. Alam pula yang membuatnya sangat menghargai persahabatan, termasuk ketika ia kehilangan arah hidup. ”Apa yang saya dapatkan sekarang tak lepas dari peran teman-teman,” tuturnya memberi alasan.

”Alam juga membuat saya lebih jujur kepada diri sendiri,” lanjutnya. Dalam arti, alam telah mengajarkan untuk menerima diri apa adanya. Pria berpembawaan kalem itu pun tak bercita-cita muluk. ”Apa yang saya terima sekarang sudah lebih dari cukup,” ujarnya.

Walau begitu, ada satu peristiwa yang takkan pernah ia lupakan saat mendaki puncak Jaya Wijaya tahun 1991. ”Ketika beristirahat, iseng saya memberi kabar lewat HT (handy-talky) kepada penjaga gunung. Kemudian si penjaga bilang, ada kabar dari Jakarta untuk Lody Korua... Ibunya meninggal empat hari lalu... Saya langsung bilang kepada teman-teman dan lari turun,” ujar putra sulung pasangan Altje Rambitan dan Willem Korua itu.

Mungkin alam pula yang membuatnya tak kehilangan rasa kemanusiaan. Pria yang mengawali ”karier” sebagai juru masak dalam setiap wisata alam lain itu berusaha tetap memadukan bisnis dengan sosial.

Tanpa diminta, ia menerjunkan 40 perahu karet untuk membantu menangani banjir di Jakarta. Ia pun tak enggan terbang ke Aceh dan Nias ketika kedua tempat itu diterjang badai dan tsunami.

”Saya ingin meringankan penderitaan orang. Di Aceh dan Nias, saya melihat begitu banyak kehilangan yang segala-galanya, bahkan anak-anaknya. Saya membayangkan, bagaimana kalau ini terjadi pada saya,” katanya. ”Sayang, korban kecelakaan dan bencana alam di Indonesia belum tertangani dengan baik,” tutur Wakil Ketua Global Rescue Network (GRN) Indonesia atau Jaringan Keamanan Global itu. Melalui GRN, ia bermimpi, Indonesia memiliki jaringan keamanan seperti 911 di Amerika Serikat yang memungkinkan setiap orang mendapat bantuan dalam segala hal hanya dengan menekan nomor 911.

Dan, alam pula yang mempertemukannya dengan RA Amalia Yunita (38), rafter wanita yang juga tangguh. Tahun 1996 ia resmi menyunting bunga perpaduan Jawa-Hongaria itu dalam sebuah pesta perkawinan unik, yaitu di atas perahu karet di Sungai Citarik, Sukabumi. ”Saya bersyukur, Tuhan mengirim dia untuk saya,” kata ayah tiga anak, Salsabila Korua (6), Ken Kiham Korua (5), dan Kalif Kresna Korua (2), ini.

Kehadiran ketiga bocah itu membuatnya kian bersyukur dan enggan meninggalkan rumah. ”Saya tak tahan jika harus lama-lama berpisah dari mereka,” ujarnya tersenyum. Ada keteduhan begitu dalam di balik tatapan dan senyuman itu.... (*/RIEN KUNTARI/RUDY BADIL)

Sumber : Kompas, Jumat, 24 Juni 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks