Jun 25, 2009

Lies Parish : Mengembalikan Anak Miskin ke Sekolah

Mengembalikan Anak Miskin ke Sekolah
Oleh : Yenti Aprianti

Bocah perempuan berusia belasan tahun, baru kelas satu sekolah menengah pertama (SMP), datang ke rumahnya. Gadis itu tidak mau masuk ke ruang tamu, malah menunggu di dapur. Dari ruangan lain, Lies Parish (43) memerhatikan gerak-gerik anak itu.

Ibunda Lies yang menemui anak itu. Mereka bicara berbisik-bisik. Lies penasaran. Setelah anak itu pulang, Lies bertanya pada ibunya, kenapa mereka bicara berbisik-bisik. ”Anak itu malu. Dia mau pinjam uang untuk membayar utang ke sekolah. Orangtuanya tidak punya uang,” kata sang ibu.

Mendadak Lies teringat kehidupan anak-anaknya yang ia besarkan di Essex, Inggris. Apa pun yang mereka butuhkan sudah dipenuhi oleh pemerintah. Sekolah dan biaya rumah sakit gratis. Perpustakaan dan tempat bermain ada di mana-mana.

Anak-anak juga diperhatikan perkembangan psikologinya. Jika mereka termenung atau ada lebam di kulitnya, maka sekolah akan menyelidiki. ”Intinya, anak-anak sangat dilindungi. Bahkan orangtua mereka pun tidak bisa berbuat semena-mena,” kata Lies.

Kedatangan gadis miskin yang memohon pinjaman di rumahnya, membuat hatinya terenyuh. Ia tersadar, betapa berat hidup yang harus ditanggung anak-anak miskin sebangsanya.

Saat itu Lies mulai memberi beasiswa kepada beberapa anak miskin yang masih sekolah. Ia mendatangi beberapa anak yang terpaksa putus sekolah dan masih berkeinginan melanjutkan sekolah. Tapi ternyata, mengembalikan mereka ke sekolah tidak semudah membalikkan telapak tangan.

”Di kampung banyak orangtua yang belum mengerti pentingnya pendidikan. Mereka justru menyuruh anak-anaknya berhenti sekolah agar bisa segera menafkahi keluarga,” kata Lies.

Betapa sedih hati Lies saat ia menemukan seorang anak yang menyatakan ingin sekolah, tapi tidak diizinkan orangtuanya. ”Di belakang orangtuanya, ia bilang ingin sekolah. Tapi saat di depan orangtuanya, ia bilang tidak mau sekolah lagi demi menyenangkan hati orangtuanya,” ujar Lies yang ditemui sedang membawa sekitar 30 anak untuk berekreasi di Kebun Binatang Bandung, Minggu (31/7/2005).

Itu sebabnya, Lies mencoba memberikan beasiswa kepada beberapa orang sebagai contoh atau penyuluhan secara halus untuk membuka wawasan orangtua di kampung-kampung.

Membentuk yayasan

”Ternyata setelah keuangan untuk sekolah lancar, banyak orang miskin yang tadinya tidak mengizinkan anaknya sekolah, mulai bertanya-tanya cara untuk mendapatkan beasiswa,” lanjut Lies.

Ketika pulang ke Inggris, Lies mentransfer uang untuk anak-anak miskin melalui ibunya. Ibunyalah yang berangkat dari rumah anak miskin satu ke rumah yang lain untuk mencatat keperluan anak-anak miskin itu. Ibunya pula yang mendatangi sekolah-sekolah untuk melunasi bayaran mereka.

Makin hari makin banyak anak orang miskin yang tercatat dan butuh beasiswa. Lies yang hanya ibu rumah tangga dan bekerja sebagai pendesain website pada waktu-waktu luangnya pun merasa tak sanggup lagi membiayai anak-anak yang jumlahnya makin banyak.

Ia pun mengajak teman-temannya sebangsa yang tinggal di luar negeri melalui milis untuk menjadi donatur. Dari milis, ia membuat website sendiri untuk menjaring masyarakat dunia yang peduli untuk mengembalikan hak anak miskin di Indonesia. Alamat website-nya www.annisa.org.

Sejak 21 April 2004, ia dan teman-teman donatur sudah mengesahkan kegiatannya dalam bentuk yayasan, bernama Yayasan Annisa.

Donatur yang ingin memberi beasiswa kepada murid SD minimal memberikan uang sejumlah Rp 60.000 dan untuk murid SMP dan SMA sebanyak Rp 120.000 per bulan. ”Donatur bisa memberi dalam bentuk mata uang mana pun asalkan setara dengan nilai sejumlah yang tersebut dalam bentuk rupiah,” kata Lies. Di Inggris, uang sejumlah Rp 60.000 sama artinya dengan satu porsi makanan siap saji.

Sampai kini sudah ratusan anak di Jabar dan Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, yang sudah mendapatkan beasiswa dari Yayasan Annisa. Yayasan Annisa kini juga tengah menggalang dana untuk membuat perpustakaan di Nanggroe Aceh Darussalam.

Lies sendiri adalah istri lelaki berkebangsaan Inggris, Mark Parish. Mereka menikah tahun 1990. Saat itu, Lies sudah memiliki dua anak dari suami terdahulu, yaitu Gina Rubian Biany (23) dan Sylvia Wulandari (22). Dengan Mark, Lies memiliki anak, Maria Candidasa (13) dan Saskia Theodora (7).

Dua tahun setelah menikah, Lies memutuskan tinggal di Essex, Inggris, karena suaminya bekerja di kota itu. ”Kini suami saya juga ikut menggalang dana bagi anak miskin di Indonesia bersama teman-temannya di divisi keuangan di perusahaan, First Data Europe and Middle East (FDE),” kata Lies menjelaskan.

Sumber : Kompas, Selasa, 13 september 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks