Sombolinggi, Pejuang Penghijauan dari Tana Toraja
Oleh : Reny Sri Ayu Taslim
Jauh sebelum orang-orang ribut membicarakan pemanasan global, Lasso Sombolinggi (71) sudah gelisah melihat hutan dan ekosistem rusak oleh perambahan serta banyaknya lahan tidur dan telantar di Tana Toraja, daerah kelahirannya.
Kegelisahan Sombolinggi membangkitkan tekadnya untuk melakukan penghijauan. Tak pernah berputus asa kendati upayanya menghijaukan hutan/lahan tidur dan memberdayakan masyarakat di wilayah itu pernah membuatnya dia dituding sebagai antek Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tahun 1982, sesaat setelah membentuk LSM Tengko Situru, Sombolinggi mengajak masyarakat sekitar untuk ikut membibitkan dan menanam beragam tanaman hutan jenis lokal yang banyak tumbuh di wilayah itu. Warga diajaknya mengolah tanah telantar, lahan, dan kebun "tidur" menjadi hutan.
Tak puas dengan menghutankan lahan tidur dan tanah telantar, Sombolinggi kemudian memikirkan konsep penghijauan plus. "Bagi saya, penghijauan hutan dan penanaman lahan tidur tidak sekadar soal menjaga ekosistem, tetapi bagaimana agar masyarakat juga bisa mendapat penghasilan dan lebih sejahtera dari situ. Saat itu saya melihat penanaman tanaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang di satu lokasi adalah model yang ideal," kata bapak delapan anak ini.
Konsep yang belakangan disebut dengan istilah agro-forestry ini mulai diperkenalkan dan dilaksanakan di Tana Toraja tahun 1987, dimulai di Lembang (desa) Madandan, Kecamatan Rantelayo, Tana Toraja, pada areal seluas 150 hektar. Saat itu LSM Tengko Situru dijadikannya yayasan yang kemudian melahirkan Wahana Lingkungan Persada (Walda).
Melalui Walda, Sombolinggi membuat jaringan dengan aktivis lingkungan di Jakarta dan meminta bantuan pendonor di luar negeri untuk mendukung upayanya. Bersama teman-teman aktivis dan pendonor ini pula lahir konsep pelaksanaan agro-forestry di Tana Toraja. Ini setelah melalui serangkaian diskusi, lokakarya, dan pengumpulan data untuk mencari tahu model apa yang cocok untuk penghijauan sekaligus menyejahterakan masyarakat.
Berhasil di Rantelayo, penghijauan model agro-forestry ini kemudian dilakukan di wilayah lain di Tana Toraja. Tak cuma agro-forestry, di beberapa daerah yang potensial untuk peternakan konsepnya diubah menjadi agro- silvo pastoral, penggabungan penghijauan, pertanian, dan peternakan. Konsep ini pun jalan dan berkesinambungan dari satu wilayah ke wilayah lain.
Di Tana Toraja, apa yang dilakukan Sombolinggi adalah hal yang amat sulit mengingat secara turun-temurun tanah yang amat bernilai dan menjadi fokus perhatian masyarakat adalah sawah. Begitu berharganya lahan sawah, kata Sombolinggi, di masyarakat kerap terjadi konflik memperebutkan lahan sawah yang tidak seberapa. Bahkan, warga lebih mencurahkan perhatian, tenaga, dan hidupnya untuk mengurusi sepetak kecil sawah ketimbang mengurusi lahan kebun, betapa pun luasnya.
"Pikiran saya waktu itu bagaimana mengubah pola pikir masyarakat dari sekadar sawah ke kebun. Saat itu banyak masyarakat yang miskin, sementara saya melihat ada potensi yang bisa menyejahterakan mereka, yakni lahan-lahan kebun yang ditelantarkan. Harapan saya, setelah kebun secara bertahap mereka juga melihat hutan," kata suami Den Upa Rombelayuk, salah seorang aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, ini.
Dituding antek PKI
Begitu kuatnya budaya sawah pada masyarakat setempat, upaya Sombolinggi memperkenalkan kebun dan hutan berbuntut kecurigaan masyarakat dan juga pemerintah. Mulai dari tudingan ingin merampas tanah masyarakat hingga yang paling parah pemerintah dan masyarakat mencurigainya sebagai antek PKI. Terlebih saat itu, melalui bantuan lembaga donor di luar negeri, Sombolinggi membagi- bagikan bibit kepada masyarakat.
Karena itu, banyak warga yang tak mau terlibat, terutama kaum lelaki. Namun, Sombolinggi tak putus asa, bahkan ia terus melakukan pendekatan dengan pemerintah dan masyarakat.
"Terus terang, saat itu yang paling banyak membantu dan terlibat justru kaum perempuan karena laki-lakinya banyak yang memilih urusan lain, bahkan pergi berjudi sabung ayam. Kepada perempuan ini saya ajarkan berkebun, mulai dari sekitar rumah hingga ke lahan kebun mereka. Sembari berkebun, mereka juga saya ajak menanam tanaman seperti yang ada di hutan," katanya.
Pendekatan yang susah payah ini berbuah ketika masyarakat mulai mau menggarap kebun dan lahan telantar. Dua tahun pertama, upaya ini nyaris gagal dan warga mulai putus asa ketika hasil tanaman jangka menengah belum menghasilkan apa-apa. Namun, Sombolinggi terus memberi semangat kepada masyarakat. Beruntung tanaman jangka pendek, seperti kacang- kacangan, sayuran, dan umbi- umbian, bisa panen beberapa kali dalam setahun hingga ada hasil yang bisa dipetik. Saat tanaman jangka menengah seperti kakao, kopi, dan lainnya mulai bisa dipanen, semangat masyarakat mulai tumbuh.
"Saat itulah mereka percaya apa yang saya katakan dan perlahan mulai membagi perhatian antara sawah dan kebun. Tanaman jangka panjang pun mulai mereka garap," kata Sombolinggi, yang sempat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, ini.
Berhasil dengan tanaman padi, perlahan-lahan lelaki yang masih segar pada usianya yang 71 tahun ini mulai mendekati perambah hutan. Para perambah hutan diajak berkebun di sekitar hutan. Tidak mudah memang mengingat perambah hutan ini juga banyak dibekingi oleh oknum yang cukup berpengaruh.
"Yang membuat saya sedih, saat perambah perlahan-lahan mulai berkebun di sekitar hutan, mereka kerap diiming-imingi uang untuk menebang pohon di hutan. Yang menjengkelkan, bila aktivitas ini melapor kepada yang berwajib, mereka tak mencari pelaku atau siapa yang berada di belakang perambah hutan. Saat kayu sudah ditebang dan keluar hutan, aparat baru bersikap. Tapi yang ditahan kayunya saja, pelakunya tidak," katanya. Namun, Sombolinggi tak putus harapan dan terus berupaya.
Reboisasi dan penghijauan
Aktivitas dan perjuangan Sombolinggi melakukan penghijauan bermula tahun 1982 saat pemerintah melakukan program penghijauan dan reboisasi di Tana Toraja. Sejak awal dia melihat program ini dilakukan sekadar menjalankan proyek yang sudah dijadwalkan dan tersusun, tanpa sosialisasi dan diskusi dengan masyarakat.
"Masyarakat yang dilibatkan dalam proyek ini tidak mengerti apa sasaran program tersebut. Ketidakmengertian mereka menimbulkan kegelisahan dan kekhawatiran lahan yang ditanami mereka nantinya akan diambil pemerintah. Sementara dari pihak pemerintah Orde Baru, warga yang tidak setuju program ini disebut penentang pembangunan," ujar Sombolinggi.
Melihat keadaan yang kurang menguntungkan itu, Sombolinggi turun tangan melalui LSM Tengko Situru. Bersama teman- temannya, dia melakukan pendampingan pada masyarakat, khususnya petani, dan berupaya menjadi penengah antara pemerintah dan masyarakat. Dia minta kepada warga untuk membibitkan semua jenis tanaman yang ada di hutan sekitar desa. Ditekankan pula, program penghijauan tak akan membuat warga kehilangan tanahnya.
Untuk lebih memperkuat posisinya dalam beraktivitas, Sombolinggi kemudian memberanikan diri mengikuti pemilihan kepala desa secara langsung, dan dia terpilih secara mutlak. Baginya, dengan menjadi kepala desa ada titik masuk agar bisa lebih diterima masyarakat, sekaligus dekat dengan pemerintah.
Perjuangan Sombolinggi kini boleh dikatakan berhasil. Namun, dia tetap merendah. "Bagi saya, sebuah program disebut berhasil bila sudah berlangsung secara berkesinambungan dan masyarakat sudah sampai pada tahapan melakukannya secara sadar dan menjadikannya kebutuhan, bukan lagi karena disuruh. Itu bukan hanya saya, melainkan lebih karena peran masyarakat sendiri."
Sumber : Kompas, Kamis, 13 Desember 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment