Jun 2, 2009

Gotot Prakosa, Si Penggila Eksperimen

Gotot Prakosa, Si Penggila Eksperimen
Oleh : Irma Tambunan

Rentangan lima tahun terakhir banyak mengubah hidup Gotot Prakosa. Ia mengalami masa-masa tak berdaya saat mengalami stroke hingga tiga kali. Namun, dalam ketidakberdayaan ini, ia tersadar untuk segera menuntaskan beberapa obsesi yang tertunda.

Salah satunya adalah membuat film grup musik Kantata Takwa yang mulai digarap sejak 1993. Pembuatan film ini mandek di akhir dekade itu bersamaan dengan maraknya pembredelan media massa. Gotot yang aktif di "Detak", kehabisan dana untuk melanjutkan proyek tersebut.

Ia pun mulai disibukkan membuat film eksperimental dan animasinya untuk berbagai festival di luar negeri. Gotot bergelut dengan obsesi menghasilkan single short serie, yakni karya-karya eksperimental yang melibatkan musik, gambar, dan alur cerita, bersama satu tokoh seniman. Kesibukan lain, pembuatan buku-buku animasi, studi S-2 di Universitas Gadjah Mada, serta ratusan karya lukisan. Segalanya jadi sangat menyita waktu.

"Sampai stroke menyerang saya. Dalam keadaan tidak bisa berbuat apa-apa, saya kemudian teringat proyek-proyek yang terunda karena kesibukan selama ini," tuturnya di Jambi, awal November. Kedatangannya ke Jambi untuk menjadi panitia dalam Festival Film Animasi Indonesia 2007. Dia juga menyempatkan diri melatih anak-anak muda setempat membuat film animasi.

Untuk mewujudkan obsesinya, Gotot pun menghubungi kembali teman-teman lama untuk bersama-sama menyelesaikannya di sebuah studio kecil di daerah Tanah Abang. Beberapa bagian gambarnya rusak dan kotor. "Saya bersihkan lagi, lalu dibikinkan digitalnya. Beberapa saya buatkan duplikasinya. Sekarang hampir tuntas, sudah 74 menit," ujarnya tersenyum.

Kedekatan personal dan kemegahan lagu-lagu yang diciptakan Kantata membuat Gotot tertarik mengerjakannya. Dalam film ini ia menyematkan setidaknya tujuh lagu Kantata Takwa, di antaranya Kesaksian, Bento, dan Paman Domblang, dari hasil konser di sejumlah daerah. Ia menggandeng tokoh perfilman macam Sutomo Gandasubrata sebagai juru kameranya serta Chalik Arifin untuk penata artistiknya.

Sebenarnya Gotot berharap film ini sudah dapat tayang di bioskop sebelum Desember. Film ini akan melepaskan kerinduan orang-orang yang pernah sangat menyanjung grup musik rock tersebut. Di sanalah fantasi-fantasi para personal divisualisasikan. Di situ juga dapat terbaca pencarian mereka akan hidup dan makna ketakwaan.

Iwan Fals saat itu masih gondrong dan ganteng dengan kumisnya yang tebal. Sawung Jabo, WS Rendra, Yocky Suryoprayogo, dan Setiawan Djodi juga tampak muda dan gagah.

Gila animasi

Sejak di bangku sekolah Gotot telah menyadari bahwa seni takkan dapat dipisahkan dari hidupnya. Karena itu, sepulang dari sekolah, sorenya ia belajar ke STSRI "ASRI" Yogyakarta. Di sanalah bakat seninya itu makin terasah.

Lulus sekolah, Gotot memilih melanjutkan ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Salah seorang pamannya menghadiahi dia sebuah kamera 8 mm, yang dari situ ia menjadi gila membuat film eksperimental, termasuk animasi.

Animasi pertama yang dibuatnya berjudul Sepasang Tanduk, merupakan satiristik koteka (penutup alat kelamin pria). Pada masa itu memang sedang hangat-hangatnya masalah pembebasan Irian Barat. Hampir setiap rumah memasang tanduk rusa di depan pintu rumah. Ketika pulang kampung ke Yogyakarta, Gotot pun terinspirasi membuat cerita tentang Bima yang kehilangan kukunya, yang ternyata ditemukan dalam sebuah tanduk rusa. Tiba-tiba seorang anak Irian lewat dan melihat tanduk itu melompat-lompat sambil berteriak dengan menepuk-nepukkan tangan ke mulut. Ceritanya sederhana saja, tetapi bentuk animasinya cukup menghibur orang.

Film pendek berdurasi tiga menit itu juga yang mengawali kegilaannya membuat film. Selama tahun 1976-1981, berturut-turut Gotot memenangi penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Setiap kali membawa pulang penghargaan, ia selalu membeli kambing. "Kambing guling saya beli untuk dimakan bersama teman-teman sekampus," kenangnya.

Berjaya di festival tingkat nasional, karya eksperimental dan animasinya mengundang perhatian dunia. Ia diundang ikut dalam festival film animasi sangat bergengsi, Oberhausen, di Jerman. Lalu berbagai festival diikutinya, hingga suami dari penari Susi Natalia (43) ini dinobatkan menjadi anggota Dewan ASIFA, asosiasi film animasi internasional.

Hingga saat ini ayah Nur Langit Lembayung ini telah menghasilkan lebih dari 60 karya film animasi dan sejumlah film lain yang pernah menimbulkan kontroversi, di antaranya Langitku, Rumahku (1990). Film ini dianggap bandel meski kemudian justru mendapatkan 11 penghargaan Piala Citra.

Film Tjut Nyak Dien (TND) adalah film yang mampu membawanya kembali ke Tanah Air setelah lama melanglang dari satu festival ke festival film animasi di berbagai negara. "Saya ditelepon Eros Djarot tahun 1986. Kata dia, buruan pulang, saya mau bikin film Tjut Nyak Dien," kenangnya.

Ketika TND selesai tahun 1988, film ini menjadi film Indonesia pertama yang masuk dalam Cannes Film Festival dan ditawarkan diputar keliling dunia oleh Setiawan Djodi.

Keterbatasan

Ia masih ingat betul, setelah terkena stroke sepanjang 2002-2004, nyaris tak ada sesuatu pun yang dapat dilakukan. "Berjalan saja tidak bisa sehingga saya harus ngesot untuk ke sana kemari," tuturnya.

Akan tetapi, ia menyadari bahwa keterbatasan fisik bukan menjadi penghalang selamanya. Selama masa-masa hampir lumpuh itu, Gotot justru menyelesaikan studi S-2 Humaniora di Universitas Gadjah Mada.

Ia memuas-muaskan diri di rumah, melukis dengan gaya ngesot-nya. Hasilnya menjadi lukisan-lukisan abstrak. Jumlahnya telah mencapai sekitar 600 lukisan. Banyak yang menyukai, sampai karyanya itu kemudian dipamerkan di Goethe Institut Jakarta.

Gotot masih suka menulis walau kini nyaris hanya tinggal telunjuk kanan yang berfungsi baik untuk mengetik di atas komputer jinjingnya. Jalannya pun kini tertatih-tatih. "Sekarang saya lebih memilih mengerjakan sesuatu yang bermanfaat buat orang lain. Seperti tentang film dan animasi, ilmu yang saya miliki ini saya bagikan lewat buku," tuturnya.

Setiap proses produktif itu menjadi lebih lama, tetapi semangatnya untuk berbagi tidak luruh oleh keadaan. Seni memang tak terpisahkan dari dirinya.

Sumber : Kompas, Rabu, 12 Desember 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks