Jun 17, 2009

Kusno : Mbah Kusno, Pelestari Gunung Kerinci

Mbah Kusno, Pelestari Gunung Kerinci
Oleh : Ilham Khoiri

Bila Gunung Merapi di Yogyakarta punya Mbah Maridjan sebagai juru kunci, Gunung Kerinci di perbatasan Provinsi Jambi dan Sumatera Barat punya Mbah Kusno.

Gunung Kerinci sedang mengeluarkan awan putih tipis ke arah timur laut pagi awal Juni lalu. Dari depan rumahnya di Desa Kersik Tuo, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Mbah Kusno menatap puncak gunung.

Di kaki gunung, ribuan hektar tanaman teh terhampar hijau indah seperti beludru. Perkebunan sayur dan hamparan pohon kayu manis (Cassiavera) dengan daun muda merah membuat kaki gunung semakin menawan.

"Kalau Gunung Kerinci mengeluarkan asap, itu sehat. Mungkin aliran magmanya tersumbat batu, jadi gunung mengeluarkan semacam gas panas. Gunung Kerinci belum meletus dalam waktu dekat," kata Mbah Kusno dengan wajah tenang.

Gunung berapi pada ketinggian 3.805 meter di atas permukaan laut itu sempat menyemburkan abu putih ke Solok Selatan, Sumatera Barat, awal Mei lalu. Direktorat Vulkanologi Geologi dan Mitigasi Bencana Kayu Aro mencatat, Kerinci mengeluarkan awan putih setinggi ratusan meter dan frekuensi gempanya meningkat. Gunung itu aktif, tetapi normal.

Penjelasan Mbah Kusno yang tidak bertentangan dengan kesimpulan Direktorat Vulkanologi dipegang masyarakat dan petani Kersik Tuo. Dengan tenang mereka menanam berbagai jenis sayuran di areal perkebunan di kaki gunung.

Lebih dari itu, petani juga mengikuti saran Mbah Kusno, melestarikan lingkungan dengan menanam berbagai jenis pohon berbunga di pekarangan dan lereng Kerinci yang bibitnya berasal dari setek pohon-pohon di kebun Kusno.

"Saya tidak rugi membagi bibit tanaman berbunga, seperti kelengkeng, avokad, jeruk, atau anggrek. Kalau tanaman itu tumbuh dan berbunga, saya bisa titip lebah saya," kata Kusno.

Kusno memiliki 60 kotak lebah di pekarangan penuh bunga seluas 1.600 meter persegi. Setiap bulan, dia memanen sekitar 30 kilogram madu yang harganya Rp 80.000 per kg.

"Saya bisa panen madu dan punya penghasilan sekitar Rp 2,4 juta per bulan, sama dengan menanam kentang di dua hektar lahan, itu pun harga jualnya turun naik. Jadi, sebenarnya petani tak perlu merambah hutan untuk bercocok tanam," katanya.

Kusno juga memelopori penghijauan dengan tanaman keras, terutama yang buahnya bisa dinikmati warga, seperti durian, suren, petai, avokad, kemiri, atau aren, yang bibitnya sebagian besar berasal dari Dinas Kehutanan dan Konservasi Kabupaten Kerinci. Kakek itu memang sudah menjadi kader penghijauan sejak tahun 1985.

Kusno terlibat dalam beberapa program besar konservasi di Taman Nasional Kerinci Seblat, terutama di kawasan lereng Kerinci, antara lain pada tahun 1987, dari membagi bibit hingga memeriksa hasil penanaman.

"Tak semua bibit tumbuh baik, bahkan ada yang mati karena kurang perawatan. Tetapi, bibit yang tersisa tumbuh jadi pohon besar sampai sekarang. Penghijauan butuh kesabaran dan perjuangan tiada henti," kata kakek dari 50 cucu dan 20 cicit itu.

Ritual sedekah bumi dan surti atau berdoa bersama di Gunung Kerinci yang dipelopori Kusno sejak sekitar 30 tahun lalu juga menarik perhatian warga. Kedua ritual itu berisi syukuran dan doa bersama dengan memotong kerbau pada awal bulan Sura dalam kalender Jawa. Seluruh biaya, yang bisa mencapai Rp 15 juta, ditanggung Kusno dengan sedikit sumbangan warga.

Hingga kini, Kusno masih rutin naik gunung untuk menegur perambah nakal. Jika perlu, dia menggalang perjuangan bersama warga setempat.

Hijrah

Ayah Kusno, Raden Sumangun, abdi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang hijrah ke Kerinci untuk membuka perkebunan teh yang dirintis Belanda tahun 1911. Saat hamil, istri Sumangun dititipkan di rumah keluarga di kawasan Tamansari, Yogyakarta, sampai melahirkan bayi Kusno tahun 1919.

Kusno kecil tinggal di dekat lingkungan keraton dan saat remaja gemar bertapa di sejumlah puncak gunung di Jawa. Bersama abdi dalem dan masyarakat, Kusno juga kerap menghadap Sultan Hamengku Buwono (HB) VIII (1921-1939).

Dalam salah satu pertemuan, HB VIII menitahkan Kusno menyusul ayahnya ikut menjaga Gunung Kerinci. Tahun 1939 Kusno benar-benar hijrah dan tinggal di kawasan perkebunan teh di Kersik Tuo.

Mulanya dia hanya mengawasi Gunung Kerinci demi keselamatan ribuan masyarakat Jawa di sekitar situ. Lama-kelamaan, Kusno yang rutin bersemadi sambil berpuasa hingga belasan hari di Gunung Ayam, salah satu dataran di puncak Kerinci, untuk menjaga kedekatan dengan Kerinci melestarikan lingkungan gunung itu untuk kepentingan semua orang dari berbagai etnis.

Berkat komitmennya itu, dia menerima sejumlah penghargaan, antara lain kader konservasi alam dari Menteri Kehutanan RI tahun 1997, penggiat konservasi alam dari Gubernur Jambi dan Bupati Kerinci, serta penghargaan untuk ketekunan menanam pohon berbunga dan peternakan lebah madu dari Dinas Kehutanan dan Konservasi Kabupaten Kerinci.

"Petani, warga desa, pejabat, dan semua orang punya kepentingan pada lestarinya hutan di Gunung Kerinci. Kalau meninggal, semua orang di sini juga akan dikubur di tanah Kerinci. Jadi, kenapa tak menghormati dan melestarikan Kerinci?" tanya Kusno.

Sumber : Kompas, Rabu, 14 Juni 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks