Kumarhadi, Sisa-sisa Pembatik
Oleh : Djoko Poernomo
Dalam sebuah on-line terbitan awal bulan kedua tahun ini, terbetik berita bahwa industri batik di Kota Yogyakarta dan sekitarnya semakin merosot dan kalah bersaing dengan batik pekalongan, solo, maupun cirebon. Diperkirakan, dari sekitar 1.200 unit usaha batik yang ada di Yogyakarta pada awal tahun 1970-an, kini tinggal 15 persen hingga 30 persen atau maksimal 400 unit.
Kemerosotan industri batik di Yogyakarta disebabkan berbagai faktor, antara lain motif yang tidak pernah berkembang, kurangnya kaderisasi pembatik, kalah modal, dan berganti ke jenis usaha lain.
Tak hanya di Yogyakarta. Gejala demikian merata terjadi di kabupaten lain di provinsi yang sama. Khusus di Kabupaten Gunung Kidul, dari 107 unit pembatik pada tahun 2003-2004 kini tinggal delapan unit. Ironis!
Namun, di tengah gegap gempita berita kurang sedap di atas, ada perkecualian bagi Raden Mas (RM) Kumarhadi SE (66). Pensiunan karyawan PT Jamsostek dengan jabatan terakhir kepala kantor wilayah (1989-1996) di DI Yogyakarta tersebut pelan tetapi pasti terus mencoba melestarikan batik, khususnya batik tulis.
Bapak dua anak dan kakek satu cucu yang memiliki keterampilan membatik sejak remaja itu terus berusaha ngleluri (melestarikan) kain bermotif yang dibuat dengan teknik resist (tutup/rintang) menggunakan material lilin tersebut. Sebagai mantan pejabat dari eselon satu dan pernah mencecap pendidikan di Belgia, Kumarhadi tak merasa risi jika sehari-hari harus bergelut dengan lilin, cat, atau zat pewarna lain.
Ketika ditemui pekan lalu, Romo Kumar, demikian ia biasa dipanggil, menyatakan usaha yang dijalankannya sejak tahun 1970-an itu bukan termasuk industri dalam skala besar, melainkan hanya industri rumahan. "Atau, singkatnya, hanya sebagai penyalur hobi...," katanya merendah. Meski demikian, pesanan ke pihaknya terus mengalir sehingga kadang-kadang membuat kewalahan.
Yang istimewa dari batik garapan Romo Kumar, demikian penilaian para pemesan, adalah tidak ditemukannya motif yang sama antara pesanan yang satu dan yang lain. Di samping itu, motif dan warna yang dibuat pun disesuaikan dengan karakter si pemesan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kreasi Romo Kumar sudah mencapai tak kurang dari 1.000 buah. Ini yang juga membuat kemeja batik yang ia kenakan dalam setiap kesempatan berbeda tidak ada yang sama. Demikian pula yang dikenakan oleh para pelanggan. Motif bikinan Romo Kumar juga tak ditemukan di toko.
Romo Kumar biasa membatik di atas kain belacu. Alasannya, warna yang bakal keluar dari salah satu jenis kain ini lebih kalem dibandingkan dengan jenis- jenis kain lain, seperti poplin, mori, berkolin, satin, voalisima, dril, termasuk kain sutra sekalipun. Harga kain belacu sekarang Rp 5.000 sampai Rp 7.500 per meter. Setelah di tangan Romo Kumar, harga belacu tersebut bakal berlipat-lipat, apalagi setelah didesain.
Kecuali membatik, Romo Kumar juga memiliki keterampilan di bidang interior design, gardening, fashion design, bordir, payet, dan painting design. Namun, ketika usianya beranjak senja, tinggal ilmu membatik yang masih ditekuni.
Pengaruh lingkungan
Keterampilan Romo Kumar membatik berkat pengaruh lingkungan, yakni saat tinggal di dalam tembok Keraton Ngajogjakarta Hadiningrat. Ayah Romo Kumar, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Suryoputro, adalah anak Sultan Hamengku Buwono (HB) VIII, atau adik HB IX. Dengan demikian, Romo Kumar merupakan saudara sepupu penguasa Keraton Ngajogjakarta Hadiningrat sekarang, Sultan HB X.
Nyaris tiap hari Kumar kecil menyaksikan para abdi dalem perempuan membatik sebagai persembahan terhadap raja junjungannya. Inilah yang kemudian mengusik nurani Kumar untuk belajar membatik sekaligus mengasah keterampilan.
Pada suatu waktu, Kumar remaja pernah menyatakan keinginan hendak menjadi seorang seniman. Tetapi, hal tersebut ditolak orangtuanya dengan alasan daripada menjadi seorang seniman, lebih baik menjadi seorang ahli ekonomi.
"Masuklah saya ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada," tutur suami Rr Nur Kusdarinah (55) ini. Nur adalah seorang peragawati yang ketika remaja juga banyak menghabiskan waktu di dalam tembok keraton.
Kumar dan Nur sekarang bahu-membahu menjalankan roda "industri" perbatikan dari tempat tinggalnya di Kampung Tuntungan Baru, Umbulharjo, Kota Yogyakarta.
Di sela-sela mengolah keterampilan membatik yang diakui diperoleh secara otodidak, Romo Kumar tiap akhir bulan masih berkantor di Keraton Ngajogjakarta Hadiningrat. Di sini ia memiliki dua jabatan strategis, masing-masing selaku Pengageng Tepas Danarto Puro (bagian keuangan) serta Pengageng Tepas Rantam Harto (bagian anggaran).
"Idealnya, jabatan ini di- pegang oleh dua orang. Tetapi, Sinuwun (untuk menyebut Sultan HB X) menghendaki demikian, ya, saya jalankan," ungkap Romo Kumar yang baru saja memperoleh pangkat bupati nayaka dan nama baru, Kanjeng Raden Tumenggung Suryoseputro.
Tugas utama Romo Kumar pada tiap akhir bulan adalah membagi gaji bagi seluruh abdi dalem Keraton Ngajogjakarta Hadiningrat yang berjumlah 1.700-an orang.
Sumber : Kompas, Jumat, 1 September 2006
Jun 12, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment