Jun 9, 2009

Kulup dan Hutan Bukit Tigapuluh

Kulup dan Hutan Bukit Tigapuluh
Oleh : Neli Triana

Tubuhnya tergolong mungil dengan tinggi hanya sekitar 155 sentimeter. Namun, laki-laki kurus dan murah senyum ini mampu bersikap galak dan tegas jika dusun dan hutannya terusik.

Yang saya tahu, kalau hutan tidak ada lagi, masyarakat saya tidak dapat hidup. Saya tidak akan membiarkan itu terjadi. Hutan harus tetap ada, biar warga di sini tetap bisa berladang, menakik, dan menggunakan sungai," ungkap Kulup (45), Kepala Dusun Pebidaian, Desa Rantau Langsat, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.

Penduduk Dusun Pebidaian termasuk masyarakat suku Talang Mamak, suku asli di kawasan hutan Bukit Tigapuluh yang kini sebagian arealnya ditetapkan sebagai Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT).

Dusun Pebidaian menempati areal lahan seluas 10 kilometer persegi untuk permukiman dan perladangan serta beberapa ratus hektar hutan alam yang bisa diambil hasil nonkayunya.

Demi mempertahankan hutannya yang kini menjadi bagian dari kawasan penyangga TNBT, Kulup berani menolak keinginan perusahaan besar dan pemerintah daerah setempat untuk membuka tambang batu bara. Para investor menawarkan jutaan bahkan miliaran rupiah agar diperoleh izin menambang di wilayah dusun dan hutan. Namun, semua ditolak mentah-mentah.

Menurut Kulup, sepanjang tahun 2005-2006, sudah beberapa kali orang dari "kota" mendatangi dusunnya. Mereka membawa berbagai peralatan dan mengebor tanah di wilayahnya. Eksplorasi, demikian kata-kata yang dilontarkan para pendatang itu saat ditanya oleh Kulup. Kegiatan ini, salah satunya, bertujuan menentukan seberapa besar kandungan batu bara serta titik-titik lokasi penambangan atau eksploitasi.

Meski tidak begitu tahu apa arti eksplorasi, apalagi eksploitasi, Kulup paham jika aktivitas tersebut berlanjut, dusun dan hutannya bakal rusak. Ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana menyedihkan kondisi Siambul dan Keritang, dua kawasan sesama penyangga TNBT yang kini menjadi kawasan penambangan batu bara.

Bersama rekan dari Konsorsium Konservasi Indonesia-Warung Informasi, Kompas melihat sendiri kedua kawasan tersebut awal Oktober lalu. Keduanya nyaris gundul total. Semua pepohonan ditumbangkan. Lapisan tanah dikeruk tiga sampai puluhan meter demi mendapatkan batu bara. Ironisnya, masyarakat setempat yang dulu adalah pemilik lahan justru dijadikan pekerja kasar, menggali dan mengangkut batu bara.

"Tidak seperti pohon karet atau isi hutan lainnya, uang ganti rugi tanah paling bisa bertahan beberapa tahun saja, tidak akan menjamin sampai ke anak cucu," papar Kulup. "Masyarakat yang dulunya mandiri, hidup sederhana dengan mengumpulkan getah karet, berladang, menikmati hasil hutan, termasuk hewan buruan, tiba-tiba jadi tergantung dengan upah harian."

Sulung dari ketujuh anak Kulup hasil perkawinannya dengan Sijar turut terpengaruh menjadi buruh angkut batu bara di Siambul. Dari anaknya pula ia banyak mendapat cerita tentang kondisi masyarakat Siambul dan Keritang setelah penambangan batu bara masuk.

Kondisi itu menghantui Kulup. Sulit ia bayangkan, hanya karena membiarkan penambangan merambah hutannya, ia akan melihat warganya menjadi buruh yang suatu saat nanti kehilangan pekerjaan karena tambang telah usai. Tinggallah tanah tandus, uang ganti rugi habis, dan mereka tetap saja miskin.

Pendidikan terbelakang

Kulup juga menyadari bahwa ia dan warganya adalah golongan masyarakat bodoh di negeri ini karena nyaris tidak tersentuh pendidikan formal. Anak-anak Dusun Pebidaian harus berjalan kaki sedikitnya dua kilometer untuk mencapai satu-satunya sekolah dasar yang tersedia. Berkilometer lagi jika menginginkan tetap melanjutkan ke SMP, apalagi SMA—itu pun kalau biaya tersedia—hal yang amat langka dijumpai di Pebidaian.

Kebiasaan masyarakat Pebidaian untuk mencukupi kebutuhannya, yakni dengan memanfaatkan hasil hutan serta hidup selaras dengan alam, menjadi penyelamat kelangsungan keturunan mereka selama ini. Jika hutan direnggut, entah apa jadinya dengan mereka.

Pembangunan fisik guna memajukan dusun mereka hampir tidak pernah terjadi. Satu-satunya bantuan pemerintah adalah dibangunnya jembatan gantung tahun 1995. Jembatan tersebut terbentang sekitar 50 meter melintasi Batang (Sungai) Gansal.

Kepala Balai TNBT Haryono mengutarakan, penambangan batu bara di sekitar kawasan TNBT adalah penambangan terbuka. Sistem penambangan ini dengan cara mengelupas permukaan lapisan tanah untuk mendapatkan batu bara.

Dampak samping penambangan adalah munculnya lubang-lubang bekas galian. Di kala hujan, air bakal menggenangi dan sering kali tumpah langsung ke sungai dan mencemari sumber penghidupan masyarakat.

Kulup menegaskan, ia tidak pernah menentang penambangan. Semua adalah tanah milik negara dan berhak dimanfaatkan. Namun, dari beberapa pelatihan yang ia ikuti di Balai TNBT dan Dinas Kehutanan, penambangan harus memerhatikan kondisi alam di sekitarnya.

Jika memang mengganggu masyarakat dan merusak lingkungan, penambangan tidak diperbolehkan.

"Pemerintah harus melindungi kami, masyarakatnya. Jika ternyata itu tidak dapat dilakukan, kami akan melindungi diri kami sendiri. Caranya, dengan tetap bertahan dan menolak penambangan di kawasan kami," ujar Kulup menegaskan.

Sumber : Kompas, Senin, 11 Desember 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks