Semangat Mansyur Tak Padam
Oleh : Renny Sri Ayu Taslim
Suatu hari dalam Rapat Senat Terbuka Luar Biasa di Universitas Hasanuddin, Makassar, Mansyur Semma dinyatakan lulus dan berhak menyandang gelar doktor. Tidak sedikit yang hadir di ruangan itu menitikkan air mata.
Terharu bukan sekadar karena keberhasilan Mansyur (44) menyelesaikan studi S-3. Bukan pula karena penelitian yang diambil mengenai negara dan korupsi dalam pandangan Mochtar Lubis yang dikaji dalam telaah antropologi politik dan antropologi jurnalistik. Terharunya hadirin lebih kepada semangat Mansyur Semma untuk tetap belajar dan menuntut ilmu. Semangat yang terus menyala, di tengah cobaan berat yang dialaminya, yakni menjadi buta total akibat malapraktik sejak tahun 2001.
"Mungkin pencapaian saya ini tidak ada apa-apanya bagi banyak orang lain, tapi bagi saya dan keluarga serta rekan-rekan yang selama ini memberi semangat, ini adalah sesuatu yang patut disyukuri. Hanya semangat dan keinginan yang kuat yang membuat saya bisa sampai ke titik ini dan tetap melanjutkan pengabdian saya sebagai dosen," kata Mansyur.
Buta total
Kalaulah bukan karena dorongan keluarga dan rekan-rekannya sesama tunanetra di Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Sulawesi Selatan, mungkin Mansyur masih larut dalam duka mendalam, merenungi takdir yang sungguh tak mudah untuk diterima.
Mansyur masih ingat betul tatkala salah seorang dokter superspesialis mata di Jakarta memvonis bahwa kedua matanya sudah buta total dan tak akan melihat lagi. Saat itu Mansyur sempat merasa itulah akhir segala-galanya dalam hidupnya.
"Yang ada di pikiran saya waktu itu, kebutaan membuat saya tak bisa lagi mengabdi sebagai dosen, tak bisa lagi menjalankan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga, dan mungkin tak bisa berbuat apa-apa lagi. Yang ada di pikiran saya waktu itu, satu-satunya tempat mengabdi yang mungkin tidak menghiraukan kebutaan saya hanyalah menjadi penjaga masjid," tutur Mansyur Semma mengingat tahun 2001, tahun yang paling dikenang sepanjang hidupnya.
Kebutaan Mansyur bermula saat dia melakukan pemeriksaan rutin di RS Wahidin Sudirohusodo, Makassar, tahun 2001. Saat itu dokter mengatakan ada gejala batu di ginjal Mansyur dan langsung disuruh menginap. Beberapa hari di rumah sakit, mata Mansyur merah karena sakit mata.
"Saat itu oleh mahasiswa kedokteran yang praktik dan dipandu satu dokter penanggung jawab, mata saya diberi sendothropi, kemudian diperiksa menggunakan kaca pembesar. Tapi setelah itu, bukannya mata saya sembuh, tapi malah tambah perih dan merah. Belakangan ketahuan kalau ternyata obat tetes yang diberikan ke mata saya sudah kedaluwarsa. Seminggu kemudian penglihatan saya gelap. Akhirnya setelah berobat ke sana kemari hingga ke Jakarta, dokter akhirnya memvonis mata saya buta total," katanya.
Kebutaan sempat membuat Masyur patah arang dan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah ketimbang di kampus. Sempat pula terpikir untuk berhenti menjadi dosen dan menyudahi segala aktivitas lainnya, seperti berbicara dalam berbagai seminar, diskusi, menulis artikel di berbagai media, dan lain-lainnya, sebagaimana dilakukannya selama ini.
Rasa putus asanya membuat Mansyur lari mencari tempat di mana dia bisa menemukan teman senasib, yakni di Pertuni. Di organisasi ini Mansyur merasa menemukan tempat di mana dia bisa diterima dan mencurahkan isi hati.
Ingat keluarga
Beruntung, keputusasaannya tak berlangsung lama. Di Pertuni, Mansyur mendapat banyak pelajaran dari rekan-rekannya sesama tunanetra. "Di sana saya tahu kalau mereka tetap berusaha melakukan aktivitas sendiri dan seminimal mungkin meminta bantuan orang lain. Mereka tetap tegar dan tak berkeluh kesah. Bahkan kadang-kadang berbagai kejadian sehari-hari yang dialami diceritakan jadi guyon-guyonan saja. Saya akhirnya mulai menemukan kepercayaan diri," kata Mansyur.
Terlebih mengingat sang istri, Harfah Tjolleng, dan keempat anaknya, yakni Fadillah Iqra, Bosnia, Chechnya, dan Kashmir, yang waktu itu masih kecil-kecil. "Saya jadi seperti mendapat spirit luar biasa dan tersadar bahwa kalau saya tidak kuat menerima cobaan ini, bagaimana nasib keempat anak saya dan istri saya," kata Mansyur.
Mengingat tugasnya sebagai dosen, ditambah dorongan dan semangat dari rekan-rekannya di Jurusan Komunikasi Unhas, Mansyur akhirnya kembali ke kampus. Hari-hari pengabdian sebagai dosen kembali dijalaninya.
Setelah cukup tabah dan ikhlas menerima kebutaannya dan menemukan kepercayaan diri, Mansyur akhirnya mendaftar untuk melanjutkan kuliah S-3. Sebelumnya, Mansyur kuliah S-1 di Unhas (1981-1985), lalu tahun 1989-1990 kuliah Ilmu Perpustakaan di Universitas Indonesia (UI). Tahun 1994-1998, Mansyur mengambil S-2 Komunikasi Massa di UI.
Penelitian yang dilakukan dengan mewawancarai sejumlah keluarga dan teman-teman dekat Mochtar Lubis di Jakarta, dilalui Mansyur ditemani seorang anaknya. Segala suka duka, termasuk dianggap peminta sumbangan dan kerap diabaikan saat akan menemui sejumlah orang penting dan narasumber, tak membuat semangatnya surut. Kesabaran dan semangat yang selalu berkobar akhirnya membuahkan hasil. Mansyur menyelesaikan kuliah cukup cepat, tiga tahun.
"Setidaknya saya bisa menunjukkan kepada diri saya, keluarga atau orang-orang, terutama kepada saudara-saudaraku yang buta bahwa menjadi buta bukanlah akhir segala-segalanya. Hidup tetap harus jalan," katanya.
Sumber : Kompas, Selasa, 12 Desember 2006
Jun 9, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment