Kenangan-kenangan Kris Biantoro
Oleh : Bre Redana
"Dari dulu, istri saya ya tetap ini," seloroh Kris Biantoro (68) tentang istrinya, perempuan berdarah Vietnam, Maria Nguyen Kim Dung. Beberapa waktu lalu, Kris mengundang sejumlah wartawan untuk ngobrol tentang berbagai hal, termasuk yang sangat relevan, bagaimana dia merefleksikan 40 tahun kehidupan perkawinannya.
Relevan, karena menyangkut dunia hiburan, rasanya media massa kita sekarang melulu didominasi intrusi terhadap kehidupan pribadi para artis, terutama menyangkut kisah perceraian. Dalam produksi dan reproduksi citra oleh industri media, hal seperti itu membentuk realitas semu, seolah hanya semata-mata seperti itulah dunia artis. Sementara pada penghibur kawakan Kris Biantoro, kita menemukan sisi kehidupan yang berbeda, yang bahkan barangkali bisa dijadikan bahan pelajaran.
Melihat kehidupan para artis seperti tercermin pada media massa sekarang, Kris—penghibur yang jatuh-bangun bersama negeri ini sejak Republik ini berusia sangat muda—mengungkapkan kepeduliannya.
Beberapa hari menjelang tepat 40 tahun usia perkawinannya (17 Desember 2006), ia mengadakan pertemuan dengan wartawan di sebuah hotel di Jakarta Selatan. "Saya ingin memberi kenang-kenangan supaya hidup anak-anak muda (maksudnya para artis muda) selamat dunia akhirat," kata Kris, yang kini tinggal di rumah yang asri di pinggir danau di kawasan Cibubur. Bahtera hidupnya dilengkapi oleh kehadiran anak-menantu, yaitu Invianto-Henny dan Ceasefiarto-Adelina, serta dua cucu, Iyo dan Rafa.
Pada kesempatan bertemu wartawan itu ia memberikan kenangan-kenangan berupa buku berjudul Manisnya Ditolak (cetak pertama November 2004, cetak kedua Oktober 2006) dan sebuah CD berisi rekaman lagu-lagunya yang cantik. Sampul CD dilengkapi "tips"-nya, yang ia beri tajuk, "10 langkah menuju keluarga artis yang sakinah".
Bertahun-tahun
"Ingatlah selalu janji yang Anda ucapkan pada upacara pernikahan dahulu adalah janji kepada Tuhan, bukan janji kepada petugas," tulis Kris dalam butir pertama. "Sepuluh langkah itu bukan saya bikin dalam satu minggu, tetapi pergulatan bertahun-tahun," ceritanya.
Dalam butir-butir yang lain, dia menulis, "Sebagai artis, kematangan suatu profesi butuh waktu yang lama. Jangan cepat puas. Ingat Anda diutus Tuhan untuk menyebarkan keindahan".
Tentang Kris, pembawa acara/penyanyi Tantowi Yahya di sampul belakang buku Manisnya Ditolak, memberi kesan, "...tanpa mengapresiasi latar belakangnya, siapa pun akan serta-merta mencap Kris Biantoro sebagai orang yang nyinyir dan nggak asyik diajak bicara".
Kesan Tantowi itu kiranya tepat. Kalau dibalik, Anda akan berpendapat berbeda kalau mengenal latar belakang Kris Biantoro.
Merdeka
Kris Biantoro, kelahiran Magelang, Jawa Tengah, 17 Maret 1938, boleh dikata salah satu penanda dari bangkitnya dunia hiburan Indonesia pasca-Orde Lama. Setelah berakhirnya Orde Lama yang mengekang apa-apa yang mereka beri label "Barat", seiring kemakmuran di zaman bonanza minyak, tahun 1970-an Jakarta makin membentuk karakter diri sebagai metropolitan. Dunia hiburan malam masuk ke fase baru, dengan salah satu "ikon"-nya waktu itu Night Club Tropicana.
Bagi mereka yang melewati masa itu, bersamaan dengan mencuatnya nama-nama seperti Emilia Contessa, Broery Pesolima, Grace Simon, ataupun Maya Sopha, dikenal Kris Biantoro yang namanya bahkan sering diasosiasikan dengan Tropicana itu sendiri. Di situlah sebutan master of ceremony atau MC menemukan panggungnya dalam kehidupan malam dunia urban.
"Tropicana adalah awal dari satu kebangkitan," kenang Kris dalam bukunya. Setelah itu, orang mengenal Kris Biantoro bukan hanya di panggung hiburan malam, tetapi juga di film (yang menurut catatan Kris lebih dari 15 film). Dan yang tak kalah populer di kalangan masyarakat luas adalah ketika Kris mulai masuk televisi, dalam hal ini tentu saja TVRI pada masa itu.
Di balik apa yang dicapai oleh Kris tadi, termasuk ketika dia muncul dalam acara yang digemari orang yakni "Dansa yo Dansa" di TVRI, adalah perjuangan dan kehidupan Kris yang jalin-menjalin dengan jatuh-bangun Republik ini.
Ia ikut mengalami kegetiran pada zaman Jepang. Ia tumbuh sebagai remaja yang kepincut pada dunia hiburan karena sering menyusup masuk gedung pertunjukan di dekat rumahnya di Magelang, yakni gedung Alhambra. Selain itu, juga keterpikatan pada cuap-cuap penjual obat di pasar.
Di lain pihak ada kegigihan, semasa SMA, bersekolah di SMA de Britto, Yogyakarta, setiap hari ia mengayuh sepeda ke sekolah dari Magelang yang jaraknya 42 kilometer. Di Yogya, semasa remaja dan sebagai "pengayuh sepeda" di paruh kedua tahun 1950-an itu pula dia mulai menancapkan cita-cita sebagai penyanyi.
Setelah itu, perjalanan masih berliku, bagaimana dia pindah ke Jakarta, pernah ikut operasi Trikora, pindah ke Australia (tempat yang mempertemukannya dengan sang istri), sempat menjadi penjual roti di Australia, dan seterusnya.
Setiap kali ketemu, Kris selalu menyapa dengan salam yang khas: "Merdeka". Dengan memahami seluruh latar belakang Kris Biantoro, barangkali orang akan sependapat dengan Tantowi Yahya, "...semakin sering dan intens saya berkomunikasi dengan beliau, semakin saya mengerti, negara dan bangsa kita dalam beberapa hal memang belum ’merdeka’ seluruhnya".
Sumber : Kompas, Sabtu, 23 Desember 2006
Jun 9, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment