Boubakeur, Wajah Islam Moderat
Oleh : Luki Aulia
Hidup sebagai Muslim di tengah masyarakat Perancis yang sekuler tidaklah mudah, apalagi bagi Muslim yang berasal dari negara mayoritas Muslim. Agar dapat bertahan dan bergerak luwes, Dalil Boubakeur dan kelompok Muslim moderat Perancis merasa perlu membentuk "Muslim ala Perancis", masyarakat Muslim yang berbudaya Perancis.
Kebutuhan akan masyarakat Muslim ala Perancis yang modern, moderat, dan berbudaya Perancis menguat setelah serangkaian aksi terorisme dan kekerasan lain yang mengatasnamakan Islam menimbulkan ketakutan orang terhadap Islam.
Saat ditemui di ruang kerjanya dengan interior yang serba kayu berukir di Kota Paris, Perancis, awal Desember, Kepala Masjid Besar Paris Boubakeur (66) menuturkan, masyarakat Muslim yang diidamkan adalah yang dapat menerima laicite (sekularisme), aturan tahun 1905 yang memisahkan gereja dengan pemerintah. Dengan laicite, kebebasan beragama dijamin setara. Untuk mengantisipasi konflik, pemeluk agama apa pun dilarang memakai simbol agama, seperti kalung salib atau kerudung.
Boubakeur khawatir tokoh-tokoh fundamentalis—yang datang dari luar Perancis—akan mengajarkan interpretasi Islam yang tidak sesuai budaya Perancis.
Muslim ala Perancis berbeda dari Muslim di Timur Tengah atau Asia. Apalagi masalah yang dihadapi Muslim saat ini diyakini bukan karena penerimaan masyarakat Perancis, tetapi lebih karena pandangan ekstremis yang mengaburkan ajaran Islam.
Jika pandangan ekstrem meluas, Muslim juga yang akan menanggung akibatnya karena gerakan ekstrem kanan yang menolak Islam pasti akan bereaksi.
"Karena itu, sekularisme lebih cocok dan menguntungkan bagi Muslim di Perancis. Sekularisme menjadi kekuatan untuk mengurangi rasisme atau diskriminasi," ujarnya.
Sikap Boubakeur ini yang mengantarnya menjadi Presiden Dewan Peribadatan Muslim Perancis (CFCM), organisasi bentukan pemerintah tahun 2003 yang diharapkan dapat mewakili umat Muslim di Perancis. Sebagai pencetus ide CFCM, Menteri Dalam Negeri Nicolas Sarkozy mengajak umat Muslim terlibat dalam proses demokrasi dan menjauhkan diri dari pandangan ekstremis.
Menurut beberapa kalangan yang ditemui Kompas di Marseilles, posisi Boubakeur sebenarnya terjepit di antara kelompok Muslim akar rumput yang mayoritas berseberangan dengan Boubakeur dan pemerintah. Oleh karena itu, Boubakeur pernah mencoba mengundurkan dari CFCM, tetapi urung setelah dibujuk Sarkozy.
Karena dekat dengan pemerintah, kelompok Muslim nonmoderat menilai Boubakeur tidak mewakili suara umat Muslim "yang sebenarnya". Apalagi, karena tidak pernah tinggal di permukiman imigran di pinggiran kota, Boubakeur dianggap tidak mengerti masalah Muslim yang mayoritas ada di kelas menengah dan bawah.
Menurut Boubakeur, justru itulah yang ingin dia perjuangkan. Bersama pemerintah, warga Muslim dapat membantu menangani berbagai persoalan. Kerja sama dibutuhkan karena sulit mempersatukan enam juta warga Muslim yang berasal dari etnis, kelas, status sosial-ekonomi, politik, dan tingkat keimanan yang berbeda.
Dalam pandangan Boubakeur, persoalan intoleransi dan rasisme kini telah digantikan masalah sosial yang terkait dengan masalah ekonomi. Masalah ini tidak hanya mendera kaum imigran Muslim, tetapi juga imigran non-Muslim.
Sulitnya memperoleh pekerjaan menjadi persoalan besar di Perancis saat ini. Sekitar 10 persen warga Muslim hidup miskin dan mayoritas bekerja sebagai buruh bangunan, buruh pabrik, dan penjaga toko. "Kerusuhan terjadi bukan karena agama, tetapi sosial-ekonomi. Pemerintah dianggap tidak perhatian dan bersikap tidak adil terhadap imigran," ujar Boubakeur yang dekat dengan Presiden Jacques Chirac dan Sarkozy itu.
Hilangkan prasangka
Sikap terbuka, liberal, dan moderat yang melekat kuat pada pria kelahiran Skikda, Aljazair, 2 November 1940, itu diperoleh dari ayah Boubakeur, Sheikh Hamza Boubakeur, seorang profesor di Aljazair dan juga pernah menjadi Kepala Masjid Besar Paris. Boubakeur yunior datang ke Paris untuk menghindari perang di Aljazair tahun 1957 saat berusia 16 tahun dan masuk ke SMA Louis-le-Grand.
Ia melanjutkan studi ke Cairo, mendalami sastra, dan kembali ke Paris mengambil studi kedokteran spesialis kardiologi. Kini Boubakeur bertugas di Rumah Sakit Pity-Salpetriere dan membuka praktik pribadi. Boubakeur menikah dengan putri Wali Kota Auvergne.
Ayah Boubakeur yang pernah menjadi pejabat Pemerintah Aljazair termasuk tokoh agama yang dekat dengan Pemerintah Perancis.
Dalam pandangan ayah Boubakeur, belajar dan bekerja keras serta menerima budaya Perancis adalah salah satu cara agar dapat terhindar dari prasangka. Berbekal itu, Boubakeur yakin warga Muslim dapat hidup berdampingan dalam masyarakat sekuler karena Islam mencintai perdamaian. "Islam bukan alat meraih kekuasaan dan bukan identitas politik, tetapi cara menjalani kehidupan," ujarnya.
Sebagai pemimpin CFCM, tugas Boubakeur memberi pelatihan kepada imam atau membangun masjid. Namun, ia juga menangani masalah seperti larangan penggunaan jilbab atau penculikan wartawan Perancis, Florence Aubenas, oleh kelompok bersenjata Irak.
Aubenas diancam dibunuh kecuali jika larangan penggunaan kerudung dicabut. Boubakeur mampu mempersatukan warga Muslim untuk menentang ancaman itu.
Ketika kasus kartun Nabi Muhammad SAW muncul, Boubakeur lebih memilih jalur hukum dengan mengajukan dua harian Perancis ke pengadilan dan tidak ikut protes turun ke jalan. "Ini semua untuk menjaga citra Islam yang antikekerasan," kata Boubakeur.
Sumber : Kompas, Jumat, 22 Desember 2006
Jun 9, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment