Jun 25, 2009

Komariah E Sapardjaja : Prof Komariah Mempertanyakan Suara Nurani

Prof Komariah Mempertanyakan Suara Nurani
Oleh: Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana

Masih dapatkah kita berbicara dengan nurani yang paling dalam, di mana kejujuran merupakan inti yang paling hakiki dari diri? Maukah kita memaknai kemenangan sebagai kemenangan bagi kejujuran?

Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi ruang perenungan Prof Dr Komariah E Sapardjaja, SH (62), hakim ad hoc Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Timor Timur dan Tanjung Priok, setelah proses pengadilan pelanggaran HAM berat berakhir dengan bebasnya terdakwa.

Komariah sadar bahwa sejarah pengadilan HAM sejak pengadilan militer Nueremberg dan Tokyo setelah Perang Dunia II memang dikenang pahit sebagai keadilan pemenang, sekalipun kedua pengadilan itu meletakkan fondasi yang kuat untuk proses pengadilan internasional.

Pengadilan HAM selalu kental dengan nuansa politik, ujar Kepala Pusat Studi Wanita Universitas Padjadjaran Bandung yang pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Unpad tahun 1990-1993 itu.

Apalagi dengan berbagai bentuk impunity terhadap terdakwa, seperti promosi jabatan atau tidak dibebastugaskan. Semua terdakwa masih anggota militer aktif, kecuali Abilio, ujar Komariah tentang Pengadilan HAM Timtim.

Ia memahami sulitnya posisi majelis hakim karena saksi yang diajukan adalah bawahan dan rekan terdakwa yang mungkin meringankan dan menutupi fakta. Namun, ia juga menyesalkan keputusan-keputusan Mahkamah Agung yang tak memberi arah penegakan HAM dengan cara tidak memberikan penjelasan unsur-unsur (element of crime) dari pasal-pasal yang didakwakan.

Kami diminta mengadakan pengadilan HAM bertaraf internasional, tetapi acuan hukum internasional banyak yang belum dapat diimplementasikan, ujarnya.

Penuh tekanan

Sebagai ilmuwan yang menyadari fakta sosial mengenai ketimpangan hubungan perempuan dan laki-laki, Komariah berharap menemukan kasus yang berkaitan dengan kekerasan seksual dan perkosaan dalam situasi konflik bersenjata diajukan ke pengadilan.

Namun, kasus itu muncul di kasus-kasus yang tidak dia tangani. Kata Komariah, majelis hakim menolak kesaksian ibu dari korban yang diperkosa. Karena tindak kejahatan itu memang tidak ada dalam dakwaan. Tetapi, saya kesal betul karena mereka sama sekali tidak peka terhadap kasus- kasus kejahatan seksual, sambungnya.

Ia juga terlibat perdebatan dengan hakim ad hoc lain yang bersikukuh mengatakan harus ada empat saksi dalam kasus perkosaan. Saya bilang, berapa saksi pun enggak ada yang mau ngaku sudah memerkosa korban secara bergiliran.

Komariah harus menelan kekecewaannya karena sistem hukum di Indonesia sulit menembus apa yang terjadi pada kasus Akayesu dalam Pengadilan Internasional untuk Kejahatan Perang di Rwanda (ICTR).

Pada mulanya dakwaan dalam kasus itu tidak menyebut soal perkosaan. Namun, setelah Hakim Pillay berhasil mengeksplorasi informasi terjadinya perkosaan dari saksi peristiwa kejahatan yang lain, dengan upaya keras berbagai pihak, akhirnya jaksa bersedia mengubah dakwaannya. Akayesu harus bertanggung jawab atas tindak kejahatan terhadap kemanusiaan berupa perkosaan yang dilakukan anak buahnya.

Sistem hukum kita tidak mengadopsi cara-cara yang dilakukan Pillay sehingga tak mungkin meminta jaksa mengubah dakwaannya, ujar Komariah. Namun, yang paling ia sesali adalah pandangan bahwa perkosaan dalam situasi perang lebih ringan dibandingkan dengan pembunuhan.

Pengalaman baru

Pengadilan HAM memberi pengalaman baru pada Komariah. Ketenangannya sempat terusik oleh teror lewat layanan pesan singkat (SMS) dan telepon. Tetapi, tidak banyak. Kan mereka tahu pasti menang, katanya.

Ibu tiga anak, istri dari dr Wage Sapardjaja, itu diangkat sebagai hakim ad hoc Pengadilan HAM oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dengan surat keputusan yang berlaku lima tahun. Pengalaman itu seperti melengkapi perjalanan karier Komariah yang pernah melamar menjadi hakim saat baru lulus, tetapi tidak bisa karena usianya terlalu muda.

Sampai sekarang ia masih terus mengajar, juga di luar kota, khususnya untuk memberi pemahaman tentang timpangnya relasi antara perempuan dan laki-laki kepada mereka yang berkecimpung di dunia hukum supaya mampu melihat keadilan dari perspektif perempuan korban. Ia sangat aktif menjelaskan pentingnya undang-undang yang melindungi perempuan.

Komariah suka membaca. Buku-buku, termasuk novel tentang pelanggaran HAM, khususnya terhadap perempuan, adalah bacaan wajibnya. Juga karya para feminis Timur Tengah, seperti Fatima Mernissi dan Nawal El Saadawi.

Saya ini kutu buku, katanya.

Sumber : Kompas, Senin, 5 SEptember 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks