Jun 25, 2009

Slamet Karyo Sentono : Kearifan Bertani Slamet Karyo Sentono

Kearifan Bertani Slamet Karyo Sentono
Oleh : Agnes Rita Sulistyawaty

Keinginan dekat dengan alam dan juga kebutuhan uang menjadi pendorong Slamet Karyo Sentono (66) beralih profesi. Setelah 33 tahun mengabdikan diri sebagai guru di SD Gondang, Sleman, ia memutuskan menjadi petani.

Profesi sebagai guru kelas VI SD Gondang, Sleman, diakhiri Slamet tahun 1995 atau dua tahun sebelum ia pensiun. Sebagai gantinya, Slamet total menjadi petani sejak tahun 1993.

Petani dari Dusun Balong, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, ini menolak masuknya usaha pengerukan pasir dan batu yang ada di bagian lebih rendah dari tanah pertaniannya sejak tahun 2001.

Penambangan pasir menawarkan uang yang tidak sedikit sehingga satu per satu tetangganya menjual tanah produktif mereka. Pilihan yang sulit ditolak sebab sehari-hari warga menjadi buruh tani dengan upah Rp 10.000-Rp 20.000 per hari.

Kerusakan alam dapat dikurangi seandainya warga menyingkirkan sekitar 60-70 sentimeter tanah di permukaan dan mengambil pasir yang ada di bawahnya. Tanah yang disingkirkan tadi dikembalikan ke tempatnya dan ditanami lagi, kata petani kelahiran Balong, 16 September 1939, itu. Slamet lulus Sekolah Guru Bantu (SGB) Piri Yogyakarta tahun 1960 dan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Jetis tahun 1967.

Slamet mencontohkan dua hektar tanah tepat di sebelah lahannya yang kini tidak dapat digunakan apa-apa lagi setelah seluruh tanah subur dikeruk habis bersama pasir dan dijual.

Ekses penambangan pasir itulah yang membuat Slamet menolak menjual pasir di bawah tanah pertaniannya, meskipun ia butuh uang untuk menghidupi keluarganya.

Saya hobi bertani dan akan tetap mempertahankan tanah pertanian ini. Tidak pernah terpikir menjual pasir yang ada di lahan saya meskipun ada iming- iming uang dalam jumlah besar, ujarnya. Padahal, minimal dia bisa memperoleh Rp 200 juta untuk pasir di lahan seluas satu hektar miliknya.

Bertani saja

Slamet memilih makan dari hasil kerjanya sekitar 12 jam tiap hari di tanah pertanian. Toh pertanian ini tetap bisa menafkahi Slamet setiap hari. Besarnya penghasilan dari pertanian ini jugalah yang menjadi alasan Slamet meninggalkan profesi guru yang digaji Rp 400.000 per bulan pada tahun 1990-an.

Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, Slamet bergantung dari produksi lima hektar lahannya. Satu hektar diolah secara intensif dan ditanami buah dan sayur, sedangkan empat hektar lainnya digunakan menanam tanaman keras.

Ketika mulai bertani, Slamet yang beranak enam orang itu harus menyiapkan uang tidak sedikit, sekitar Rp 100 juta per hektar. Apalagi, lahan miliknya bukanlah lahan siap tanam, melainkan hutan dengan tumbuhan liar yang rimbun. Uang itu digunakan menyewa tenaga untuk menyingkirkan tumbuhan liar dan mencangkul lahan, membeli bibit serta pupuk.

Setiap hari, Slamet mulai bekerja di lahan seluas satu hektar sejak pukul 06.00 dan baru kembali setelah seluruh pekerjaan di ladangnya ini selesai. Tak jarang, ia baru sampai di rumah setelah pukul 18.00. Meskipun bisa membelikan sepeda motor untuk anak-anaknya, Slamet memilih berjalan kaki selama sekitar 30 menit ketika menuju atau pulang dari ladangnya.

Kerja keras membuahkan hasil. Ketika menanam lombok, Slamet sempat merasakan penghasilan kotor sampai Rp 18 juta untuk satu kali masa tanam. Selain lombok, ia juga menanam jeruk. Tiap kali panen jeruk, jumlahnya tidak kurang dari satu ton yang dijualnya seharga Rp 3.000 per kilogram.

Untuk menambah penghasilan dan membagikan pengalaman, pada tahun 2005 Slamet menjadikan lahan pertanian yang juga ditanami jeruk, buncis, dan lombok itu sebagai salah satu tujuan agrowisata. Rombongan yang datang bisa bertukar pikiran tentang pertanian sambil memetik hasil pertaniannya. Tiap orang dalam rombongan yang terdiri dari minimal 50 orang itu dikenai biaya sekitar Rp 3.000.

Jika sedang liburan atau akhir pekan, ada saja rombongan yang datang berwisata di sini, ujar petani di dusun yang terletak sekitar 24 kilometer arah utara dari Kota Yogyakarta itu.

Slamet menanami empat hektar tanah lainnya dengan tanaman keras, seperti akasia dan jati, sebagai tabungan jika sewaktu- waktu membutuhkan uang dalam jumlah besar. Dengan tabungan ini pulalah Slamet membiayai sekolah anak-anaknya, antara lain uang kuliah Rp 20 juta.

Tanah pertanian yang telah menghidupi Slamet selama puluhan tahun itu membuat Slamet merasa bertanggung jawab melestarikannya. Sayangnya tidak ada tetangganya yang mengikuti jejaknya merawat alam yang memberi penghidupan kepada manusia.

Sumber : Kompas, Selasa, 6 September 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks