Kiswanti, Bersepeda Melawan Pembodohan
Oleh : Indira Permanasari dan Rien Kuntari
Kemarahan pada dunia pendidikan yang terus membara di hati membuat wanita ini terpacu melawan "pembodohan" dan buta aksara dengan caranya sendiri. Berbekal sepeda onthel (kayuh), ia mencoba menumbuhkan rasa cinta membaca di kalangan masyarakat yang bisa disebut "terbawah".
Kiswanti, begitu wanita ini terlahir. Ia tinggal di daerah Lebak Wangi, Bogor, di sebuah rumah yang tak seberapa besar. Meski seadanya, rumah tipe 36 itu menjadi tempat pertemuan komunitas Lebak Wangi. Tepatnya, Warung Baca Lebak Wangi atau Warabal.
Ruang tamu yang juga berfungsi sebagai warung kelontong, berimpitan dengan meja makan sekaligus tempat belajar serta tempat menjahit, di ruang dalam. Ujung meja berbatas dengan sebuah rak buku yang kemudian disebut sebagai perpustakaan. Kursi dan meja sepertinya tidak lengkap satu set, semua dalam motif yang berbeda. Keramik di lantai juga tidak "kompak" lantaran dipungut dari reruntuhan tempat kerja suaminya, Ngatmin, seorang buruh bangunan.
Perpustakaan yang ia maksud adalah sebuah rak yang tersandar di dinding, penuh dengan beragam buku. Mulai dari buku bacaan anak, resep masakan, tanaman, buku cerita, hingga majalah berbahasa Jawa, Joko Lodang. Maklum, meski sudah berada di Jakarta sejak tahun 1980-an dan pindah ke Bogor sekitar tahun 1994, Kiswanti tetaplah perempuan Jawa yang lahir di Desa Ngidikan, Bantul, Yogyakarta, tanggal 4 Desember 1963.
Selain rak di ruang dalam, buku-buku Kiswanti yang kini berjumlah 245 eksemplar juga tertumpuk di sebuah kardus dan keranjang-keranjang di sudut rumah dan di teras, bahkan di bekas kulkas tua dan karatan di belakang rumah. Kulkas itu sengaja ia beli dari seorang tukang loak, khusus untuk menyimpan koran-koran tua.
Gagal sekolah
Kesadaran Kiswanti pada pentingnya membaca sudah tumbuh sejak usia dini. "Dari kecil saya senang membaca apa saja," ujarnya.
Pengenalannya pada buku diperoleh dari sang ibu, almarhumah Tumirah. Buku adalah satu-satunya hal yang bisa dibeli Tumirah dengan harga murah, tetapi cukup "menenggelamkan" Kiswanti. Ia memang berasal dari keluarga tidak mampu. Ayahnya, Trisno Suwarno, adalah petani gurem di Bantul.
Kiswanti masih mengingat percakapannya dengan salah seorang gurunya. Sang guru melarangnya naik kelas hanya karena ia belum membayar SPP selama lima bulan. "Saya nangis. Saya bertanya, ’Saya, kan, sering ikut lomba-lomba (deklamasi dan membaca), kenapa hanya enggak bayar SPP lima bulan tidak naik kelas?’" katanya dengan nada tinggi dan berapi-api.
Hal serupa terjadi lagi di SLTA. Ia terpaksa berhenti di kelas II karena tak ada biaya. Namun, ia berhasil mengantongi ijazah dari sebuah madrasah tsanawiyah negeri di kampungnya dan ikut Kejar Paket C, tetapi tidak selesai.
Gagal dan geram pada dunia pendidikan membuat Kiswanti mengandalkan buku sebagai gudang ilmu paling berharga. Pengalaman itu pula yang membuatnya mantap menularkan pentingnya membaca di kalangan masyarakat sekitar. Modal mendirikan perpustakaan ia awali dengan menjadi pembantu rumah tangga di keluarga Filipina di Jakarta, sekitar tahun 1989. "Saya tidak minta dibayar dengan uang, tetapi dengan buku. Ya kalau sekarang, mungkin saya dibayar sekitar Rp 40.000," ujarnya.
Untuk selanjutnya, ia menyisihkan ongkos belanja ke pasar sebesar Rp 3.000 dari total keuntungan warung kelontong Rp 7.000 per hari. "Setahun kemudian saya bisa membeli sepeda ini," katanya bangga. Hal itu masih ditambah dengan hasil tulisan ceramah pengajian di kelompoknya yang kemudian ia fotokopi dan ia jual seharga Rp 5.000. Dengan usaha itu, koleksi buku Kiswanti yang semula hanya puluhan kini telah menjadi ratusan.
Sepeda "onthel"
Dengan sepeda onthel itu, Kiswanti setiap hari menempuh sekitar lima kilometer untuk mengenalkan buku kepada masyarakat setempat. Ia tidak ingin melihat orang bernasib seperti dirinya. Menjadi "bodoh" hanya karena tak ada biaya.
Ia membawa sebagian buku koleksinya di dalam keranjang yang kemudian ia boncengkan di sepeda. Usahanya bersepeda selama sekitar tujuh bulan di tahun 2003 itu membuahkan hasil. Tetangga sekitar yang mayoritas buruh pabrik garmen menjadi "melek" akan pentingnya membaca. Ia tidak memungut bayaran karena buku masih menjadi barang mewah.
"Saya bilang ke mereka, kalau anak-anak saya bisa pintar dan masuk sekolah favorit, itu karena saya membiasakan membaca buku," ujar ibu dari Afief Priadi (16), siswa terbaik SMK II Ciluar, Bogor; dan Dwi Septiani (12), siswa kelas V SD Lebak Wangi.
Perlahan tetapi pasti, kini Kiswanti mampu melengkapi perpustakaannya dengan gitar, seruling, komputer, serta mesin tik. Tentu, semuanya pada tingkat yang sangat sederhana.
Jiwa mendidik Kiswanti tak hanya tertuang melalui perpustakaan, tetapi juga pada sikap tegasnya menolak barang dagangan yang tidak bermanfaat di warungnya. Misalnya, makanan ringan berpengawet tinggi atau mainan tiup yang konon mengandung racun. "Saya kira tidak adil kalau kita hanya berbicara keuntungan," ujarnya tegas.
Untuk mengajarkan disiplin, ia hanya menjual permen hanya kepada anak-anak yang sudah mandi, suka minum air putih, atau sudah makan.
Kiswanti sekarang memang tak harus setiap hari mengayuh sepeda onthel-nya. Namun, ia menyatakan takkan pernah lelah mengajak warga berkunjung ke taman bacaannya demi seteguk ilmu.
Sumber : Kompas, Jumat, 21 Juli 2006
Jun 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment