Jun 16, 2009

Ira Sukira : Melanjtukan Riwayat yang Hilang

Melanjutkan Riwayat yang Hilang
Oleh : Yenti Aprianti

Sejak masih di lorong Gang Kelurahan Sukapakir, Kota Bandung, anak-anak yang bertemu dengannya langsung menyapa. Beberapa bahkan membuntutinya sambil memanggil-manggil mencari perhatian. "Kak Ira…, Kak Ira…."

Pasukan" anak-anak lelaki dan perempuan makin banyak saja ketika beberapa gang sudah dilewati. Ira Sukira (26) dengan riang membalas sapaan mereka. "Ikut, yuk…. Kita main ke pos," kata lelaki berambut gondrong itu.

Pos yang dimaksud adalah rumah kecil di gang sempit. Dindingnya lembab. Namun, di rumah itu Ira biasa mengajak anak-anak bermain dan membaca buku yang bisa dipinjam. Selain itu, tersedia juga peralatan menggambar.

Sambil bermain di pos kreativitas yang dibangun lembaga swadaya masyarakat (LSM) Solidaritas Masyarakat Anak (Semak) tempatnya bekerja, Ira menggali masalah yang dihadapi anak. Tidak sedikit anak-anak yang bercerita tentang kekerasan yang mereka alami di jalanan atau di rumah.

Ira memberi keterampilan hidup agar mereka terhindar dari kekerasan. Jika pelakunya orangtua, Ira juga mendatangi orangtua anak-anak tersebut. "Biasanya saya dekati dengan cara membantu orangtua memasak sambil membicarakan anak yang bermasalah itu dan meminta agar orangtuanya mengubah sikap," tutur Ira.

Pada awal bekerja sebagai pendamping anak jalanan, ia datang ke kantung-kantung anak jalanan. Lalu, ia mendekati masyarakat di sekitar dengan mengobrol sambil minum kopi di warung, dan bermain bersama anak-anak di lapangan.

Masyarakat awalnya tidak begitu mudah menerima. "Mereka khawatir anak-anaknya bergaul dengan orang dewasa, takut jadi korban sodomi," ungkapnya.

Dia pernah dijambak dan dibenturkan kepalanya oleh salah satu orangtua anak jalanan karena dikira membuat anaknya menangis. Tak jarang juga ia didatangi orangtua yang sebagian besar tidak bekerja, atau pemabuk, yang kesal karena Ira dianggap menghalang-halangi anaknya mencari uang.

Sudah tiga tahun Ira bekerja mendampingi anak jalanan dengan cara belajar dan bermain. Awalnya ia bekerja lima hari seminggu mendampingi anak jalanan di daerah Sukapakir, Kiaracondong, Sukajadi, dan di rumah tahanan. Dalam sehari ia bisa menghabiskan delapan jam bersama 30-45 anak.

Bekas anak jalanan

Ira tidak pernah bermimpi hidupnya berubah 180 derajat, menjadi "guru" bagi anak jalanan, membuka wawasan anak-anak dan orangtua di perkampungan kumuh mengenai hak anak.

"Dulu, saya kira saya akan jadi kriminal atau preman sebab sejak kecil saya sudah jadi anak jalanan," tutur Ira.

Yang dia ketahui tentang hidupnya, ia lahir dari keluarga jalanan. Neneknya pernah menjadi pengemis, sedangkan kedua orangtuanya bertemu saat sama-sama menjadi anak jalanan. Mereka semua berasal dari Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Ketika adiknya lahir, orangtuanya memutuskan mengadu nasib, bertransmigrasi di Jambi. Semua anaknya diserahkan kepada kakek. Karena tidak mampu, kakeknya kemudian membagikan kakak beradik itu kepada orang lain. Ira sendiri tinggal bersama neneknya. Ira adalah anak kelima dari sembilan bersaudara.

Ketika ibunya meninggal, ayahnya kembali lagi ke Garut, lantas menggelandang lagi di Kota Bandung.

Karena kehidupan neneknya sangat miskin, Ira memutuskan kabur dari rumah neneknya di Garut, mencari ayahnya di Kota Bandung dan terdampar di Terminal Kebon Kelapa, Bandung. Sejak itulah ia menjadi anak jalanan.

Ia tidak menyangka kota tersebut begitu besar sehingga menelan harapannya bertemu ayahnya. Setiap hari ia tidur di terminal dan emper toko serta mengais makanan basi di tong sampah. Ia juga memulung sampah untuk dijual agar bisa membeli makanan yang lebih layak.

"Waktu itu saya masih kecil sekali. Setiap disergap rasa takut, saya menangis," ungkap Ira. Ia kemudian bertemu anak-anak jalanan yang lebih dewasa, mereka mengajarinya mencopet, mencuri, menodong, berkelahi, dan "ngelem" atau mengisap aroma lem kayu yang menyengat hingga mabuk.

Direngkuh masyarakat

Saat usianya sekitar sembilan tahun, Ira bertemu dengan pemuda anggota LSM Merdeka, yang kemudian menjadi LSM Semak. Para pemuda yang sebagian besar mahasiswa itu mengajaknya bermain sambil belajar, dan tinggal di rumah singgah yang sekaligus dijadikan bengkel kreativitas, di Parakan Panjang, Kota Bandung.

Sejak itu ia mulai gemar menggambar dan melukis. Sekarang, Ira telah memamerkan karya-karya lukisannya di berbagai acara dan galeri di Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Harga lukisannya antara Rp 400.000-Rp 1,5 juta.

Ira juga punya semangat belajar tinggi. Ia sering memulung kertas dan alat tulis bekas dari tong sampah, yang lalu dia gunakan untuk belajar menulis, membaca, dan berhitung, serta menyablon.

Ira, yang diperkirakan lahir pada tahun 1980 ini, suatu kali bisa dipertemukan dengan ayah kandungnya berkat bantuan LSM dan komunitas anak jalanan yang dibinanya. Namun, pertemuan tersebut tidak banyak mengubah hubungannya dengan keluarga aslinya.

"Kini saya bahagia. Bisa hidup seperti orang lain, meskipun pernah kehilangan riwayat hidup karena tidak tahu kapan sesungguhnya saya dilahirkan," ujar Ira, yang kini membuka usaha bengkel sablon bersama teman-temannya.

Sumber : Kompas, Kamis, 20 Juli 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks