Ki Timbul dan Peringatan Bencana
Oleh : Boni Dwi Pramudyanto
Bantul harus bersyukur memiliki seniman sekaligus dalang wayang kulit sekelas Ki Timbul Hadiprayitno. Selain kesetiaan dan profesionalismenya terhadap kesenian wayang kulit, Timbul tetap sabar dan tidak menyalahkan siapa pun meski bencana gempa baru saja mendera masyarakat Yogyakarta, termasuk yang menimpa diri dan keluarganya.
Bagi Ki Timbul, gempa menjadi semacam pepenget (peringatan) bagi masyarakat Indonesia, sama seperti lakon wayang Kresna Duta yang digandrunginya.
"Lakon wayang Kresna Duta ditandai dengan perginya Kresna sebagai wakil Pandawa ke negara Astina. Sesampainya di Astina, ternyata Kresna diracuni Prabu Duryudana dari pihak Kurawa, setelah berhasil dibujuk Sengkuni. Akibatnya, Kresna marah dan menjadi raksasa. Kresna mengamuk menimbulkan huru-hara di Astina," papar dalang yang lahir tahun 1934 di Purworejo, Jawa Tengah, ketika ditemui di kediamannya di Desa Patalan, Jetis, Bantul, Yogyakarta, Kamis (22/6/2006).
Timbul mengisahkan, kemarahan Kresna yang merupakan seorang duta atau utusan itu menjadi satu tanda untuk mengingatkan pemerintah yang tidak bisa menata rakyat dan rakyat yang tidak mau taat aturan.
Terlepas dari segala bentuk kajian ilmiah, peristiwa gempa bumi di Yogyakarta yang didahului bencana tsunami Aceh beserta runtutan bencana lainnya, diyakini Timbul sebagai sebuah pertanda dari Tuhan kepada seluruh rakyat Indonesia.
Timbul yang rumahnya ikut rata dengan tanah mengemukakan, pepenget (peringatan) itu bisa bermacam-macam. Ada yang datang melalui tokoh Ratu Adil sebagai sosok perlambang kebijaksanaan dan keadilan, juga ada yang lewat bencana alam.
"Bencana merupakan peringatan agar kembali pada jati diri manusia sebagai makhluk yang wajib memelihara keseimbangan alam," ujar dalang yang memiliki 14 anak dan 27 cucu tersebut.
Bondan Nusantara, budayawan dan seniman asal Yogyakarta, yang ikut mendampingi Kompas dalam silaturahmi dan wawancara siang itu, menambahkan bahwa Timbul merupakan sosok dalang yang paling setia pada pakem pewayangan.
Berbagai bencana
Timbul seakan tidak berhenti mengungkapkan isi hatinya. Merefleksikan berbagai macam bencana dan peristiwa menyedihkan yang menimpa Indonesia selama ini, Timbul yang juga terkenal sebagai dalang ruwatan ini mengemukakan bahwa negara Indonesia tidak perlu diruwat. Pernyataan itu meluncur dari bibir Timbul seraya melukiskan, situasi pemerintah dan masyarakat Indonesia dewasa ini sama-sama sudah berada dalam posisi yang salah kaprah.
"Pemerintahnya tidak bisa nata (mengatur) rakyat. Terus, rakyate ya ra gelem ditata (rakyatnya juga tidak mau diatur). Buktinya, kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu dan demonstrasi yang berujung pada tindakan perusakan. Apa kuwi, ya becik? (Apa itu ya baik)," ujarnya bertanya.
Sebagaimana dalam jagat pewayangan, di mata Timbul, pemerintah seharusnya mengenal konsep Hastabrata, yakni ajaran tentang kepemimpinan. Dalam dunia pewayangan, Hastabrata merupakan wejangan yang diberikan oleh Prabu Rama selaku titisan Dewa Wisnu kepada Wibisono saat dia dinobatkan sebagai raja di Alengka. Hastabrata memuat tentang unsur surya (cahaya), candra (bulan), kartika (bintang), bumi, agni (api), banyu (air), angin, dan angkasa (langit).
"Surya itu perlambang kehidupan atau pemimpin yang bisa menghidupi. Candra, bisa memberikan keteladanan. Kartika, tidak mencla-mencle (tak menepati ucapannya). Bumi berarti tidak membeda-bedakan rakyat karena semua hidup di tempat yang sama. Agni berarti pambrasta (pemberantas) kejahatan. Banyu bisa memberikan kesejukan. Angin, siap sedia menolong rakyat. Sementara angkasa atau langit, artinya bisa mengayomi semua yang hidup di bawahnya," papar Timbul.
Selain masih menyimpan kepedihan karena salah satu cucunya, Dewi Kristianingsih, menjadi salah satu korban gempa bumi, keprihatinan Timbul yang lain terkait, yakni kurang dipikirkannya nasib para seniman dan budayawan Bantul yang terimbas bencana. Kalau aparat pemerintah dan pegawai swasta terkena bencana, mereka sudah ada yang memikirkan. Kalau rakyat terkena bencana, pemerintah mengaku siap membantu.
"Tetapi, kalau seniman dan budayawan, sampai saat ini tidak banyak pihak yang membantu," tutur Timbul yang mulai mendalang sejak tahun 1952.
Padahal, seniman dan budayawan merupakan elemen yang selalu menjaga teguh warisan kekayaan kesenian dan kebudayaan agar tidak hilang tergerus zaman. Berangkat dari kenyataan itu, wajar kiranya kalau dia beranggapan bahwa sudah saatnya Pemerintah Indonesia mulai memerhatikan nasib seniman dan budayawan.
"Memang, hidup seniman itu bisa disebut pengawak kangkung (memiliki tubuh laksana tanaman kangkung). Nek diuja lan diumbar, malah isa urip. Nanging nek diatur, malah ra urip (Kalau dibiarkan bebas berekspresi, justru bisa hidup. Tetapi, kalau dikekang, tidak bisa berkembang)," tutur Timbul yang mengaku belum hilang rasa sedihnya karena meninggalnya istri tercinta, Painah, 100 hari yang lalu.
Menutup pembicaraan siang itu, muncul harapan dari dalang sepuh ini agar semua pihak yang masih punya kepedulian bisa membantu korban gempa di Bantul, mengingat parahnya tatanan kehidupan masyarakat pascagempa. Di tengah-tengah salah kaprahnya situasi pemerintah dan rakyat, Timbul percaya masih ada manusia-manusia yang hidup dengan hati nurani yang bersih.
Sumber : Kompas, Kamis, 29 Juni 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment