Menghidupi Modal Spiritual
Oleh : Maria Hartiningsih
Budaya kepemimpinan yang beroperasi dengan motivasi negatif membuat wajah dunia karut-marut seperti sekarang ini. Motivasi itu bersandar pada ketakutan, kebohongan, keserakahan, dan pemaksaan kehendak pribadi.
Keberhasilan pemimpin sering diukur hanya dari laba material selama masa kepemimpinannya. Keberhasilan usaha juga dinilai hanya dari ekspansi, pendapatan, dan kekuasaan untuk menguasai yang lain," papar Dr Danah Zohar.
Obsesi pada pencapaian material itu sangat berbahaya. Apalagi, kalau demi pencapaian material itu kesejahteraan pegawai atau warga harus dikorbankan. Begitu dinyatakan fisikawan yang juga doktor di bidang filsafat, agama, dan psikologi lulusan Universitas Harvard, AS, yang sekarang menetap di Inggris.
"Orientasinya sesaat. Tujuannya jangka pendek. Kepentingan yang melandasinya sempit dan dangkal," ujarnya menegaskan.
Danah bersama suaminya, Ian Marshall, seorang psikiater dan psikoterapis, adalah penulis buku laris Spiritual Capital: Wealth We Can Live By. Buku yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia itu menyodorkan alternatif cara berbisnis pada zaman yang serba bebas nilai ini.
Pesan penulisnya tegas: bahwa pola pikir kapitalisme yang dirancang pada abad ke-18 itu akan membawa penghuni bumi pada kehancuran total pada abad ini.
"Praktiknya antara lain menyebabkan kerusakan lingkungan, kemiskinan, penyakit, jurang kesenjangan sosial yang menganga, dan berbagai dampak serius lainnya," lanjut Danah.
Dampak itu termasuk keresahan sosial, ketiadaan kesetiaan dan kepercayaan dalam hubungan-hubungan sosial, menguatnya pandangan me-liyan-kan (membedakan) orang lain, dan munculnya kelompok eksklusif berdasarkan agama, etnis, dan golongan.
Karena yang dikejar modal material, maka kehendak untuk menjaga, merawat, berbagi, dan melayani juga tipis. Korupsi merajalela karena orang tak punya rasa bersalah mencuri hak milik banyak orang.
"Mengawasi" diri
Untuk mengubah budaya bisnis agar tidak berorientasi pada laba semata, menurut Danah, para pemimpin seharusnya memadukan tiga modal yang dimiliki. Bentuknya seperti tiga lapis kue perkawinan.
Di lapis teratas adalah modal material. Ia dibentuk oleh kecerdasan rasional (IQ), berfungsi menjawab pertanyaan-pertanyaan rasional seperti, "apa yang saya pikir".
Di tengahnya, modal sosial, diukur dengan tingkat kepercayaan di masyarakat, saling merasakan, empati, serta komitmen terhadap kesehatan masyarakat. Ini dibentuk oleh kecerdasan emosional (EQ), berfungsi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut perasaan, seperti, "apa yang saya rasakan".
Modal spiritual—di dalamnya termasuk modal moral—yang menjadi landasan kedua modal itu adalah kekuatan yang dimiliki dengan mengeksplorasi makna, nilai, dan tujuan terdalam pada diri individu atau organisasi.
Ia dibentuk oleh kecerdasan spiritual (SQ), dibangun dengan mengeksplorasi secara spiritual pertanyaan-pertanyaan seperti "untuk apa saya ada, apa tujuan hidup saya, apa yang sebenarnya ingin saya capai".
Modal spiritual merupakan paradigma baru yang membutuhkan perubahan pemikiran mengenai landasan filosofis dan praktik kepemimpinan di dalam bisnis.
Ia menjadi landasan terpenting yang menentukan keberlanjutan suatu usaha. Sintesa organik dari partisipasi semua orang yang terlibat dibangun dengan modal spiritual itu.
Pengertian modal spiritual tidak mengacu pada agama maupun praktik spiritual tertentu. Menurut Danah, modal spiritual lebih terkait dengan kemampuan pemimpin menanamkan dan membangun budaya perusahaan yang memberdayakan, mengembangkan nilai-nilai kebajikan, tanggung jawab sosial, serta kepedulian setiap individu yang terlibat.
Mengawasi diri sendiri adalah kunci dari 12 prinsip kepemimpinan yang cerdas secara spiritual. Danah menambahkan satu hal penting lainnya, yakni keberagaman. Perbedaan dalam menghidupi nilai-nilai bersama itu akan mengajarkan sesuatu dan membuat kita berkembang.
Kesalingterkaitan
Danah Zohar lebih dulu dikenal sebagai penulis buku laris The Quantum Self dan The Quantum Society. Ia memperluas pemahaman dan prinsip-prinsip fisika kuantum ke dalam pemahaman baru mengenai kesadaran manusia, psikologi, dan organisasi sosial.
Seluruh buku yang ditulisnya menguraikan secara ilmiah pandangannya mengenai integrasi dan pemahaman bahwa manusia merupakan bagian dari sistem kesalingterkaitan di dalam semesta. Dalam perspektif itu, tak ada lagi "aku dan engkau", tetapi "kita".
Buku-buku terbarunya menggunakan perspektif itu untuk mengoreksi praktik bisnis dan korporasi yang selama ini lebih bersifat menghancurkan daripada memelihara dan merawat.
"Kita bertindak seperti kumpulan bola biliar di kotak biliar, berhadapan satu sama lain sehingga terjadi banyak konflik, kompetisi, kecemburuan, dendam, dan kemarahan. Kalau tidak memahami kesalingterkaitan kita, dunia ini tidak akan mencapai kedamaian dan kesejahteraan," papar Danah Zohar.
Danah melewati perjalanan panjang secara spiritual dan intelektual untuk sampai pada keyakinannya sekarang. "Saya mengenal fisika kuantum pada usia 12 tahun," ungkap Danah yang sempat menjadi agnostis sebelum mengikuti ajaran Sang Buddha.
Sumber : Kompas, Jumat, 30 Juni 2006
Jun 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment