Katrina Koni Kii, Ibu Ribuan Pohon
Oleh : Nasru Alam Aziz
PEREMPUAN berusia 63 tahun itu seakan tidak percaya ketika bersalaman dan mendapat ucapan selamat dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Cipanas (Jawa Barat), Senin (6/6/2005). Ia tampak tersenyum sambil mendekap kotak kaca berisi piala Kalpataru, simbol pelestarian lingkungan hidup, yang baru saja ia terima dari Presiden.
Katrina Koni Kii, perempuan itu, berasal dari Dusun Pokapaka, Desa Malimada, Kecamatan Wewewa Utara, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ia menerima penghargaan Kalpataru 2005 untuk kategori Perintis Lingkungan karena dinilai telah berjasa menghijaukan lahan kritis dengan tanaman kayu-kayuan, seperti cendana, lame, ello, mahoni, johar, dan kemiri.
Kabupaten Sumba Barat sejak dulu dikenal sebagai penghasil cendana (Santalum album L) berkualitas prima. Tanaman itu semakin langka karena harus menunggu sekitar 40 tahun sebelum bisa dimanfaatkan dan masyarakat tidak tertarik untuk menanam kembali.
"Saya menanam pohon karena dorongan dari hati dan hanya untuk saya wariskan kepada anak-anak. Karena telah menerima hadiah ini, saya harus bekerja lebih keras lagi," katanya dalam bahasa Indonesia yang sangat terbatas.
Kesempatan bertemu langsung dengan Presiden dan menerima Kalpataru serta uang tunai Rp 6 juta menjadi sesuatu yang sangat istimewa bagi seorang petani miskin seperti Katrina. Karena itu, ia rela meninggalkan kampung halamannya meski berat. "Ini pertama kali saya meninggalkan kampung dan menempuh perjalanan yang begitu jauh sampai ke Jakarta," ujarnya.
Untuk sampai ke ibu kota kecamatan saja perlu dua jam perjalanan mendaki dan menuruni bukit dengan jalan berbatu dan terjal. Kemudian satu jam untuk mencapai Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat.
Dari Waikabubak masih perlu satu jam lagi untuk sampai ke Lapangan Terbang Tambolaka. Katrina pun harus berganti pesawat sampai tiga kali sebelum tiba di Jakarta, yakni di Bima (Nusa Tenggara Barat), Denpasar (Bali), dan Surabaya (Jawa Timur). Sebuah perjalanan yang melelahkan bagi Katrina, yang sehari-hari hanya berkutat di ladang.
DUSUN Pokapaka dengan penduduk sekitar 100 keluarga berada pada lahan berbukit dan berbatu sehingga mereka membangun rumah terpencar-pencar. Satu rumah bisa berjarak satu kilometer dengan yang lain. Lahan yang berbatu sangat menyulitkan untuk mendapatkan sumber air. Jangan bertanya apakah kawat listrik PLN sudah sampai ke dusun tersebut.
Kondisi seperti itu menjadi tantangan bagi Katrina untuk membuktikan bahwa alam selalu bersahabat apabila manusia mau mengelolanya dengan baik.
Ibu beranak lima itu berangkat dari niat menggarap lahan seluas sembilan hektar yang ditinggalkan mendiang suaminya pada tahun 1976. Mulailah ia menanam pohon apa saja di lahan yang terletak sekitar empat kilometer dari rumahnya itu. "Saya menanam cendana supaya ada yang bisa saya wariskan kepada anak dan cucu saya kelak," katanya menjelaskan.
Mula-mula ia mendapat empat bibit pohon cendana dari petugas pertanian lapangan yang datang ke desanya. "Hanya dua pohon yang hidup dan berbiak sampai sekarang. Pohon tidak gampang tumbuh karena tanahnya berbatu-batu," ungkapnya.
Dua pohon cendana induk yang kini berumur hampir 30 tahun itu telah menghasilkan ratusan tunas-tunas baru. Di samping dari cabutan tunas dari tanaman induk, ia juga mengambil dari pohon-pohon lain di sekitarnya. Sejak itu, Katrina dibantu anak- anaknya telah menanam 400 pohon cendana di lahannya sendiri. Kalau digabung dengan pohon-pohon jenis lain, jumlahnya melebihi 500 pohon.
Katrina, yang kini tinggal bersama dua anaknya -tiga lainnya sudah berkeluarga dan tinggal terpisah- menanam pohon secara swadaya tanpa bantuan pemerintah atau pihak mana pun. Ia membudidayakan cendana secara sederhana dan tradisional, juga tanpa bimbingan teknis dari petugas lapangan.
"Saya tidak pernah mendapat penyuluhan bagaimana menanam pohon cendana. Saya hanya melakukannya dari hati sendiri," katanya. Ia mengaku tidak pernah mengikuti penyuluhan yang dilakukan di balai desa. "Saya selalu dipanggil kalau ada penyuluhan, tapi saya lebih baik di rumah atau di kebun saja," lanjutnya.
Sebelum menanam, Katrina terlebih dahulu membuat terasering sehingga dapat menampung tanah yang terbawa aliran air saat hujan. Ia membuat terasering karena kondisi lahan yang berbatu dan lapisan tanah permukaannya (top soil) tipis untuk penanaman bibit. Karena sulitnya mendapatkan air, penanaman dilakukan pada musim hujan.
"Selain memikirkan kelanjutan hidup anak-cucu saya, pohon-pohon itu saya tanam supaya lahan itu tidak kosong saja," katanya.
Seiring makin banyaknya pohon tanaman keras yang ditanam, lahannya semakin subur. Daun-daun yang rontok menjadi humus, sedangkan akar-akarnya menahan erosi dan mencegah hilangnya top soil. Lahan yang subur di sela-sela pepohonan ditanami tanaman ladang, seperti ubi, jewawut, keladi, dan jagung.
Jagung, ubi, atau keladi menjadi makanan pokok bagi penduduk di sana karena beras hanya didapat dari padi ladang atau dari pasar. "Kami makan beras sekali-kali saja," ujar Katrina yang buta huruf dan tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya.
Hasil kerja keras Katrina membuahkan hasil yang luar biasa bagi pengelolaan lahan berkelanjutan. Ia berhasil melestarikan pohon cendana yang mulai langka dan sekaligus menghijaukan bukit-bukit yang dulu gersang. Katrina memperoleh penghasilan tambahan dari tanaman semusim yang tumbuh subur.
APA yang dihasilkan Katrina selama belasan tahun itu menginspirasi masyarakat sekitarnya. Mata mereka terbuka melihat lahan yang dulu gersang menjadi hijau. Masyarakat tidak lagi membuka ladang berpindah-pindah karena lahan sekitar mereka sudah subur dan mudah ditanami apa saja.
Bagi Katrina sendiri, penghargaan Kalpataru merupakan amanah untuk tetap melanjutkan upayanya melestarikan lingkungan. "Tidak akan ada yang berubah. Seperti biasa, saya ke ladang pagi dan sore. Saya akan terus mencari dan menanam bibit cendana," tuturnya sembari berharap anak bungsunya yang berusia 20 tahun dapat meneruskan yang telah ia rintis.
Di tanah kelahirannya, sebuah dusun di atas bukit berbatu yang kini menghijau, Katrina menjadi ibu bagi ribuan pohon. (Nasru Alam Aziz)
Sumber : Kompas, Kamis, 9 Juni 2005
Jun 28, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment