Jun 8, 2009

Oktavianus Natboho : Natboho, Pembelajaran Guru

Natboho, Pembelajaran Guru
Oleh : Kornelis Kewa Ama

Persoalan rendahnya prestasi siswa di sekolah mendorong Oktovianus Natboho, guru Pendidikan Kewarganegaraan Nasional pada SLTPN II Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, mencari terobosan guna meningkatkan prestasi belajar siswa di sekolah.

Metode itu adalah pengetahuan kooperatif (cooperative learning) tipe jigsaw (potongan pembelajaran) yang menekankan pada kreativitas, inovasi, dan variasi belajar siswa.

Pola yang dipakainya itu membawa Natboho sebagai Guru Teladan Tingkat Nasional kategori penerapan sistem pembelajaran efektif di sekolah tahun 2006. Karya tulis yang dia kemukakan berjudul, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran PKN Melalui Model Pembelajaran "Cooperative Learning Tipe Jigsaw".

"Masalah pokok dalam proses belajar saat ini adalah rendahnya prestasi siswa karena sistem penyampaian pelajaran oleh guru bersifat ceramah kemudian diakhiri dengan ujian. Siswa lebih banyak bertindak sebagai pendengar setia, tetapi tidak menyerap sampai tuntas apa yang disajikan guru," ungkap Natboho.

Pria kelahiran 21 Oktober 1971 ini menerapkan metode belajar tersebut sejak tahun 2004, saat diberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Ia sendiri sudah 10 tahun mengabdi sebagai guru di SLTPN II Kupang.

Cara yang dipaparkan Natboho ini lebih menekankan pada sistem pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan variatif bagi siswa. Siswa lebih banyak melakukan kegiatan, sedangkan guru sebagai fasilitator.

Siswa dibagi dalam beberapa kelompok. Nomor urut pertama dari tiap-tiap kelompok membentuk satu kelompok khusus yang disebut tim ahli. Anggota tim ahli ini harus benar-benar memahami soal-soal yang diajukan guru. Mereka membahas soal-soal itu, kemudian setiap anggota tim ahli tadi kembali ke kelompok semula untuk menjelaskan soal yang dibahas oleh tim ahli kepada anggota.

Dalam laporan paripurna, setiap kelompok diwajibkan aktif mengikuti laporan kelompok lain sehingga masing-masing tidak hanya sibuk menyiapkan materi yang akan dibawakan. Mereka yang aktif akan diberikan nilai plus. Ini membuat setiap siswa terlibat aktif mengikuti semua materi dari awal sampai akhir.

"Dengan cara demikian, siswa bisa memahami persoalan secara komprehensif dan menyeluruh sehingga mampu mengerjakan soal yang diajukan saat ulangan," ujar Natboho.

Ia menilai, siswa pada jenjang pendidikan apa saja punya potensi untuk berkreasi, mengembangkan diri dan menjadi siswa yang kritis dan cerdas. Adapun kendala utamanya, selama ini model pembelajaran kurang menekankan aspek pengembangan potensi dan kreativitas siswa.

Menurut dia, guru sebenarnya adalah inovator atau kreator di depan kelas atau di tempat praktik. Aktivitas guru menjadi prasyarat dalam rangka pengembangan potensi siswa. Kreativitas dan inovatif guru akan tertular pula kepada siswa.

"Guru yang tidak mau mengembangkan diri, tidak mencari metode dan melakukan kreasi atau inovasi dalam pembelajaran, berdampak buruk pada anak didik. Siswa jadi pemalas, pembosan, pengekor, tukang nyontek, dan acuh tak acuh," papar suami Adriani Falo dan ayah dari Angela ini.

Kondisi seperti yang dia sebutkan itu tidak hanya merugikan siswa, tetapi juga proses pendidikan sekolah secara keseluruhan. Mutu pendidikan akan tetap rendah. Persoalan pendidikan pun terus menumpuk.

Pembelajaran guru

Menurut lulusan strata dua (S-2) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana Kupang ini, pemerintah selalu melakukan uji coba terhadap suatu kurikulum dengan pertimbangan bahwa kurikulum sebelumnya sudah tidak cocok lagi. Padahal, persoalan utama bukan kurikulum, tetapi metode pembelajaran guru terhadap siswa.

"Sebuah kurikulum bisa diganti setelah 10 tahun. Itu pun melalui evaluasi yang jujur. KBK yang diterapkan tahun 2004 belum direalisasikan secara menyeluruh dan mendalam di setiap jenjang pendidikan. Tetapi sekarang kita sudah beralih ke kurikulum baru yang disebut Tingkat Satuan Pendidikan (TSP). Tindakan ini sangat disesalkan," tutur putra Soe, NTT, ini.

Natboho menyatakan, kurikulum pendidikan sebaiknya tidak boleh diproyekkan. Jangan pula menilai siapa yang menyusun kurikulum itu, tetapi apa yang dihasilkan di dalam kurikulum itu. Di Indonesia, orang sering menilai sesuatu dari latar belakang dan asal-usul, bukan dari hasil karyanya.

Dalam pandangannya, salah satu kunci keberhasilan pendidikan adalah kualitas guru. Guru harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan lanjutan, mengikuti ceramah, seminar, magang, dan studi banding.

Mengenai metode ceramah dan tanya jawab yang diterapkan sebagian besar guru di NTT dinilai baik. Hanya saja, cara seperti itu tidak mampu menciptakan daya kreativitas dan inovatif dari siswa. Siswa cenderung menghafal, yang akhirnya harus menyontek buku pelajaran.

Natboho juga mengungkapkan, mutu pendidikan paling memprihatinkan banyak ditemukan di kecamatan dan desa di NTT. Banyak guru SLTP dan SLTA jarang masuk kelas. Mereka hanya menitipkan catatan untuk disalin siswa selama mata pelajaran berlangsung. Akibatnya, siswa pun tidak paham apa yang dicatat.

Sumber : Kompas, Jumat, 26 Januari 2007

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks