Jun 28, 2009

Joseph Deiss, Perlunya Berpihak pada UKM

Joseph Deiss, Perlunya Berpihak pada UKM
Oleh : ppg/DI

BAGI kebanyakan orang di Indonesia, saat menyinggung soal Swiss (Switzerland), maka bayangan yang muncul adalah negara yang menjadi pusat dari beberapa kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Juga identik dengan sebuah negara kecil dan netral, tempat liburan bersalju. Swiss juga acap kali dituding tempat aman para koruptor menyimpan hasil "jarahan" mereka.

Pria kelahiran 18 Januari 1946 di Fribourg, Swiss, ini tahu secara rinci karena posisinya sebagai Menteri Perekonomian Swiss. Deiss berada di Jakarta awal bulan April lalu, dalam misi membawa belasan pimpinan perusahaan (chief executive officer/CEO) asal Swiss yang menjajaki investasi dan kerja sama bisnis di Indonesia.

"Sekarang ini bukan identitas nasabah saja yang diminta, tetapi juga harus disampaikan asal uang yang disimpan di bank-bank Swiss," ujar Deiss menjawab soal Swiss sebagai tempat "berlabuh" uang korupsi.

"Jika tidak bisa membuktikan, uang akan diblokir, bahkan dikembalikan ke negara asal," ujarnya seraya menyebutkan beberapa contoh yang dikembalikan ke negara asal.

Dan Swiss bukan sekadar bayangan di atas. Deiss juga berkisah, sekalipun Swiss kecil dengan tujuh juta penduduk, dengan 20 persennya orang asing, negara ini cukup punya peran dalam bisnis dunia. "Swiss punya peran besar dalam perdagangan global, yakni posisi lima dalam jasa dan posisi sembilan dalam perdagangan barang," ujarnya lantang meyakinkan.

Dan biar orang Indonesia lebih yakin soal Swiss, Deiss mengatakan bahwa negaranya masuk dalam 20 besar investor asing terbesar di Indonesia. Ada lebih dari 100 perusahaan Swiss di Indonesia dengan nilai investasi di atas 1,5 miliar dollar AS. "Nestle (pangan), Roche dan Novartis (farmasi), serta Clariant (kimia) adalah perusahaan asal Swiss," katanya.

Apa hanya sampai di situ?

DEISS, ayah dari tiga anak dan kakek dari empat cucu ini, memang perlu meyakinkan orang Indonesia soal Swiss, terutama dalam usaha kecil dan menengah (UKM). "Karena, di Swiss, UKM praktis menampung sekitar 60 persen dari angkatan kerja yang ada di sana," ujarnya. Itu sebabnya, UKM di Swiss selalu mendapat perhatian pemerintah.

"Demikian pula yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia bila dikaitkan dengan upaya penyerapan tenaga kerja," ujarnya. Perusahaan besar tidak perlu dibantu karena mereka punya nama, pengetahuan, dan akses ke pasar dan dana. "Kalau UKM harus dibantu," ujarnya.

Suami dari Elizabeth Deiss ini sangat tahu betul posisi lemah UKM karena dia banyak bersinggungan dengan ilmu ekonomi dan kondisi di lapangan bukan hanya karena posisinya sebagai menteri urusan ekonomi.

Deiss sendiri menyandang gelar S3 dalam ilmu ekonomi dan sosial dari Universitas Fribourg sekaligus juga menjadi pengajar di sana. Dia kemudian menyandang profesor ekonomi dan kebijakan ekonomi dari universitas yang sama.

Dalam kehidupan politik, Deiss juga dekat dengan kehidupan UKM. Dia pernah menjadi wali kota di Barbereche, konselor nasional, dan pengawas harga nasional. Kemudian Deiss menjabat Kepala Departemen Urusan Ekonomi Federal, yang tentu saja penekanannya jelas pada urusan UKM di negeri ini.

"Pokoknya UKM ini harus dibantu, terutama untuk ekspor. Mereka ini punya keterbatasan dalam bahasa, pengetahuan, serta dalam memperoleh pasar di luar negeri," ujarnya. Hal yang sama, menurut Deiss, juga dihadapi UKM di Indonesia.

Oleh karena itu, kehadiran Deiss antara lain ingin berbuat yang sama bagi UKM di Indonesia, sebagaimana yang telah dilakukan di Swiss. Bantuan teknis dan insentif bagi UKM tak perlu yang luar biasa, misalnya dalam modifikasi dan penyempurnaan prosedur kredit. Atau soal sistem penjualan dan pemasaran, dukungan teknologi informasi, serta penerapan kebijakan lingkungan.

"Untuk ini kami ikut serta dalam pengadaan dana 8 juta-10 juta dollar AS guna membantu sesama UKM di Indonesia. Pelaksanaan dari bantuan teknis dan insentif ini terserah kepada pihak IFC (International Finance Corporation) dari Bank Dunia," ujarnya menjelaskan.

Deiss yang sudah melihat lokasi bencana tsunami lantas memberikan perlakuan khusus dalam penyediaan bantuan bagi UKM di lokasi bencana. "Bukan apa-apa, bencana itu suatu hal yang sangat luar biasa. Saya tidak menyangka begitu hebat kerusakan yang ada," ujarnya. Dan membantu UKM di daerah bencana merupakan cara jitu untuk memulihkan kondisi perekonomian di sana.

Membantu soal akses ke pendanaan juga tidak keliru karena lebih dari 64 persen usaha kecil dan 82 persen usaha menengah di Indonesia mengaku membutuhkan pembiayaan dari bank. Ini belum soal bagaimana memenuhi prosedur perkreditan dan masalah lainnya. Jangan dulu bicara soal ekspor atau menemukan mitra di luar negeri.

Tetapi, bicara soal Indonesia tak lepas dari bicara soal korupsi dan birokrasi yang kronis. "Ya hal itu juga telah saya bicarakan dengan para pejabat negara Anda. Mereka bilang akan memperbaiki dengan menekan panjang birokrasi dari 150 hari menjadi 30 hari. Saya harap mereka bisa lakukan itu," ujar Deiss, kali ini dengan nada serius.

Deiss hanya berpesan, saat ini banyak negara lainnya yang cukup menarik untuk menjadi target investasi, khususnya dari Swiss. "Jadi ini persoalan dari pemerintah dan negara ini apakah mau memperbaiki diri untuk itu," ujarnya.

Misalnya soal menghadapi persaingan, Deiss berpandangan untuk tidak pernah takut menghadapi persaingan. "Kami menjual mesin-mesin, dan negara lain juga menjual produk yang sama dengan harga lebih murah. Tetapi kami tidak takut karena kualitas kami jauh lebih baik," ujarnya meyakinkan.

Deiss memang tak perlu takut. Bicaranya meyakinkan. Persoalan menjadi sangat lain apabila pria ini menjadi bagian dari warga masyarakat di negeri ini. Sudah tak berkualitas, harganya pun mahal, antara lain karena korup, birokrasi, berbagai pungutan, dan...! (ppg/di)

Sumber : Kompas, Senin, 2 Mei 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks