Arsitektur Hemat Energi Jimmy Priatman
Oleh : Kris R Mada
Saat Jimmy Nurdi Kusuma Priatman mulai kuliah di Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Kristen Surabaya pada tahun 1972, dunia tengah dilanda krisis energi. Meski saat itu Indonesia belum mengalaminya, ia yakin suatu saat bencana alam itu akan datang juga ke negara di khatulistiwa ini.
Keyakinan itu masih ditambah lagi dengan tren perancangan gedung bertingkat di Indonesia yang lebih sering menerapkan konsep arsitektur Barat yang beriklim dingin. Padahal, gedung-gedung itu berada di negara tropis.
"Gedung seperti itu tentu membutuhkan banyak energi untuk mendinginkan ruangan. Rancangan itu juga menyebabkan gedung seolah terpisah dari lingkungan sekitarnya," ujar Ketua Pusat Studi Energi Bangunan dan dosen Pascasarjana Manajemen Konstruksi Fakultas Teknik Arsitektur UK Petra, Surabaya, ini.
Tidak mudah menerapkan arsitektur tropis pada gedung-gedung bertingkat tinggi di Indonesia karena pada tingkat-tingkat di bagian atas gedung, kaca jendela harus tertutup rapat untuk mencegah masuknya tiupan angin yang keras. Dengan begitu, untuk mengatasi suhu udara yang pengap, maka pendingin ruangan atau AC harus dinyalakan.
"Chloro Fluoro Carbon (CFC) pada AC telah menyebabkan lapisan ozon menipis. Artinya, penggunaan bahan zat itu harus dikurangi. Karena itu, saya berusaha tidak menggunakan AC dengan CFC," tutur peraih master bidang arsitektur dari Illinois Institute of Technology College of Architecture di Chicago tahun 1996, dengan tugas akhir ikut merancang gedung 110 lantai bernama di Cityfront Tower di Chicago ini.
Selain itu, untuk melindungi jendela dengan atap pelindung atau kanopi untuk mencegah masuknya sinar matahari ke dalam ruangan juga akan sulit dalam pemeliharaan. Untuk membersihkan tiap atap pelindung di tingkat tinggi dari debu diperlukan biaya mahal, karena harus menggunakan peralatan khusus dan berisiko bagi pekerja yang melakukannya.
Kenyataan itu menantang Jimmy untuk mendalami dan menerapkan arsitektur berkonsep penghematan energi. "Arsitek menentukan seperti apa bangunan akan dibuat. Dengan posisi itu, arsitek berperan penting dalam penghematan energi suatu bangunan," ujar pria kelahiran Surabaya, 9 Juni 1953 ini.
Kunci penghematan energi pada gedung-gedung tinggi adalah melalui perencanaan selubung bangunan dan konfigurasi bentuk bangunan, termasuk luas jendela dan materialnya. Pengaturan dan penggunaan bahan jendela akan menentukan kesejukan dalam ruangan.
Jimmy menganjurkan memilih bahan kaca jenis low e-glass atau emisivity yang dapat mengurangi 15 persen energi yang digunakan. Sedangkan bila menggunakan kaca dari bahan titanium bisa memantulkan 96 persen infra merah dan bisa memantulkan 77 persen sinar ultra ungu. "Biaya pengadaan dan pemasangan kaca seperti itu memang mahal. Namun, itu akan menghemat penggunaan listrik di jangka panjang," tuturnya.
Meski sudah menggunakan bahan yang mengurangi transfer panas ke dalam ruangan, jendela pada gedung-gedung rancangannya sedapat mungkin ditempatkan posisi bebas dari paparan sinar matahari langsung. Sisi yang banyak terkena paparan sinar matahari langsung dirancang untuk ditutup dinding yang lebih dapat menahan rambatan panas ke dalam ruangan.
Pada sisi itu akan diletakkan ruangan tangga, lift, kamar kecil, dan ruang-ruang lain yang tidak membutuhkan penerangan dan AC terus-menerus. Meski demikian, Jimmy tetap memperhitungkan pasokan cahaya ke gedung rancangannya cukup sehingga pencahayaan ruang bisa mengandalkan matahari sampai pukul 11.00.
Penerapan konsep hemat energi itu mengantarnya meraih runners-up kedua ASEAN Energy Award dari ASEAN Center for Energy (ACE) 2006 untuk kategori bangunan baru lewat Grha Wonokoyo, Surabaya.
Penghargaan tersebut diterima Jimmy di Vientianne, Laos, 27 Juli 2006, dan itu merupakan penghargaan yang kedua.
Gedung itu hanya mengonsumsi listrik 88 kWh per meter persegi per tahun. Konsumsi itu lebih rendah dari standar ACE yang menyatakan bahwa gedung hemat energi bila penggunaan listriknya maksimal 200 kWh per meter persegi per tahun.
Rekayasa pasokan panas juga membuat overall thermal transfer value (OTTV) atau jumlah panas yang masuk dalam ruangan pada Grha Wonokoyo hanya setara 22,8 watt per meter persegi. Itu jauh di bawah standar ACE yang menyatakan, gedung hemat bila OTTV-nya maksimal 45 watt per meter persegi.
Selain hemat energi, ACE menyatakan, gedung itu menyatu dengan lingkungan sekitar yang didominasi bangunan tropis era kolonial. Gedung itu dinyatakan menerapkan konsep arsitektur ramah lingkungan dengan baik.
Penghargaan
Sebelumnya, tahun 2002, ia memperoleh penghargaan dari ACE untuk kategori bangunan baru atas karyanya, gedung Graha Pangeran, Surabaya, yang mengonsumsi listrik 140 kWh per meter persegi per tahun. Lewat gedung itu pula ia meraih Anugerah Kalyana Kretya dari Presiden Megawati Soekarnoputri (2002). Anugerah itu diberikan kepada warga negara Indonesia yang dapat memajukan teknologi terapan, karyanya teruji, dan terbukti manfaatnya bagi pembangunan nasional.
Penghargaan itu membuatnya bangga. Namun, sebagai dosen, ia gelisah karena belum bisa menularkan ilmunya kepada para mahasiswanya secara intensif.
"Konsep hemat energi belum menjadi perhatian pokok pada pendidikan arsitek di Indonesia. Bahkan, pendidikan arsitek di sini belum juga menerapkan kurikulum yang sesuai dengan lingkungan sekitar. Kurikulum lebih banyak menyerap dari Barat yang belum tentu cocok untuk Indonesia," ujarnya.
Ia menegaskan, arsitek bukan hanya bertugas merancang gedung agar tampak bagus. Arsitek disebut berhasil bila gedung rancangannya menyatu dengan lingkungan sekitar dan tetap terlihat bagus.
Sumber : Kompas, Rabu, 6 September 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment