Doa Terbaik Jacques Maessen
Oleh: Haryo Damardono
Di beranda belakang rumahnya yang luas, apik, dan dipenuhi benda-benda seni Dayak, Pastor Jacques Maessen SMM (65) berkisah tentang tenun ikat Sintang. Seni tenun khas suku Dayak, Kalimantan Barat, ini dengan gigih diperjuangkannya agar tidak hilang ditelan zaman.
Karena kegigihannya, dia bahkan sempat dituding ingin melihat umatnya terus primitif. Awalnya mereka marah karena menganggap saya menghalangi kemajuan,� ujar Pastor Jacques, yang juga sempat dilecehkan anak-anak muda setempat yang menggemari T-shirt dan jins.
Ketika para ibu di betang atau rumah panjang khas suku Dayak berhasil dibujuknya untuk menekuni tenun ikat, kaum muda suku Dayak Desa dan Dayak Ketungau yang dibinanya tetap saja melecehkannya.
Tak putus asa, Jacques pun memasyarakatkan tenun ikat dengan cara memakai rompi berbahan tenun ikat, walau kerap dia dicemooh. Lambat laun, beberapa orang mulai suka dan pejabat setempat bangga memakainya. Saya sekarang malah tidak punya. Karena bila orang meminjam, pasti tidak mengembalikannya,� ujarnya. Bukan hanya busana, buku-buku budaya Dayak Jacques pun kerap raib.
Ujung dunia
Perjumpaan Jacques Maessen dengan kain tenun ikat Dayak di Kabupaten Sintang seolah diatur Tuhan. Kongregasi Katolik, Serikat Maria Monfortan, menugaskan dia berkarya di Sintang, Kalimantan Barat (sekitar 400 km dari Pontianak), sejak 1968.
Berangkat dari Belanda pada April 1968, setelah mengarungi samudra, dia baru sampai di Pontianak Juli 1968. Dari Pontianak, perjalanan dilanjutkan dengan perahu menyusuri Sungai Kapuas mencapai Sintang selama 88 jam perjalanan.
Oh Tuhanku, ketika itu saya berpikir telah tiba di ujung dunia. Ternyata masih ada kota Putussibau yang butuh waktu puluhan jam lagi bila menyusuri Sungai Kapuas, kenang Jacques. Sejak itu, dia menjelajahi Kalimantan Barat, jatuh cinta, bahkan pindah kewarganegaraan pada tahun 1982.
Suatu hari di tahun 1970-an, Jacques bertamu ke rumah umatnya warga Dayak Desa di Rumah Panjang Ensaid Pendek di kawasan Kelam. Ini bagian dari perjalanan misi yang kerap ditempuhnya berminggu-minggu dengan sampan.
Saya melihat sebuah kain tua, lalu memintanya, tapi tidak diperbolehkan tuan rumah. Mereka menolak, membuang kain itu, malah memberi saya kain yang dibeli di pasar. Orang itu tidak menghargai budaya sendiri, ujar Jacques.
Akhirnya kain itu berhasil direbut. Dan, betapa mengejutkan setelah menemukan kain itu adalah kain tenun yang saat itu di Sintang jarang dibuat lagi. Seketika, Jacques memutuskan untuk merevitalisasi tenun ikat Sintang.
Langkah Jacques merevitalisasi tenun ikat Sintang dimulai dengan membelikan kacamata. Sebab, ide ini hanya menarik bagi ibu-ibu lanjut usia. Padahal karena usia, mereka tidak dapat melihat jelas. Dia memasok bahan baku, memastikan keberhasilan pemasaran, dan lain-lain.
Pastor Jacques pun rajin menghubungi koleganya, sesama penggemar tenun asli Indonesia, untuk melebarkan pemasaran, sekaligus belajar merevitalisasi tenun ikat. Dia juga aktif memberikan informasi melalui e-mail kepada pencinta tekstil di seluruh dunia.
Tahun 2005 ini, misalnya, sekelompok pencinta kain Indonesia yang dipimpin Pia Alisjahbana mencarter pesawat dari Pontianak untuk menyaksikan fashion show anak Sintang dengan busana terbuat dari tenun ikat.
Beberapa ibu Dayak juga dibawa berkeliling ke Jawa dan Serawak. Hasilnya, seorang ibu bernama Lado langsung menenun motif Borobudur, Monas, kereta api, yang disambut Jacques dengan tangan dan senyum lebar.
Atas kegigihannya merevitalisasi tenun ikat Sintang selama 30 tahun pada HUT ke-60 Kemerdekaan RI Pastor Jacques dianugerahi Pemda Sintang penghargaan Pelestarian Kebudayaan. Setelah 60 tahun merdeka, Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia. Namun pada kemerdekaan ke-60, di Sintang-Kalimantan Barat, seorang kelahiran Belanda diakui jasanya, seloroh Pastor Jacques.
Kini Jacques berobsesi membangun museum tenun ikat di Sintang lantaran melihat banyak tenun ikat Sintang maupun wilayah di Kalimantan yang berpindah tangan kepada kolektor negara lain.
Dia berencana membuat buku corak dan motif tenun ikat Sintang sehingga tidak punah. Di kampung mereka tidak punya kain lagi karena langsung dijual. Maka kita coba bikin buku, dengan isi foto tenunan terbagus agar dapat ditiru, kata Jacques. Studi hingga negeri Belanda, meneliti kain-kain tenun ikat Indonesia yang dikoleksi di Belanda telah pula dilakukannya.
Karya saya di tengah masyarakat Dayak adalah doa yang terbaik,� kata Pastor Jacques Maessen SMM.
Sumber : Kompas, Rabu 21 September 2005
Jun 25, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment