Isnawati Angkat Kain Cual
Oleh : Emilius Caesar Alexey
"Bangka Belitung sudah menjadi provinsi, maka sudah selayaknya kita mengangkat kain cual sebagai kain adat yang menjadi identitas masyarakat Bangka," kata Isnawati (50) menirukan ucapan Abdul Hadi (almarhum), suaminya, sebelum mendirikan toko dan kerajinan kain cual, enam tahun yang lalu.
Pada saat Kepulauan Bangka Belitung masih tergabung dalam Provinsi Sumatera Selatan, kepulauan ini nyaris tidak memiliki identitas budaya tersendiri. Semua identitas budaya, termasuk kain adat, selalu berkiblat pada provinsi induknya.
Karena tergabung dalam Sumsel, kain adat yang dipopulerkan di Bangka adalah songket palembang. Kenyataan yang ironis karena Bangka mempunyai kain cual sebagai kain adat yang sudah berkembang sejak abad XVI.
Oleh karena itu, Isnawati dan Abdul Hadi bertekad untuk kembali memperkenalkan kain cual kepada masyarakat ketika Provinsi Bangka Belitung berdiri.
Impian mereka cukup sederhana, yakni agar masyarakat Bangka tahu bahwa kain adat mereka adalah kain cual, bukan songket palembang.
Kain cual pada dasarnya adalah kain tenun seperti songket, dengan warna-warna yang cerah dan menyala, khas kain tradisional Melayu. Motif yang ada juga hampir mirip dengan motif kain songket palembang, tetapi lebih luwes dan memiliki banyak lengkungan serta selalu dihiasi motif flora dan fauna.
Untuk mewujudkan impian itu, keduanya mendirikan toko kain cual yang diberi nama Ishadi Kain Cual. Ishadi dari nama Isnawati dan Abdul Hadi (meninggal Januari 2006). Toko yang didirikan di Jalan A Yani, Nomor 46, Pangkal Pinang, itu masih berdiri sampai sekarang.
Usaha memasyarakatkan kain cual ternyata tidak mudah. Kain cual yang ada saat itu hanya berupa kain-kain tua peninggalan kakek dan leluhur mereka. Tidak ada perajin maupun pemasok kain cual.
Kemudian, mereka mulai melatih sepuluh orang untuk menenun kain dengan motif khas kain cual, seperti bebek-bebekan, naga bertarung, kucing tidur, kembang gajah besar, dan kembang gajah kecil. Mereka mempunyai kain-kain cual dengan motif tersebut dari peninggalan leluhur Abdul Hadi, yang merupakan demang, setingkat lurah, pada zamannya.
Sangat mahal
Dengan sistem tenun manual dan proses pembuatan yang memakan waktu satu sampai tiga bulan, harga kain cual menjadi sangat mahal, antara Rp 1,5 juta dan Rp 7,5 juta per lembar. Harga yang mahal itu sangat tidak mendukung untuk memasyarakatkan kain cual karena hanya dapat dibeli oleh kalangan masyarakat kaya.
Selain tetap memproduksi tenun cual secara manual, Isnawati mencoba melakukan eksperimen produksi kain cual dengan pola produksi yang lain. Pola produksinya merupakan produksi massal dengan pabrik, yaitu melalui proses pembatikan dengan cap, dan proses pembatikan tulis. Tentu, semuanya dengan motif khas kain cual.
Produksi kain cual dengan sistem printing massal dilakukan di Bandung, dengan bantuan adik Isnawati. Adapun proses pembatikan dengan sistem tulis dan cap dilakukan di Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta. Proses yang sama dilakukan oleh para pedagang kain khas Jambi dan Kalimantan.
Bahan yang digunakan untuk kain cual juga bervariasi, mulai dari kain sutra sampai katun. Hasilnya positif. Ketiga pola produksi itu menghasilkan berbagai jenis kain cual dengan harga yang bertingkat, mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 750.000 per set pakaian.
Harga yang terjangkau itu membuat Pemerintah Kota Pangkal Pinang mulai memesan seragam dari kain cual produksi Isnawati pada tahun 2002. Sejak saat itu banyak instansi yang memesan kain cual sebagai seragam mereka.
Keuntungan mengalir dari banyaknya jumlah pemesanan kain cual. Namun, hal itu tidak membuat Isnawati berpuas diri. Ibu empat anak itu mengerti pentingnya melakukan variasi produk agar konsumen tidak cepat menjadi bosan.
Karena itu, Isnawati menciptakan beberapa motif baru yang lebih menarik dan mudah untuk diterima kalangan muda. Selain itu, Isnawati juga menciptakan beberapa model pakaian, dari seragam taman kanak-kanak sampai pakaian kebaya bagi perempuan dewasa. Kreasi yang cukup baik mengingat sebelumnya profesi Isnawati adalah asisten apoteker, bukan desainer.
Dampaknya sangat baik. Pesanan dan pembelian dari masyarakat maupun instansi tidak berhenti mengalir. Pembelian dari para pengunjung Pulau Bangka untuk oleh-oleh juga terus berlangsung.
Masih merisaukan
Seiring berjalannya waktu, kain cual semakin diterima banyak masyarakat Bangka sebagai kain khas mereka. Namun, ada satu kondisi yang masih merisaukan Isnawati, yaitu ketiadaan perajin kain cual dengan sistem pembatikan di Bangka.
"Saya ingin mendatangkan para pelatih pembuatan batik dari Pekalongan atau Yogyakarta untuk melatih putri-putri Bangka. Namun, niat ini masih terkendala dana karena proses pelatihan membutuhkan waktu dua bulan," ungkapnya.
Menurut Isnawati, jika sudah memiliki banyak perajin yang mampu membatik dengan sistem tulis dan cap, jumlah produksi dan variasi kain cual dapat ditingkatkan. Dengan demikian, Bangka akan menjadi salah satu produsen kain khas tradisional, seperti daerah-daerah penghasil batik di Jawa.
Mimpi Isnawati untuk memasyarakatkan kain cual di Bangka perlahan tetapi pasti mulai terwujud. Mayoritas masyarakat Bangka sudah tahu bahwa kain cual merupakan kain tradisional mereka meskipun belum semua memilikinya.
Hal itu membuat Isnawati memiliki mimpi baru. Dia ingin membangun sebuah toko dan restoran dengan sistem one stop service yang memungkinkan siapa saja untuk datang dan menikmati makanan serta membeli pernak-pernik khas Bangka.
"Semua harus saya mulai dengan mimpi agar terpacu mewujudkannya demi kemajuan Bangka," tutur ibu empat anak ini sambil tersenyum.
Sumber : Kompas, Senin, 5 Juni 2006
Jun 17, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment