Jun 17, 2009

Ayu Raka, Kesetiaan Penari Bali

Ayu Raka, Kesetiaan Penari Bali
Oleh : Ayu Sulistyowati

Dipandu empat guru, sekitar 20 anak berusia tujuh tahun hingga 12 tahun tampak berbaris menanti aba-aba. Mereka adalah siswa yang berlatih tari Legong di Pendapa Museum Arma, Jalan Raya Pengosekan, Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, pertengahan April 2006 lalu.

Salah seorang guru, I Gusti Ayu Raka, 67 tahun, berseru memberi isyarat latihan dimulai dengan iringan alunan gamelan dari kaset. Meski usianya sudah tergolong senja, kedua mata di balik kacamata itu masih tampak awas, terus mencermati setiap lenggak-lenggok anak-anak.

"Biasanya mereka lengah dan tidak disiplin menjaga sikap badan, tangan, kaki, bahkan pandangan mata. Saya tidak jemu untuk terus berteriak mengingatkan mereka," ujarnya sambil sesekali menepukkan kedua telapak tangannya mengikuti irama tari.

Ia terus mengawasi lincahnya kerlingan mata para siswa, membetulkan kelurusan tangan, menjaga ketegapan badan, hingga gerakan kaki yang melangkah mengikuti ketukan musik Legong. Sesekali ia berseru mengingatkan anak-anak itu agar si murid menjaga ketegapan badan serta lurusnya lengan. Hampir tidak ada yang luput dari pandangannya ketika para siswa itu lalai.

Tangan diikat

Dalam pandangan Ayu Raka, perempuan yang sudah bercucu sembilan ini, membandingkan latihan menari Bali pada zamannya dan sekarang memang berbeda. Minat anak-anak sekarang rendah untuk belajar menari. Tak jelas apakah mereka memang berminat untuk belajar, atau hanya sekadar senang, ataukah karena dorongan orangtuanya. Sebagian dari mereka mengaku, menari lebih untuk melengkapi keinginan orangtua saja.

"Kesatuan hati dan pikiran mereka, yaitu antara menari dan musik, belum menyatu. Mereka masih belum menghayati sepenuhnya menari," ujar Ayu Raka. Baginya, menari merupakan sarana ibadah dan persembahan kepada Tuhan, Sang Hyang Widhi. Bahkan, menjadi suatu kebanggaan bagi penari Bali jika mereka mendapatkan apa yang disebut taksu (kharisma) dari Sang Mahapencipta.

Oleh karena itu, sebelum berlatih tari, anak-anak didiknya diajak bersembahyang dahulu di pura agar Sang Hyang Widhi memberkati dan merestui selama mereka belajar menari. Intinya, demikian dikatakan Ayu Raka, agar anak-anak itu bisa berkonsentrasi dan tidak bersikap sembarangan selama berlatih tari.

Jika ingin menjadi penari Bali sejati, latihan harus disiplin dan keras. Tubuh harus lentur dan kepala dapat menyentuh tanah saat dilengkungkan ke belakang.

Untuk mendapatkan kelenturan tubuh seperti itu, seorang guru melatih secara keras muridnya dengan cara mengikat tangan, bahu, dan tubuhnya dengan selendang. Latihan seperti itulah yang dilakoni Ayu Raka hampir setiap hari sejak ia berusia tujuh tahun. Hasilnya, serumit apa pun tarian Bali telah ia kuasai.

Semenjak berusia 10 tahun, ia terjun total sebagai penari. Dengan tekad seperti itu, ia merelakan dirinya hanya mengenyam pendidikan formal sampai bangku kelas III sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar/SD).

Kesetiaannya tak tanggung- tanggung. Saat berumur 11 tahun, Ayu Raka sudah menjadi penari Bali paling muda di antara rombongan penari Pulau Dewata ke Inggris. Itulah pengalaman pertamanya ke luar negeri. Tepuk tangan riuh penonton di suatu gedung pertunjukan di Inggris telah menumbuhkan kebanggaan Ayu Raka sebagai penari Bali.

"Perasaan yang tiada terkira. Jika mengingatnya, saya amat terharu dan merasa dihargai sebagai penari di negeri orang," ungkapnya sambil tersenyum.

Ia menerima penghargaan sebagai penari cilik terbaik dan dengan sambutan terbaik. Para penonton kagum oleh tarian Garuda yang dia bawakan. Kisah Ayu Raka, mengutip komentar penonton, saat menari itu kakinya dengan lincah melompat- lompat, benar-benar menimbulkan kesan seperti burung garuda sedang terbang, melayang tak menyentuh tanah.

Sampul buku

Ayu Raka yang sore itu mengenakan baju adat, lalu menunjuk foto hitam putih yang terpampang pada papan pengumuman berkaca di salah satu sudut Museum Arma. Itu adalah salinan foto kenangannya, berdiri bersama kedua kawan menarinya di Inggris dengan mengapit Bung Karno (Presiden Pertama RI) di Istana Negara, Jakarta.

Pengorbanan Ayu Raka demi kelestarian tarian Bali telah menggugah John Coast, penulis asal Inggris. Di dalam buku Dancing Out of Bali karya Joan Coast, memilih Ayu Raka sebagai salah satu potret penari Bali. Sampul buku Joan Coast tersebut menampilkan foto seorang anak perempuan tengah menari tari Garuda. Penari dalam sampul itu tak lain Ayu Raka ketika berusia sekitar 15 tahun.

Ayu Raka terharu saat memperlihatkan buku yang dikirimkan Joan Coast untuknya. Buku itu mencerminkan besarnya penghargaan Joan Coast terhadapnya. Dan karena kecintaannya kepada budaya Bali, ia memandang begitu istimewa penari Bali.

Dalam usia 67 tahun, cara berjalan perempuan Bali ini masih tegap. Ramah dan murah senyum. Deretan giginya masih utuh setiap kali senyum lepas dari bibirnya. Apalagi bila diajak berbincang mengenang masa-masa mudanya.

Tetapi, jangan mencoba mengganggunya ketika ia tengah mendampingi anak-anak berlatih tari. Ia selalu tampak serius. Tetapi, ia juga menjadi guru paling bahagia saat anak didiknya melenggak-lenggok luwes di panggung.

Sekarang ia tidak lagi melawat ke luar negeri. Ia diberi gaji dari pemilik Museum Arma untuk melatih anak-anak menari secara gratis. Bahkan, tidak jarang beberapa wisatawan asing pun mengikuti kursus menari dengannya di museum itu. Ia pun masih sanggup menerima tantangan siapa pun yang mengajaknya pentas menari.

"Meski sudah tua, lenggak- lenggok saya masih bisa dinikmati, lho. Ya, hanya saja busana tarinya yang simpel dan tidak rumit, apalagi berat," ucapnya.

Ayu Raka tinggal bersama suaminya yang juga penabuh gamelan. Keempat anaknya sudah berkeluarga. Hanya seorang anak perempuannya yang mengikuti jejaknya sebagai penari Legong Bali.

Sore pun telah berganti petang. Beberapa turis asing yang sedang menikmati dan memotret latihan anak-anak pun pulang. Ibu Raka pun lelah. Meski rumahnya di Banjar Teruna Peliatan, Ubud, yang berjarak 500 meter dari Museum Arma, ia mendapat fasilitas antar-jemput dari pihak museum.

"Saya hanya berangan-angan, anak-anak ini kelak akan terus menari dan melestarikan seni tari Bali. Saya juga akan tetap setia merawat kesenian ini hingga akhir hayat saya," tutur Ayu Raka sambil melambaikan tangan, pamit pulang.

Sumber : Kompas, Sabtu, 3 Juni 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks