Jun 17, 2009

Irene Fernandez, Pantang Surut

Irene Fernandez, Pantang Surut
Oleh : Maria Hartiningsih

"Keadilan adalah kesadaran, bukan kesadaran personal, tetapi kesadaran seluruh umat manusia. Mereka yang mengakui suara kesadarannya biasanya juga mengakui suara keadilan."

Kata-kata Alexander Solzhenitsyn, novelis Rusia penerima Nobel Sastra tahun 1970, itu dikutip sebagai kalimat penutup sambutan Dr Irene Fernandez (60), pejuang hak-hak asasi manusia asal Malaysia, saat menerima penghargaan The Right Livelihood Award tahun 2005 tanggal 9 Desember tahun lalu.

The Right Livelihood Award adalah penghargaan Nobel alternatif bagi para pejuang HAM. Almarhum Munir menerimanya pada tahun 2000.

Irene Fernandez tidak terpisahkan dari perjuangan buruh migran di Malaysia. Ia menempatkan separuh hidupnya di wilayah yang sangat berisiko secara politis.

Tenaganita yang didirikannya tahun 1991 mengampanyekan hak-hak buruh migran, yang lebih dari tiga juta di antaranya berada di Malaysia. Organisasi itu juga bekerja dengan organisasi sejenis di negara-negara pengirim buruh migran ke Malaysia.

"Tenaganita artinya kekuatan perempuan," ujar Irene yang ditemui di Jakarta, Kamis (18/5) lalu.

Sebagai warga negara, tindakannya membela buruh migran dan mengecam kesewenang-wenangan negara dengan mudah dapat dikategorikan sebagai "subversif".

Tahun 1995, ia menerbitkan laporan tentang pelanggaran HAM buruh migran dilengkapi daftar tentang kekerasan fisik maupun seksual dan gizi buruk. Juga mengungkapkan kondisi kamp-kamp tahanan yang tidak manusiawi, yang menyebabkan banyak buruh migran meninggal.

Meskipun pemerintah akhirnya mengakui 46 buruh migran meninggal di kamp-kamp tahanan karena berbagai masalah medis, Irene tetap dituduh menyebarkan berita fitnah.

Pada tahun 1996, ia berstatus tahanan rumah. Paspornya disita dan ia tak boleh ikut pemilu.

Proses pengadilan untuk kasusnya ditunda sampai tiga tahun, dan dalam kurun waktu itu sebagian dari 300 buruh migran tawanan yang menjadi respondennya sudah dideportasi.

Kasusnya mulai disidangkan tahun 2000 dan berakhir tahun 2003, dengan lebih dari 300 kali persidangan—terpanjang dalam sejarah pengadilan di Malaysia. Irene diputuskan bersalah dan dijatuhi hukuman setahun penjara.

Tidak menyerah

"Selama 10 tahun terakhir, kalau mau ke luar negeri saya harus membuat surat ke pengadilan dan imigrasi untuk mengambil paspor saya. Kalau pulang, paspornya dikembalikan," tuturnya. Sekarang ia tengah mengajukan banding ke pengadilan tinggi.

Namun, semua itu tidak membuatnya surut. Di Jakarta, ia berkomentar pedas mengenai beberapa butir isi memorandum of understanding (MOU) antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang rekrutmen dan penempatan pekerja rumah tangga Indonesia di Malaysia, yang ditandatangani di Bali pada 13 Mei lalu.

"MOU itu merupakan kemenangan Pemerintah Malaysia untuk terus berlaku sewenang-wenang," ujarnya menegaskan.

Pemerintah Indonesia tak hanya menelan kekalahan, tetapi juga terus membiarkan kesewenang-wenangan terjadi terhadap warganya di luar negeri.

Dengan MOU itu kedua pemerintah semakin menegaskan pandangannya bahwa perempuan buruh migran adalah komoditas yang diperdagangkan. "Pemerintah hanya berkepentingan dengan devisa dari ’industri’ ini," ucapnya.

Bagi Irene, sepanjang perempuan tak diakui sebagai manusia dengan pemenuhan hak dan harga dirinya sebagai makhluk sosial yang membutuhkan ruang, waktu, serta upah yang layak, MOU itu hanya melegalisasi perdagangan manusia dan melembagakan pergadaian tenaga perempuan sebagai buruh migran.

"Dari 22 poin yang didefinisikan sebagai tanggung jawab majikan, hanya empat poin yang menyangkut kesejahteraan pekerja rumah tangga," ujar Irene lagi.

Standar kontrak kerja dinilai Irene sebagai "kontrak pergadaian", dan melanggar standar minimum peraturan ketenagakerjaan di Malaysia.

Sejarah

Pengalaman hiduplah yang membuat Irene memahami benar kesakitan, ketakutan, dan diskriminasi terhadap buruh migran.

"Ayah saya adalah buruh migran asal Kerala, India. Ia bekerja di perkebunan karet saat Malaysia dijajah Inggris," ungkapnya.

Ibu tiga anak ini memulai kariernya sebagai guru sekolah lanjutan atas. Ketika mulai aktif di Young Christian Workers Movement tahun 1970 ia memutus kariernya sebagai guru dan sepenuhnya aktif di gerakan pekerja.

Sejak itulah ia mengabdikan hidupnya pada pergerakan dan perjuangan menolak diskriminasi, rasisme, serta ketidakadilan dalam arti luas.

Ia memunculkan wajah perempuan dalam setiap persoalan yang terkait dengan kemiskinan dalam arti luas. "Kekerasan terhadap perempuan tidak berdiri sendiri," tuturnya.

Irene memimpin kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan tahun 1986, disusul menjamurnya kelompok-kelompok perempuan yang bekerja untuk isu tersebut.

UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perlindungan perempuan dari pelecehan seksual serta perubahan dalam hukum dan perundangan di Malaysia terkait dengan masalah perkosaan tak bisa dipisahkan dari seluruh aktivitas itu.

Di tingkat regional Irene ikut mendirikan Asia Pacific Women Law and Development dan menjadi direkturnya selama 10 tahun.

Langkah Irene tidak terhentikan. Tubuhnya yang menua bukan hambatan. Bagi perjuangannya, ia bersemboyan, "Ageless body, tireless mind, and endless love...."

Sumber : Kompas, Senin, 29 Mei 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks