Jun 19, 2009

Idrus Paturusi, Spesialis Kerusuhan

Idrus Paturusi, Spesialis Kerusuhan
Oleh : Subhan SD dan Fahmy Myala*

Setiap ada bencana dan kerusuhan, dia selalu merasa berutang. Dokter bedah ini akan datang ke daerah bencana untuk mengurus korban-korban yang bergelimpangan seakan tak terurus.

Kalau ada bencana, saya merasa harus membayar utang, kata Prof Dr Idrus Paturusi, dokter ahli bedah tulang dari Universitas Hasanuddin, Makassar. Dia tak peduli dengan segala aral yang merintanginya.

”Kalau punya niat baik, pasti ada saja yang akan membantu. Yang penting berangkat dulu, nanti ada kemudahan,” kata mantan Dekan Fakultas Kedokteran Unhas yang pada 8 Februari 2006 dilantik sebagai Rektor Unhas.

Dalam 14 tahun terakhir ini Idrus telah menjelajah ke mana-mana. Memimpin tim medis menembus daerah-daerah terisolasi akibat gempa, tsunami, atau banjir seperti di Flores (1992-1993), Papua (1997), Mangole Maluku (1998), Makassar (1999), Bengkulu (2000), Aceh dan Sumut (2004), bahkan sampai ke luar negeri di Afganistan dan Pakistan (2001), dan Bam di Iran (2004).

Ketika gempa dan tsunami terdahsyat sepanjang abad ini di Aceh dan Nias terjadi 26 Desember 2004, Idrus sudah tiba di lokasi pada 29 Desember sebagai Koordinator Nasional Bantuan Medis Aceh, Sumatera Utara, dan Nias. Dalam waktu tiga bulan, Idrus berhasil memfungsikan kembali RS Zainoel Abidin, Banda Aceh, yang rusak disapu tsunami.

Konflik medan perang

Kepedulian Idrus bukan hanya di tengah bencana alam. Konflik kekerasan pun menyeretnya untuk terjun ke ”medan perang” yang berbahaya. Konflik di Ambon, Poso, dan Maluku Utara yang menimbulkan korban jiwa ribuan orang sepanjang 1999–2000 tak membuat nyalinya ciut. Tak peduli perbedaan politik, warna kulit, golongan, atau agama, Idrus memimpin tim medis ke daerah-daerah itu tatkala api masih membara.

Begitu juga saat api berkobar di Timor Timur pascajajak pendapat tahun 1999 silam. Idrus yang kala itu menjadi Ketua Tim Medis Penanggulangan Pengungsi setiap hari merawat, mengobati, atau mengoperasi para korban. Belum pernah sebelumnya ia ke daerah itu.

”Bagaimana saya mesti masuk ke perbatasan Atambua, padahal saya bawa obat satu truk. Tetapi karena keyakinan itulah, ada saja yang menjemput,” kenang pria kelahiran Makassar, 31 Agustus 1950 silam.

Bagi Idrus, masalah krusial yang harus ditangani setiap ada bencana atau kerusuhan adalah luka. ”Luka adalah kasus akut. Dokter bedah yang harus segera menangani sebelum diambil alih dokter lainnya. Ini yang mendorong saya karena tidak banyak juga yang mau melakukan. Apalagi pada saat konflik, kita tidak pernah tahu kapan akan selesai,” kata penerima Satya Lencana Kebaktian Sosial tahun silam itu.

Pengalaman di kancah konflik semakin membuatnya peduli terhadap misi kemanusiaan. ”Saya merasakan kenikmatan ketika bantuan yang kita berikan benar-benar dirasakan oleh orang yang membutuhkan,” ujar Idrus yang tak pernah melupakan pengalaman saat dikawal pasukan Thaliban masuk Afganistan.

Karena misi seperti itu amat penting, dia pun menyiapkan dana khusus saat memimpin FK (2002-2006). ”Kami memang menyiapkan dana untuk itu, ya rata-rata Rp 200 juta dana yang standby. Jadi diminta atau tidak kami tetap berangkat,” kata Koordinator Brigade Siaga Bencana Regional Indonesia Timur itu.

Baginya, kepedulian terhadap korban itu harus dimiliki oleh banyak dokter muda, tak hanya memikirkan buka praktik yang memikirkan penghasilan. Karena itu, di Unhas tidak hanya ditekankan kemampuan medis, tetapi juga search and resque (SAR). Kini Idrus telah memberi pelatihan penanganan trauma bencana kepada sekitar 20.000 dokter dari berbagai daerah.

Memimpin FK

Idrus lulus FK Unhas tahun 1977 dan dokter spesialis bedah tahun 1981. Subspesialisnya adalah bedah tulang (ortopedi) yang diraihnya di FK UI Jakarta tahun 1984. Suami Andi Rushanti Beso dan ayah tiga anak ini meraih doktor di almamaternya tahun 1999.

Idrus juga pernah mengikuti post graduate orthopaedic training di Singapura (1978) dan pendidikan di Hospital Raymond Point Care, Paris (1986–1987). Berbagai kursus dan perantauan menimba ilmu dilakukannya di berbagi negara seperti Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Banglades, India, Jepang, Kanada, Swiss, dan Amerika Serikat.

Sebagai nakhoda baru Unhas, Idrus diharapkan mampu menyemai perubahan dan pembaruan di Unhas. Terlebih lagi, belakangan ini di Unhas sering tercium hal-hal yang negatif, seperti tawuran mahasiswa dan kasus korupsi.

Tak pelak lagi, dia ingin menggiring mahasiswa untuk aktif dan terus belajar sehingga tak ada waktu lagi untuk berkelahi. Idrus juga bertekad akan membersihkan universitas terbesar di wilayah Indonesia timur itu.

Seperti kepeduliannya menangani korban bencana dan konflik, Idrus diharapkan bisa ”mengobati” pasien baru bernama Unhas. ”Pengalaman di daerah konflik mudah-mudahan jadi modal untuk bisa menyelesaikan di kampus sendiri,” katanya.

*Fahmy Myala, Wartawan, tinggal di Makassar

Sumber : Kompas, Jumat, 10 Februari 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks