Jun 17, 2009

Idham Samawi : Idham, Cabai Merah yang Mengering

Idham, Cabai Merah yang Mengering
Oleh : Siwi Yunita Cahyaningrum dan Putu Fajar Arcana

Beberapa menit setelah gempa berkekuatan 5,9 skala Richter meluluhlantakkan Bantul, Idham Samawi (56) berada di tengah-tengah ribuan korban. Halaman Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati, Bantul, pukul 07.20 penuh dengan mayat serta korban luka tak terurus. Sabtu (27/5/2006) pagi itu Bantul menjadi kota penuh duka.

Idham Samawi, Bupati Bantul, kebingungan berdiri di antara ratusan orang yang panik. Idham, yang terbiasa tampil dengan baju rapi, saat itu memakai kaus oblong putih dan hanya menggenggam telepon seluler yang jaringannya nyaris lumpuh.

Beberapa kali ia mencoba berputar, mungkin mencari paramedis, tetapi gagal. "Waktu itu di RSUD hanya ada tiga dokter dan beberapa paramedis. Di situ untuk pertama kalinya sebagai pemimpin, saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk rakyat," kata Idham dalam percakapan dua pekan setelah peristiwa gempa bumi. Idham mengaku hanya mampu mengikat kaki seorang anak muda yang patah untuk menghentikan kucuran darahnya. Ia tak tahu apakah itu cukup membantu.

Ketika mengisahkan Sabtu pagi yang kelabu di Bantul itu, mata suami Sri Surya Widati ini berkaca-kaca. Sejenak ia menaruh rokoknya dalam asbak. Sejak gempa, Idham memilih membuka kantornya di ruang tamu rumah jabatan di Jalan Juanda, Kota Bantul.

Serombongan tamu lain telah menunggu ketika kami berbincang. Beberapa kali Idham melirik arloji di tangan kirinya. Ia tampak lelah. Saat bersalaman pada awal perjumpaan kami, tangannya terasa dingin. Ketika bersentuhan, tangan itu tidak menggenggam, tetapi sekadar ditempelkan….

Berubah drastis

Gempa tiga pekan lalu membuat Bantul berubah hampir 180 derajat. Kabupaten di Provinsi DIY yang biasanya adem ayem menjadi ramai dengan mobil pembawa sembako, relawan, dan obat-obatan. Setiap orang mengeluh lapar dan dingin karena rumahnya roboh dan rusak.

Jalan, jembatan, kantor instansi, sekolah, bahkan rumah sakit rusak. Korban tewas mencapai sekitar 4.000 orang. Bantul seolah kembali di tapal batas di mana mereka harus memulai sesuatu dari nol.

Seluruh warga yang selamat dari amukan gempa bumi kini sibuk mengurus puing rumah mereka atau berhitung terus untuk tetap bertahan hidup sehingga membuat ratusan hektar sawah telantar. Bahkan, di Desa Srigading, Sanden, Bantul, tak kurang dari 600 hektar tanaman cabai terbengkalai.

Siang itu, cabai yang memerah di persawahan dibiarkan membusuk. Bahkan, kata Idham, setidaknya 1.200 hektar dari sekitar 16.000 hektar lahan padi terancam gagal panen. "Bulan Juli- Agustus akan panen raya. Di sawah itu terhampar uang ratusan miliar rupiah," tutur Idham.

Di bawah Idham Samawi yang menjadi bupati sejak tahun 1999, tumpuan ekonomi daerah itu digantungkan pada pertanian. "Lebih dari 42 persen ekonomi kami didukung pertanian," ujar dia. Itu sebabnya mantan wartawan ini sementara menolak mal dan kompleks perumahan di kota itu.

Tiga hari sebelum gempa, masih ada pengusaha menemuinya meminta izin mendirikan mal. "Saya tolak. Sementara ini rakyat Bantul belum butuh karena daya beli mereka masih rendah," tutur ayah tiga anak ini.

Idham sungguh khawatir, mal akan memakan lahan pertanian dan mematikan pasar tradisional. "Kami punya 29 pasar tradisional. Di situlah masyarakat bisa berinteraksi. Prinsipnya, kami menolak konsumerisme," tutur Idham.

Keberpihakannya kepada pertanian ia buktikan dengan membeli produk pertanian milik penduduk dalam kondisi krisis kini. Dia juga mendatangkan 150 ton bibit bawang merah dari Filipina karena panen bawang petani gagal. "Kami akan bagikan kepada petani, mungkin berupa pinjaman lunak, dikembalikan nanti saat panen," ujar lelaki kelahiran 22 Juni 1950 ini.

Tinggal cerita

Sementara ini seluruh rencana itu tinggal cerita. Rakyat Bantul belum lagi sembuh dari cedera. Karena itulah, Idham mempercepat masa tanggap darurat menjadi sebulan.

"Masa penyelamatan yang terlalu panjang akan memengaruhi kemandirian masyarakat dan produktivitas mereka, ini paling berbahaya," ujarnya.

Menurut Idham, terlenanya masyarakat dalam banjir bantuan menyebabkan mereka lupa mengurus sawah yang nantinya menjadi aset hidup. Perbaikan mental adalah salah satu tantangan terberat bagi bangkitnya Bantul.

Konsekuensi dari bergantinya masa penyelamatan ke rekonstruksi adalah penghentian bantuan langsung. "Kalau tak berhenti jadi peminta-minta, masyarakat tidak akan cepat pulih. Lantas siapa yang akan memproduksi tahu, tempe, dan sebagainya," ujar Idham.

Idham sadar benar berbagai kebijakannya di sektor pertanian sungguh tak populer dalam pembangunan kota di Indonesia. Investasi modal besar, terutama berupa mal, dianggap menjadi simbol kemajuan dan modernisme.

"Kami tak malu dibilang ndeso, yang penting cerdas dan berakhlak, yang terpenting berjiwa Indonesia," kata dia. Dalam menggapai kecerdasan itulah, sejak awal menjabat, Idham telah membiayai anak putus sekolah dari SD hingga SMA.

Sebelum gempa, ia baru saja akan melangsungkan penjelajahan dari rumah ke rumah mencari mereka yang putus sekolah. "Belajar di tenda pun tak masalah, bila perlu di bawah pohon pun jadi…," tekad Idham.

Berbagai bantuan yang mengalir tiada henti pada batas tertentu akan berhenti. "Rakyat Bantul harus bangkit, kembali ke sawah…," tekad Idham.

Sumber : Kompas, Jumat, 16 Juni 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks