KH Abdul Ghofur Membangun Lingkungan
Oleh : Ninuk Mardiana Pambudy
Ketika sekitar 30 tahun lalu mulai memimpin Pondok Pesantren Sunan Drajat yang diamanatkan ayahnya, KH Abdul Ghofur mewarisi pesantren yang kecil. Daerah Lamongan, Jawa Timur, yang kering ikut memengaruhi kesejahteraan masyarakat setempat dan juga pondok.
Keadaan kini jauh berubah. Pondok Pesantren (Ponpes) Sunan Drajat memiliki sekitar 10.000 santri, hampir separuhnya tinggal di pondok. Kawasan pondok yang dulu gersang dan tak produktif kini dapat mengandalkan tanaman mengkudu sebagai sumber penghasilan.
Pondok juga memproduksi pupuk majemuk, pupuk organik, mengembangkan koperasi dan industri bordir, serta jus mengkudu sebagai sumber penghasilan.
Penanaman mengkudu yang dianggap cocok untuk Lamongan karena budidayanya mudah bukan hanya di lahan milik pondok seluas 40 hektar, tetapi juga dilakukan masyarakat luar pondok.
Ini sejalan dengan keinginan Pemerintah Kabupaten Lamongan. Hanya saja, penanaman mengkudu baru berhasil ketika KH Ghofur mengajak masyarakat melakukannya. Bahkan, ketika nelayan tak dapat melaut sebab tingginya harga bahan bakar minyak sejak Oktober 2005, mengkudu menjadi penyelamat nelayan.
Dunia juga perlu
Perubahan secara sosial dan ekonomi pada masyarakat sekitar serta dampaknya yang positif pada lingkungan melalui mengkudu itulah yang mengantar KH Abdul Ghofur mendapat Kalpataru 2006 dalam kategori Pembina Bidang Kebersihan dan Lingkungan. Penghargaan itu diserahkan Presiden Yudhoyono di Istana Merdeka, Senin (12/6).
Sebenarnya, kerja Kiai Ghofur jauh melebihi batas Kabupaten Lamongan. Melalui Forum Komunikasi Pondok Pesantren Agribisnis yang dia rintis dan ketuai sejak tahun 2001 serta beranggotakan pondok pesantren se-Indonesia, Kiai Ghofur mengajak anggotanya melakukan penghijauan seraya mengembangkan agrobisnis sesuai dengan kondisi masing-masing ponpes. Dia juga kerap bekerja sama dengan organisasi lain, antara lain Himpunan Kerukunan Tani Indonesia dan Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama.
"Saya ingin mengajak jangan cuma ngajar ngaji, mikir akhirat, tetapi juga mikir dunia dengan mengembangkan pertanian, industri, perikanan. Ini kan perintah Al Quran dan hadis, akhirat tidak akan sempurna kalau duniawinya tidak ditata," tandas ayah tiga putra dan tiga putri serta suami dari Hj Kamilah ini.
Prinsip itulah yang diterapkan kiai kelahiran Paciran, 12 Februari 1949, di pesantrennya di Banjaranyar, Paciran, Lamongan, kira-kira satu setengah jam perjalanan dari Surabaya. Berkeliling pondok pada tiga tahun lalu, dia sempat memperlihatkan bukit di lahan pondoknya yang merupakan bahan baku fosfat dan dolomit yang dikemas dan dipasarkan sebagai penyubur tanah.
Untuk membuktikan anjurannya, Ponpes Sunan Drajat juga membangun industri pengolahan serta pemasaran mengkudu. Untuk pasar Jepang, pondok membuat ekstrak mengkudu dan sari mengkudu merek Sunan untuk pasar dalam negeri.
"Kandungan vitamin C-nya yang tinggi, bagus untuk tubuh melawan bakteri dan virus. Tetapi, kebutuhan untuk itu hanya 1 ton mengkudu segar per hari, padahal produksi 10 ton," tutur Kiai Ghofur. "Saya sebagai penganjur harus bisa mencari jalan keluar supaya masyarakat ndak kapok."
Penyaluran lain yang dijajaki selama setahun terakhir adalah mengkudu sebagai alternatif bahan baku pakan ternak. "Vitamin C-nya yang tinggi diharapkan bisa meningkatkan daya tahan ayam terhadap flu burung," tambah Kiai Ghofur yang merupakan keturunan ke-15 Sunan Drajat, salah satu dari Wali Songo.
Pendidikan
Perhatian pemimpin ponpes tertua di Indonesia ini adalah pendidikan dunia dan akhirat. "Saya ingin mengajarkan akhlak yang baik dan ilmu yang bisa diterapkan di masyarakat. Ketika alumni bekerja di masyarakat, mereka membawa akhlak yang baik itu ke lingkungannya," tandas Kiai Ghofur yang terbuka terhadap pemikiran dari luar pondok.
Setiap pagi dia menyapa masyarakat di delapan kabupaten hingga ke Jepara dan Probolinggo di Jawa Tengah melalui pengajian yang disiarkan langsung lewat radio pondok, Radio Persada. Sore hari radio yang mengudara pukul 05.00 hingga 01.00 itu kembali menyiarkan pengajian Kiai Ghofur, tetapi dalam bentuk rekaman.
Selain jumlah santri terus membengkak—"Banyak yang mau masuk, tetapi daya tampung pondok terbatas," kata Kiai Ghofur—alumninya sudah ada yang menjadi anggota DPRD, duduk di eksekutif, tersebar di dalam dan luar negeri, serta membangun ponpes di Bali, Lampung, Kalimantan Timur, hingga Malaysia.
Institut Teknologi Surabaya pun tanpa ragu bekerja sama dengan pondok membuat program politeknik dengan lima jurusan yang berhubungan dengan perkapalan untuk mengembangkan industri perikanan di Lamongan.
Sayangnya, Departemen Pendidikan Nasional belum mau membantu pengembangan lebih jauh perguruan tinggi milik ponpes meskipun persyaratan sudah dipenuhi. Sementara bantuan justru diperoleh dari Departemen Perikanan dan Kelautan.
"Para siswa bukan hanya belajar biasa, tetapi juga belajar akhlak, mengetahui ilmu dunia dan belajar mengaji setiap pagi mengikuti saya melalui radio," tutur Kiai Ghofur.
"Memperbaiki akhlak harus dari bawah, melalui pondok pesantren yang mengakar di masyarakat. Tak bisa dari atas (pemerintah/negara)."
Sumber : Kompas, Sabtu, 17 Juni 2006
Jun 17, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment