Jun 25, 2009

Ida Ayu Surayin, Memahami Dunia Orang Buta

Ida Ayu Surayin, Memahami Dunia Orang Buta
Oleh : Agnes Suharsiningsih

Saat pertama melihat anak-anak buta di sekolah luar biasa di Bandung, saya tergugah untuk membantu menumbuhkan rasa percaya diri mereka. Karena itulah saya memilih jalan ini.... Ida Ayu Surayin (74), seorang tokoh pendidikan yang lebih dikenal sebagai pendiri sekolah luar biasa untuk anak-anak buta di Denpasar, Bali, memulai kisahnya.

Ditemui di rumahnya yang asri di Denpasar, pekan lalu, wanita energik ini bercerita, tahun 1952 di Bandung, Jawa Barat, dibuka sekolah guru untuk mengajar anak-anak buta, bisu-tuli, dan lemah ingatan. Mendengar pengumuman itu, Ida Ayu Surayin yang sudah dua tahun hidup menjadi guru di Denpasar tertarik mengikuti pendidikan.

Persyaratan pun segera dia penuhi. Saat berangkat ke Bandung, sebenarnya Ida Ayu Surayin berniat masuk ke jurusan pendidikan bagi anak-anak lemah ingatan. Namun, pengalamannya saat bertemu anak-anak buta yang bermain tanpa bisa melihat mengubah haluannya. Akhirnya, dalam program pendidikan yang memang membolehkan para guru memilih spesialisasinya, Ida Ayu Surayin memilih jurusan pendidikan guru bagi anak-anak buta.

Saya mudah jatuh kasihan kepada orang-orang lemah. Ini terasa sejak saya masih kecil, di mana tiap hari saya melihat ibu saya menolong orang-orang yang tidak mampu. Beliau menanamkan pendidikan luhur tanpa kata-kata, tapi langsung mengerjakannya, kenang Ida Ayu Surayin.

Itulah yang membuat istri pensiunan jaksa ekonomi satu-satunya di Bali, Ida Bagus Manthara (75), ini gigih berjuang dan tidak mengenal lelah untuk memahami dunia orang buta dan keluarganya. Tidak mudah kala itu di Denpasar mengajak anak-anak buta bersekolah. Hambatan itu tidak melulu dari si anak, tetapi juga dari orangtua.

Pada masa itu, cacat dianggap sebagai hal yang memalukan bagi keluarga. Banyak orangtua, baik dari kalangan kaya maupun miskin, memilih menyembunyikan anak mereka ketimbang menyekolahkan. Bahkan, tak jarang, orangtua mengurung si anak di rumah, sementara mereka bekerja di ladang.

Merintis sekolah

Sesudah menyelesaikan pendidikan di Bandung, Ida Ayu Surayin sempat mengajar di sekolah bagi anak cacat di kota kembang itu. Namun, keinginan hatinya untuk mengembangkan pendidikan serupa di Bali tidak terbendung. Setelah menikah, tahun 1955, ia benar-benar kembali ke tanah kelahirannya.

Perjuangan untuk merintis pendirian sekolah bagi anak cacat tidak mudah. Kendalanya, selain belum ada sekolah serupa di Bali, Ida Ayu Surayin juga harus menemukan orang yang peduli terhadap kehidupan anak cacat. Bersama merekalah dia memulai perjuangan itu, antara lain dengan mencari donatur.

Usaha dan doanya membuahkan hasil ketika tanggal 6 September 1957 Yayasan Panti Guna Dria Raba berdiri. Yayasan ini dikhususkan untuk mengasuh anak-anak tunanetra. Selanjutnya tanggal 1 Agustus 1958 sekolah bagi anak tunanetra pun dibuka.

Saat pertama buka, murid hanya tiga orang. Itu pun saya yang mencari hingga ke pelosok desa, ujarnya.

Perempuan yang dikaruniai tujuh anak dan hampir semuanya mengabdikan diri di dunia pendidikan ini mempunyai keyakinan bahwa orang cacat adalah orang normal yang karena keterbatasannya tidak dapat berbuat banyak bagi sesamanya. Namun, saat orang cacat tersebut dapat berbuat sesuatu untuk menolong manusia di sekitarnya, maka sangat berartilah pertolongan dan hidupnya.

Berbekal dari itulah Ida Ayu Surayin berjuang keras membina anak didiknya. Dia ingin menunjukkan bahwa orang cacat yang mendapat pendidikan seperti layaknya orang normal lainnya juga dapat menghasilkan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bahkan sesamanya. Dan memang, empat bulan sekolah berjalan, anak didiknya sudah mampu menyuguhkan seni musik di publik.

Pengalaman tidak terlupakan oleh Ida Ayu Surayin, salah satu anak didiknya kini memiliki sekolah khusus untuk anak buta di Lombok. ”Laki-laki tunanetra yang pernah mengenyam pendidikan di Dria Raba itu kini telah memiliki seorang istri yang bisa melihat dan dikaruniai empat anak. Dan hebatnya dia mampu mendirikan sekolah serupa di kampung halamannya,” ceritanya penuh semangat.

Pensiun tahun 1991 tak membuat cita-citanya untuk berbuat ini-itu surut. Ia masih memiliki cita-cita mendirikan yayasan yang bertujuan memasyarakatkan penyandang cacat dengan kebebasannya yang produktif.

Kentara sekali memang, semangat juang tidak pernah luntur dari dalam dirinya. Pemerhati pendidikan bagi anak cacat itu tanggal 15 Agustus lalu mendapat penghargaan Widya Kusuma. Penghargaan tertinggi bagi tokoh pendidikan itu diberikan Gubernur Bali dalam suatu upacara khusus. Bersama Ida Ayu Surayin, beberapa tokoh seni budaya dan pariwisata juga mendapat penghargaan.

Sumber : Kompas, Rabu, 24 Agustus 2005

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks