Jun 12, 2009

Hery Suherseno : Hery dan Seni Rupa Bordir

Hery dan Seni Rupa Bordir
Oleh : Lis Dhaniati

Aplikasi bordir pada baju dan pernik-pernik produk fashion merupakan hal yang lumrah dijumpai. Namun, Hery Suhersono (43), perupa asal Desa Weragati, Kecamatan Palasah, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, menggunakan benang bordir sebagai "pengganti" cat untuk menghasilkan karya lukis.

Pada dinding ruang tamu rumahnya, Hery memajang berbagai lukisan bordir yang telah dibingkai. Tidak terbatas pada lukisan dekoratif, terdapat juga lukisan bercorak naturalis dan surealis.

Sepintas, lukisan itu seperti terbuat dari cat karena ada gradasi warna yang lembut pada lukisan tersebut. Saat pameran di Pendapa Kabupaten Cirebon beberapa waktu lalu, pengunjung menyangka lukisan-lukisan itu terbuat dari cat.

Namun, jika diamati dengan saksama akan tampak tekstur lukisan yang tak rata. Tekstur yang tak rata akan lebih terasa saat permukaan lukisan kita raba. Selain itu, jika dilihat dengan lebih teliti, akan tampak ada helai benang-benang yang menjadi bahan lukisan.

"Harus diakui, benang memang tidak seluwes cat sebab benang tidak dapat dicampur- campur untuk menghasilkan warna-warna baru. Gradasi pun tidak bisa selembut lukisan cat. Namun, justru di situlah letak seni lukis bordir," papar Hery.

Kekurangluwesan seni lukis bordir juga terletak pada tahapan pembuatan yang harus dilalui. Pada seni lukis cat, banyak seniman langsung menyapukan cat tanpa membuat sketsa lebih dulu. Tidak demikian dengan seni lukis bordir.

Sebelum "menorehkan" benang-benang berwarna, Hery harus menggambar detail lukisan pada kertas. Selanjutnya, pola pada kertas dipindahkan ke kain menggunakan karbon. "Kesulitannya, tak ada karbon yang berukuran besar sehingga pemindahan harus dilakukan dengan hati-hati agar pola tidak bergeser," ungkap pria kelahiran Indramayu, 5 Mei 1963, ini.

Bermacam teknik

Mengembangkan seni lukis bordir sejak tahun 2003, Hery memfokuskan diri pada pembuatan desain lukisan. Proses bordir diserahkan kepada pekerjanya yang berjumlah lima orang. Dalam membordir, mereka sudah menggunakan mesin.

"Pekerja saya selalu berganti-ganti. Kalau sudah bisa mandiri, saya lepas," tutur Herry yang pernah menjadi desainer merek busana muslim.

Ia mengungkapkan, banyak pekerjanya yang sama sekali tak memiliki latar belakang keterampilan membordir. Namun, berkat ketekunan, mereka bisa menghasilkan karya bordir, baik pada pakaian maupun lukisan.

"Mereka juga telah memahami keinginan saya sehingga tak ada kesulitan dalam mengubah pola yang hitam putih menjadi lukisan berwarna," ujarnya menambahkan.

Selain menggunakan benang warna tunggal, Hery juga memakai benang berwarna pelangi. Dalam sebuah lukisan, bisa terdapat bermacam-macam teknik bordir, seperti tutupan, seret, uter, susun, dan gacruk. Teknik yang dipakai bergantung pada bentuk yang dilukis. Kain yang dipakai sebagai media atau "kanvas" bisa ditutup seluruhnya dengan benang atau hanya sebagian.

Menurut Hery, seni lukis bordir masih jarang ditemukan karena sejauh ini belum pernah melihat karya serupa. Di satu sisi, ini menguntungkan karena masih memiliki peluang untuk dikembangkan lebih luas. Tetapi, bisa merugikan karena masyarakat masih menghargai lukisan bordirnya sebatas harga material bahan belaka.

"Orang belum bisa melihat dari sudut seninya," kata Hery seraya menambahkan, dia harus berjuang agar lukisan bordir diakui sebagai salah satu teknik lukis tersendiri.

Oleh karena itu, Hery tak menetapkan harga jual. Pernah, sebuah lukisannya ditawar jutaan rupiah. Namun, perasaannya mengatakan, orang tersebut hanya membeli untuk kemudian meniru motifnya untuk dijadikan sebagai produk massal.

"Akhirnya enggak saya berikan. Namun, kadang ratusan ribu pun saya lepas ketika seorang pembeli, saya rasa benar-benar menginginkan lukisan bordir ini sebagai karya seni," ujarnya.

Terlahir di lingkungan pembatik Indramayu, darah seni Hery tak luntur meski ia harus menempuh pendidikan di Akademi Keuangan dan Perbankan. Ia sempat menekuni beberapa profesi di Jakarta dan Malaysia sebelum memutuskan tinggal di Majalengka bersama istrinya, Uti Sayuti (37).

Herry mengakui, melukis bordir memang belum bisa dijadikan gantungan ekonomi rumah tangga. Namun, ayah dari Elit Jaras Huda Alhaq (7) ini tak khawatir. Toh, ia tak sepi dari panggilan menjadi pembicara pada beberapa pertemuan bisnis.

Hery juga mendapat royalti dari buku-buku desain karyanya yang telah diterbitkan. Buku-bukunya yang telah terbit itu, antara lain Katalog 1002 Desain Seni Bordir dan Motif, Aneka Model Busana Muslim dengan Sentuhan Seni Bordir, dan Desain Motif. "Saya mempelajari desain secara otodidak," ujarnya.

Terkait dengan desain, Hery mengaku kecewa terhadap hukum di Indonesia yang belum bisa menjamin karya asli seseorang. Akibatnya, sebuah karya desain dengan mudah bisa ditiru pihak lain secara massal untuk tujuan komersial.

"Jika untuk pemakaian pribadi atau produksi terbatas sih bisa dimaklumi. Tetapi, aturan hukum kita belum bisa tegak," ujar Hery.

Sumber : Kompas, Jumat, 3 November 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks