Jun 12, 2009

Guy Ryder, Globalisasi yang Manusiawi

Guy Ryder, Globalisasi yang Manusiawi
Oleh : Simon Saragih

Pekerja yang memperjuangkan haknya bisa mengalami bencana, mulai dari pengucilan, pemecatan, bahkan hingga kematian. Untuk kasus ekstrem, yakni kematian, Indonesia juga mengalaminya, yakni Marsinah. Hal serupa terjadi di banyak negara: derita pekerja yang lelah secara fisik, tetapi berupah rendah, tersiksa, dan tak punya suara.

Dampaknya adalah kegagalan dalam penciptaan kohesi sosial. Hal itu menjadi salah satu sumber protes, kerusuhan, dan demonstrasi, yang setiap hari terjadi di berbagai negara.

Globalisasi kini menjadi faktor penambah, menjadi motor pemindahan disrupsi sosial dari tingkat lokal ke tingkat global. Mengapa?

Globalisasi antara lain ditandai dengan pemindahan proses produksi yang sebelumnya bersifat lokal menjadi ada di mana-mana, konstan, 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Dengan globalisasi, ada peningkatan nilai ekonomi, tetapi juga terjadi kesenjangan pendapatan global, yang makin parah dari tahun ke tahun.

Muncul protes terhadap globalisasi, pada waktu lalu, saat ini, dan mungkin masih akan terus terjadi ke depan. Inilah juga yang menjadi kekhawatiran serikat pekerja dunia—kini bernama International Trade Union Confederation (ITUC/Konfederasi Serikat Pekerja Internasional).

Ketua ITUC Guy Ryder berjanji akan memperkuat aliansi dengan lembaga swadaya masyarakat dan akan terus menentang globalisasi yang tak manusiawi. Bukan globalisasi yang ditolak, tetapi globalisasi yang tidak manusiawi.

Model Finlandia

Dalam 20 tahun terakhir ini, kata Ryder, pengalaman empiris menunjukkan, pemilik modal yang berbisnis dalam bentuk perusahaan multinasional tak mau menyisihkan keuntungan kepada pekerja. Bahkan, dalam kasus terjadi penurunan keuntungan, korban pertama adalah gaji pekerja.

Lebih parah lagi, banyak negara yang lebih mendambakan perusahaan multinasional ketimbang menghargai serikat pekerja di negara sendiri. ITUC ingin mengubah hal itu. Mereka akan aktif melakukan itu lewat berbagai protes pada setiap forum global. Namun kini, ITUC juga memilih jalur negosiasi. ITUC akan berkolaborasi dengan Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Tujuannya, memberikan penghargaan kepada pekerja, yang artinya dalam kehidupan riil adalah perbaikan nasib dan kesejahteraan buruh. Apakah itu sebuah utopia? Ryder mengatakan, itu bukanlah utopia.

Pola masa lalu tak akan menyelesaikan masalah di masa datang. "Sebuah perubahan harus dilakukan," kata Ryder yang lahir di Liverpool, Inggris, 3 Januari 1956.

Ryder melihat model Finlandia. Ia mengagumi gerakan serikat pekerja Filandia, SASK. Model Finlandia bisa menjadi panutan soal penciptaan sebuah sistem dengan posisi tawar-menawar kolektif, kuat, yang bisa diterapkan dalam proses globalisasi. Model Finlandia dilengkapi dengan perlindungan sosial tingkat tinggi yang dicanangkan Pemerintah Finlandia. Hal itu diperkuat lagi dengan pengeluaran pemerintah untuk pengembangan infrastruktur sosial.

Ryder mengemukakan, kohesi sosial di Finlandia didapat lewat dialog terpusat, perlindungan sosial, dan pengeluaran pemerintah. Peran tripartit berjalan, terdiri dari pekerja, perusahaan, dan pemerintah.

Realisasinya adalah gaji yang tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan fisik minimum. Perusahaan juga menjalankan bisnis dengan suasana tenang. Pekerja yang makmur juga akan meningkatkan daya beli dan kemudian merupakan sumber pertumbuhan ekonomi.

Itulah rencana ITUC di bawah Ryder, yang punya hobi sederhana, yakni jogging, jalan kaki, dan membawa anjing kesayangannya ke mana-mana di saat senggang. Ryder adalah orator ulung, yang sibuk dengan jadwal pertemuan global di berbagai negara.

"Sepanjang hidup saya habis untuk menghadapi isu-isu pekerja di berbagai negara," ujar Ryder, lulusan University of Cambridge, Inggris, dengan gelar master of arts di bidang sosial politik.

Kapabilitas Ryder terasah dari kariernya, dimulai pada periode 1981-1985 sebagai Asisten di Departemen Internasional Kongres Serikat Pekerja Inggris. Karier awalnya itu membawanya menjadi Sekretaris Seksi Perdagangan Industri di International Federation of Commercial, Clerical, Professional and Technical Employees, Geneva, periode 1985-1988.

Kariernya, kemudian meloncat sebagai Asisten Direktur Konfederasi Internasional Serikat Pekerja Bebas periode (ICFTU) 1988-1998, Biro Geneva, Swiss. Ryder kemudian bekerja di ILO sebagai Direktur Biro Aktivitas Pekerja periode 1998-1999. Periode 1999-2001, ia menjabat sebagai Direktur Kantor Dirjen ILO dan sejak 1 Februari 2002 kembali ke ICFTU dengan posisi sebagai sekretaris jenderal.

Ryder melihat serikat pekerja global mempunyai masalah tersendiri dan memiliki organisasi masing-masing. Selain ICFTU, juga ada organisasi serikat pekerja global bernama World Confederation of Labour (WCL). Dalam lima tahun terakhir, Ryder bersama koleganya memikirkan penggabungan ICFTU dengan WCL. Hasilnya, terbentuklah ITUC, Rabu (1/11) lalu, dengan beranggotakan 306 serikat pekerja di 154 negara dengan anggota 168 juta pekerja.

Namun, ITUC belum bisa bersatu dengan Federasi Dunia Serikat Pekerja (WFTU), beranggotakan 145 serikat pekerja dengan 42 juta anggota yang eksis di negara komunis. "Kami tak bisa berunding dengan WFTU," tutur Ryder, dengan alasan WFTU bukanlah sebuah organisasi dengan dasar independensi.

Sumber : Kompas, Sabtu, 4 November 2006

0 comments:

 
Powered By Blogger
Powered By Blogger
Powered By Blogger

© Newspaper Template Copyright by bukan tokoh indonesia | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks