Herawati Diah Jadi Sumber Inspirasi
Oleh : Ninuk Mardiana Pambudy
Tidak ada rahmat lebih besar bagi seseorang kecuali merayakan ulang tahun ke-90 dengan dikelilingi anak, cucu, cicit, teman, dan sahabat yang mencintai dengan tulus.
Selasa 3 April lalu Herawati Diah merayakan ulang tahun ke-90 dalam syukuran di Restoran Kembang Goela, Jakarta.
Acara itu dihadiri anak, menantu, cucu, cicit, teman dari organisasi nonpemerintah yang dia dirikan, seperti Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP), Yayasan Baitul Ihsan (YBI), Lingkar Budaya Indonesia, teman bermain bridge yang disebut kelompok Bridge Senin-Rabu, teman arisan, dan kelompok pengajian.
Sabtu (7/4) lusa ada satu syukuran lagi karena Herawati memang tidak pernah kekurangan sahabat dan teman.
Di antara yang hadir ada Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono yang menyebut Herawati sumber inspirasinya sebagai perempuan yang memberdayakan diri sendiri.
Ada Ny Mien Sudarpo (83) yang berteman selama 70 tahun dan menyebut Herawati sebagai sosok yang selalu bertahan dalam prinsip, melihat sisi baik kehidupan, dan bahwa yang baik datang dari Tuhan. Ada Ny Martadinata dan Ny Ratjih Natawidjaya yang telah melewati usia 80 tahun, selain tidak sedikit perempuan dari usia 30-an tahun.
"Biasanya kelompok poco-poco kami tampil kalau ada salah satu anggota berulang tahun. Tetapi, kali ini kelihatannya tidak," kata Ny Kardinah Roestam yang bergabung dalam kelompok Diah Dancing Group dan ikut mendirikan GPSP bersama Herawati. "Poco-poco untuk olahraga, mencegah osteoporosis," katanya.
Untuk terus melatih kemampuan berpikirnya, Herawati bermain bridge seminggu dua kali. "Teman-teman mengajar saya mengingat kartu dengan bermain bridge, semacam brain exercise," tutur Herawati.
Selalu positif
Kehidupan Herawati adalah mosaik penuh warna. Dilahirkan di Tanjung Pandan, Belitung, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari ayah dr Raden Latip, dokter di perusahaan Belanda, Billiton Maatschappij, dan ibu Alimah binti Djojodikromo, Herawati selalu mendapat dorongan dari ibunya untuk mencari ilmu.
"Karena beliau sendiri tidak sempat menikmati pendidikan formal, maka ia mendorong anak-anaknya untuk sekolah lanjut," papar Herawati dalam sambutannya.
Herawati menjadi perempuan Indonesia pertama yang menuntut ilmu sebagai sarjana di luar negeri, Amerika Serikat, pada akhir tahun 1930-an. Mengapa Amerika, menurut Nurman Diah, itu adalah syarat yang diajukan almarhum Ny Alimah.
"Ibu boleh meneruskan sekolah asalkan tidak di negara penjajah. Jadi, tidak mungkin ke Eropa. Itu semangat nasionalisme eyang saya," ungkap Nurman Diah, putra bungsu Herawati.
Herawati sempat sekolah setahun di American School in Japan di Jepang. Dia tinggal bersama kakaknya, Ny Retno Sujono, dan suaminya, Mr Sujono—kemudian menjadi dubes untuk Jepang—yang ketika itu mengajar bahasa Indonesia.
"Ibu pergi naik kapal laut, sendirian. Tidak ada saudara di sana," tambah Nurman. Mula- mula Herawati masuk di Elmira College, sekolah tinggi perempuan paling tua di New York, lalu melanjutkan ke Columbia University.
Pilihan bukan ke Belanda membuat Herawati dicurigai Pemerintah Hindia Belanda, meskipun tidak pernah aktif dalam organisasi mahasiswa, dan sempat diinterogasi ketika kembali ke Batavia.
Ayah dan ibunya menginginkan Herawati bekerja di kantor pemerintah, tetapi Herawati memilih menjadi wartawati, bidang yang terus dia geluti. Dia mendirikan dan memimpin redaksi harian Indonesian Observer dan majalah Keluarga, kemudian menerjuni bisnis hotel ketika mendirikan Aryaduta di Jakarta.
"Meskipun saat itu sekolahnya sudah tinggi sekali, tetapi dia dapat menulis mengenai keadaan rakyat biasa," ujar Ny Kardinah. "Bu Diah itu sangat manusiawi, dia yang mengajak saya ikut pengajian dan kegiatan ini-itu ketika baru bertetangga dengannya, walaupun sebelumnya saya tidak kenal dekat."
Terus mengembara
Di tengah syukur kepada Tuhan dan kegembiraan itu, Herawati ternyata terus menyimpan kegelisahan melihat keadaan negeri ini. Buat dia, Tuhan memberi manusia kehidupan tidak hanya untuk bersenang-senang.
"Tentu perasaan saya senang. Tetapi, bagaimana ya. Rasanya ada tugas yang belum selesai. Saya sedih sekarang. Ketika Proklamasi diumumkan tahun 1945 saya hadir. Sekarang, setelah 60 tahun lebih merdeka, keadaan masih sama saja, rakyat masih menderita," ungkap Herawati tentang perasaannya.
Hal itu tidak menyurutkan semangat Herawati Diah. Prof Dr Mayling Oey-Gardiner, yang ikut mendirikan GPSP, menyebut Herawati sebagai sosok yang selalu bersikap positif dan selalu tersenyum. "Yang terpenting, selalu mau berbagi, memotivasi, tidak pernah berhenti memulai yang baru," kata Prof Oey-Gardiner.
Itu yang membuat Herawati unik dan itu pula motor penggerak hidupnya. Ketika melihat ada yang tidak sesuai dengan kata hatinya, dia berusaha berbuat sesuatu.
Menjelang Pemilu 2004 dia ikut mendirikan GPSP untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik. Dia memotivasi orang muda mendirikan YBI, menyelenggarakan pendidikan taman kanak-kanak untuk anak kurang mampu.
Keprihatinannya melihat dampak globalisasi pada erosi budaya bangsa menyebabkan dia memotivasi gerakan Lingkar Budaya Indonesia. "Saya ingin budaya dipisahkan dari pariwisata dan kami masih berjuang untuk itu. Budaya itu kan bukan hanya seni tari, musik, atau lukis, tetapi juga sikap hidup dan jati diri bangsa," ujarnya.
Lalu, dari mana energi yang membuat tetap segar dan sehat? "Saya dapatkan energi itu juga dari orang muda yang bekerja bersama-sama saya," katanya.
Kasih dari teman, sahabat, anak, cucu, dan cicit adalah semangat hidupnya, dan itu pula yang mendorongnya berkarya untuk siapa saja yang masih dapat menerima uluran tangannya. Untuk Herawati, kembara belum berakhir, seperti ungkapan dalam kartu suvenir untuk para tamu dan judul bukunya yang terbit 1993.
Sumber : Kompas, Kamis, 5 April 2007
Jun 5, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment