Hasanuddin, Pelestari "Sandeq"
Oleh : Dwi AS Setianingsih
Bermula dari kebiasaan memerhatikan sang ayah yang setiap hari bekerja membuat perahu sandeq dan perahu motor, Hasanuddin (56) akhirnya tertarik menggeluti pekerjaan serupa. Kini, dia melestarikan perahu tradisional kebanggaan suku Mandar yang makin langka itu.
Pada tahun 1965, usia Hasanuddin baru 11 tahun. Hamidah, ayah Hasanuddin, biasa bekerja seharian penuh di bagian rumah yang disulapnya menjadi bengkel perahu motor dan sandeq.
"Tahun 1968 saya sudah bisa membuat sandeq sendiri," ujar Hasanuddin, warga Dusun Tallo, Desa Balla, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polman, Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Usianya saat itu baru 18 tahun. Sandeq pertamanya itu dibeli seorang nelayan seharga Rp 300.000. Setelah sandeq pertamanya lahir, Hasanuddin semakin memantapkan pilihannya menjadi pembuat perahu motor dan sandeq.
Hasanuddin menjadi generasi ketiga dari keluarganya yang menggeluti usaha pembuatan perahu motor serta sandeq. Selain sang ayah, kakeknya juga pembuat perahu motor dan sandeq di Kabupaten Polman.
"Kalau mau pintar membuat sandeq, seorang pembuat sandeq juga harus menguasai ilmu membuat perahu motor," ujar Hasanuddin bersemangat. Membuat sandeq membutuhkan ketelitian dan kecermatan tersendiri agar perahu yang hanya bermodalkan layar dan cadik itu bisa berlayar di tengah lautan.
Bahan baku sandeq juga relatif lebih spesifik dari bahan baku perahu motor. Menurut Hasanuddin, bahan kayu yang digunakan adalah kayu tepullu (meranti) untuk bagian dasar serta kayu paleah untuk kedua ujung sandeq bagian haluan dan buritan. Kayu itu didatangkan dari Mamuju, Sulawesi Barat, dan Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Rata-rata sandeq yang biasa digunakan suku Mandar panjangnya 12 meter dan lebar sekitar 80 sentimeter. Perahu sandeq ini menggunakan layar dengan tiang tunggal, serta cadik yaitu penyeimbang di samping kanan dan kiri badan perahu.
Perahu sandeq punya kelebihan dalam membelah ombak karena bentuk bagian "perut" bawahnya pipih sehingga sandeq dikenal sebagai perahu cepat untuk berpacu (balapan).
Dibutuhkan waktu kurang lebih dua bulan dan empat pekerja untuk menghasilkan satu perahu sandeq. Harganya saat ini rata-rata mencapai Rp 25 juta per unit, sedangkan perahu motor Rp 46 juta.
Tak perlu gambar
Hingga tahun 1982, Hasanuddin masih mengerjakan perahu sandeq seorang diri tanpa dibantu pekerja. Kini, dia bekerja bersama beberapa karyawan dan dua anak laki-lakinya, Muchlis (30) dan Yusuf (23), mulai pukul 08.00 hingga 18.00 Wita.
Hingga kini lebih dari 100 perahu sandeq lahir dari tangan Hasanuddin, beberapa di antaranya merupakan pesanan beberapa kolektor. Sejak tiga tahun terakhir Hasanuddin lebih banyak melayani pesanan sandeq untuk balapan, yang umumnya diadakan satu tahun sekali saat perayaan HUT Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus.
Perahu sandeq buatan Hasanuddin, tiga di antaranya yang diberi nama oleh pemiliknya Ratu, Lincah, dan Masya Allah, berhasil menggondol gelar juara dalam balapan sandeq di Makassar beberapa waktu lalu. Prestasi itu membuatnya bangga sekaligus terkenal di kalangan nelayan. Tidak hanya di Dusun Tallo, Desa Balla, Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polman, Polewali Mandar, tetapi hingga ke luar negeri.
Sandeq buatan Hasanuddin, selain dikenal halus dan ringan, juga kuat menerjang ombak. Tak mengherankan para nelayan di Polman menyebut Hasanuddin pembuat sandeq terbaik saat ini, terutama sandeq balapan. Apalagi, saat ini jumlah pembuat sandeq semakin berkurang karena semakin minimnya pesanan.
Menurut Hasanuddin, tidak ada rumus pasti saat dia membuat sandeq. Dia bahkan mengaku tidak pernah membuat gambar desain di atas kertas terlebih dahulu sebelum memulai. "Semuanya ada di dalam hati dan pikiran saya saja. Kalau saya yakin jadi, pasti jadi," ujar Hasanuddin. Pria beranak empat yang hanya lulusan sekolah dasar ini memang seolah telah menyatu dengan keahliannya membuat sandeq.
Nilai sejarah
Hasanuddin memegang prinsip, perahu sandeq yang diciptakannya harus berujung runcing, tipis, dan ringan agar cepat, namun tetap kuat agar tidak mudah goyang dan terguncang empasan angin dan ombak di lautan.
Di tengah kebanggaan sebagai pembuat sandeq yang dikenal banyak orang, Hasanuddin menyimpan keprihatinan mendalam karena saat ini jumlah pengguna sandeq terus berkurang. Keprihatinannya itu bukan semata-mata perkara materi, tetapi karena sandeq memiliki nilai sejarah dan budaya tinggi. Apalagi harga perahu motor sesungguhnya jauh lebih mahal ketimbang sandeq.
Sayang, saat ini dalam setahun pesanan sandeq jumlahnya tidak lebih dari tiga buah karena para nelayan lebih senang memakai perahu motor. Karena itu, Hasanuddin bertekad akan terus membuat sandeq karena ingin sandeq terus dilestarikan.
"Jangan sampai sandeq tergeser keberadaan perahu bermotor karena ada nilai sejarah yang melekat pada sandeq," ujar Hasanuddin. Dia khawatir, jika dibiarkan terus-menerus seperti ini, sandeq yang merupakan perahu kebanggaan suku Mandar itu akan punah.
Dia berharap upaya pemerintah melestarikan sandeq tidak hanya dengan menggelar lomba sandeq setahun sekali.
Menurut dia, harus ada upaya lebih untuk melestarikan sandeq. "Saya mewariskan ilmu saya, pemerintah mencarikan jalannya untuk melestarikan," ujar Hasanuddin lugas.
Sumber : Kompas, Selasa, 9 Mei 2006
Jun 18, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment